logo
Kamis, 15 Desember 2011
Mari Berhijrah
Beberapa hari yang lalu umat islam merayakan tahun baru hijriyah. Kata hijriyah diambil dari peristiwa hijrahnya Rosulullah dan sahabat dari makkah ke madinah. Dalam sejarah, tahun hijriyah ditetapkan oleh sahabat Umar bin Khattab. Penetapan 1 muharrom ditetapkan umar kira-kira 7 tahun setelah Rosulullah wafat. Berbeda dengan tahun baru masehi, tahun baru hijriyah dihitung berdasarkan peredaran bulan, bukan matahari seperti tahun baru masehi. Dan perhitungannya dimulai setelah memasuki waktu maghrib. Sedangkan tahun masehi perhitungannya dimulai sejak berakhirnya pukul 24.00 (tengah malam). Umar memilih peristiwa tersebut dengan berbagai pertimbangan.
Pertama, peristiwa hijrah menunjukkan bahwa hidup itu dinamis dan harus aktif mencari terobosan baru. Oleh sebab itu, bagi seorang muslim tidak dibenarkan memilih hidup yang bersifat pasif dan statis yang mana hal itu akan menimbulkan stagnasi dalam menjalani hidup.
Kedua, hijrah adalah sebuah titik balik perjuangan dakwah Nabi dan umat islam dalam menegakkan kebenaran. Hal ini nampak dari diubahnya nama Yastrib menjadi Madinah yang berarti kota, tempat peradaban, kesopanan dan tegaknya norma hukum. Oleh karena itu hjrah merupakan pintu masuk perubahan nasib yang lebih baik, sebagaimana keberhasilan Rosulullah dan sahabatnya. Peringatan tahun baru hijriyah adalah memperingati pergantian yang melambangkan peningkatan taraf hidup yang bermadaniyah, bercivilisasi, beradab dan berbudaya.
Dalam melakukan hijrah memang tidak mudah. Mula-mula butuh niat (motivasi) yang kuat dan benar. Berikutnya adalah usaha yang sungguh-sungguh, karena didalamnya membutuhkan pengorbanan. Dan dalam hal apapun hijrah memang dianggap menjadi tonggak awal menuju kesuksesan. Hal itu bisa kita lihat dari umat-umat terdahulu mulai sejak nabi Ibrahim, Luth, Musa hingga Muhammad semuanya melakukan hijrah untuk memelihara keimanannya. Selain itu, hijrah bukan hanya untuk memperoleh kebahagian akhirat, tetapi hijrah juga bisa untuk memperoleh kebahagiaan dunia. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak sedikit dari warga negara kita yang hijrah untuk memperbaiki taraf ekonominya. Mereka berbondong-bondong bermigrasi ke negara-negara yang kaya.
Mungkin dalam menuntut ilmupun, kita juga harus melakukan hijrah kalau ingin mencapai kesuksesan dalam mencari ilmu. Hijrah disini adalah kita harus merelakan diri untuk meninggalkan rumah, keluarga, famili dan lain sebagai- nya untuk menuntut ilmu yang dibutuhkan dalam mengejar suatu yang dicita-citakan. Orang jawa mengatakan “kabeh kudu ditirakati yen pengen oléh kabejan”. Hijrah merupakan salah satu bentuk tirakat yang dipenuhi dalam menuntut ilmu. Seperti halnya Plato. Dia harus berhijrah ke kota Sirakus. Dimana ia berusaha untuk ingin merubah sistem pemerintahan yang ada. Tetapi sayang, ia hampir dijual sebagai budak, untungnya diketahui oleh temannya dan akhirnya ia ditebus. Akhirnya ia kembali ke Athena. Ketika ia akan mengembalikan uang tembusan dirinya, uang pengganti tebusan itu ditolak oleh temannya, kemudian ia mengggunakan uang itu untuk mendirikan Akademia. Mungkin ketika ia tidak berhijrah dan hampir dijual sebagai budak, ia tidak akan mendirikan Akademia. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf.
Setelah melewati pergantian tahun beberapa hari yang lalu, secara otomatis kita telah berhijrah. Hijrah dari tahun lama ke tahun yang baru. Tahun merupakan salah satu dimensi waktu yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kehadiran sang waktu bukan tanpa tujuan. Ketika kita melihat bulan yang dulunya tidak ada kemudian sabit kemudian purnama kemudian hilang lagi, hal itu seperti manusia yang dulunya tidak ada kemudian lahir kemudian dewasa kemudian meninggal. Oleh karena itu, manusia harus bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Dengan bergantinya tahun sudahsaatnya kita harus bisa merubah diri yang lebih baik dari tahun kemarin.
Dalam mengisi waktu, islam mengajarkan untuk mengerjakan amal saleh, yaitu perbuatan yang apabila dilakukan tidak mengakibatkan kerusakan atau perbuatan yang bermanfaat. Kemanfaatan bagi pribadi, keluarga, kelompok atau manusia secara keseluruhan. Salah satu contoh amal saleh yang berkembang dalam tradisi masyarakat adalah tumpengan. Tumpengan dan beberapa tradisi lain seperti nyadran, sekaten, dan tahlilan dalam bahasa antropologi agama adalah simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna subyektif pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadah yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transenden dan imanen. Dengan kata lain, high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan perlu dikongkritkan dalam bentuk low tradition yang merupakan pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan dan tumpengan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub wassykuru ilallah dan apresiasinya dalam bentuk dzikir kolektif dan pemberian sesuatu. Lalu muncul simbol kebudayaan bernama tahlilan dan tumpengan.
Islam juga mengajarkan untuk memanfaatkan waktu secara produktif sehingga waktu tidak terbuang dengansia-sia. Dalam suatu hadits juga dijelaskan bahwa -penggalannya- siapa yang hari ini sama atau bahkan lebih jelek (perbuatannya) dari hari kemarin, maka termasuk orang yang rugi. Dalam hadits Nabi menyatakan agar kita bisa menjaga lima perkara sebelum lima perkara (sebagai kebalikannya), yakni sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin,senggang sebelum sempit, muda sebelum tua dan hidup sebelum mati. Ada yang mengatakan waktu adalah uang. Itulah sebabnya waktu adalah hal yang berharga dan harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Yang dianjurkan dalam islam yang lain ketika melawati tahun baru yaitu refleksi. Kita harus berkaca pada masa lalu untuk mengambil pelajaran, manfaat, perhitungan untuk dijadikan bekal untuk hari esok.
Itulah beberapa hal yang diajar- kan islam dalam melewati tahun baru. Kita telah berhijrah dari tahun lama ke tahun yang baru. Apa yang harus ditingkatkan hijrah kali ini? Apakah sama dengan tahun kemarin? Mungkin tulisan saya cukup sampai disini dan saya ucapkan selamat tahun baru 1433 H.
Silakan Pikir & Renungkan...!!!
Musnadil Firdaus AS/III
Republic Daging
Belum lama kita umat Islam merayakan moment hari Raya Idul Adha yang identik dengan penyembelihan hewan qurban yang mana hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, qurban adalah manifestasi ketundukkan hamba dan rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan Tuhan, qurban juga bisa dimaknai sebagai symbol penyembelihan nafsu kebinatangan yang melekat pada diri setiap manusia.
Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di dunia bisa dibayangkan melimpahnya ketersedian daging di setiap hari raya qurban, permasalahannya kemudian adalah sudahkah pen-tasyarufan daging-daging tersebut tepat sasaran, di beberapa tempat pembagian daging qurban menyisakan masalah, salah satunya seperti kasus yang terjadi di masjid Al Azam Tanggerang Banten, orang rela babak belur berebut daging kurban yang mungkin beratnya kurang lebih setengah kilo yang dibagikan panitia, peristiwa di Tangerang tersebut mengindikasikan masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Hanya demi setengah kilo daging, masyarakat kita tega menginjak, menciderai bahkan melukai daging saudaranya sendiri. Setengah kilo daging mampu mengubah manusia bertindak irasional, sedemikian berharganya daging sapi dan kambing melebihi pentingnya menjaga daging saudaranya.
kemudian saya ingin mendudukan kata daging di tulisan ini secara lebih luas untuk makna yang bebas entah itu daging qurban, boleh jadi daging yang ada pada manusia atau daging apa saja silahkan nanti anda tangkap dan anda proyeksikan dalam pikiran anda sendiri apa maksudnya daging di sini, saya hanya ingin mencoba mengambarkan eksistensi daging di Republik ini, taukah anda jika Republik kita tercinta Indonesia tidak dapat dipisahkan dari urusan daging, ada banyak hal di Republik ini yang berhubungan dengan daging baik secara langsung maupun tidak, apakah urusan dengan daging itu sendiri, tempat dagingnya atau segala yang berhubungan dengan daging, ada daging yang menimbulkan manfaat bagi banyak orang, ada juga tempat daging yang begitu di idamkan banyak orang sehingga untuk memperolehnya memerlukan perjuangan berat, tapi di sisi lain ada berapa banyak problematika timbul di Republik kita yang hanya dipicu oleh persoalan daging.
Kita semua ingat pada sekitar tahun 2003-an muncul fenomena goyang ngebor inul yang sukses menggoyang Republik ini, meminjam istilahnya DR. Luqman Hakim tahun-tahun tersebut pantas disebut sebagai era pantatisme Inul , fenomena goyang ngebor Inul menandai awal masuknya Indonesia di dalam industry pantatisme yang sebelumnya industry semacam itu masih sungkan-sungkan untuk secara terang-terangan memunculkan eksistensinya ke permukaan. Kala itu hampir disetiap tontonan yang mendatangkan Inul orang rela berdesak-desakan, bahkan tak jarang sampai harus baku hantam hanya untuk berlomba-lomba mendapatkan tempat terdekat agar bisa melihat jelas bagaimana daging bagian belakang bawah Inul ngebor, saya yakin sekian banyak orang yang hadir tumpah ruah tersebut tidak sadar jika perjuangan mereka berangkat dari rumah, antri tiket, mengeluarkan uang untuk tiket, belum lagi mereka harus rela berdesak-desakan mungkin jika harus ada proses lain yang lebih keras lagi mereka akan dengan senang hati menempuhnya asal bisa melihat daging bagian belakang bawah Inul diputar, sebenarnya jika dipikir lagi hal tersebut sangat tidak sebanding antara hasil yang mereka capai dengan usaha mereka, untuk itu berapa banyak waktu yang terbuang, tenaga yang seharusnya lebih bisa dimanfatkan untuk bekerja, belum lagi biaya yang dikeluarkan hanya untuk datang ketempat berlangsungnya tontonan untuk selanjutnya sepanjang tontonan berlangsung praktis mereka hanya dipantati Inul habis-habisan, ini menunjukkan pada tahun-tahun itu Inul sukses me-ngebor kepala masyarakat kita hanya dengan sesuatu yang sepele .Daging pantat. Seolah alat bor Inul itu mampu menanamkan di otak masyarakat sebuah alat pengendali yang apabila difungsikan tanpa perlu berfikir mereka akan datang ketempat konser Inul untuk dipantati secara suka rela, sehingga bisa dikatakan kalau masyarakat di Republic kita telah terseret arus putaran daging pantat, muka masyarakat Republic kita tidak lebih dari pantat. Fenomena goyang Inul juga memunculkan berbagai takwil dari beberapa kalangan, salah satunya seorang habib dari semarang. Menurut beliaunya fenomena Inul ngebor di atas panggung sebagai pertanda jika Indonesia beberapa tahun kedepan akan mengalami krisis daging pantat, karena itu segala urusan yang berhubungan dengan daging pantat akan mahal harganya, dan takwil tersebut akhirnya terbukti, bisa dilihat beberapa waktu lalu saat pemilu legeslatif berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh seorang calon anggota legislative yang sekedar ingin menempatkan daging pantatnya di kursi dewan. Entah sampai kapan krisis daging pantat akan terus melanda Indonesia, sampai saat inipun para orang tua selalu resah manakala sampai waktunya mendaftarkan anak-anak mereka ke bangku sekolah karena besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendudukkan daging pantat anak-anak di bangku sekolah.
baru-baru inipun Republic Indonesia juga di repotkan ulah sebagian “kecil” daging milik dua orang anggota masyarakatnya, dari segi ukuran dan letakpun memang berbeda jika daging bagian belakang bawah Inul yang digunakan sebagai pembanding, daging “kecil” ini letaknya tidak di belakang sebagaimana milik Inul tapi berada di depan, bayangkan hanya dengan daging se”kecil” itu si LM dan NI mampu meneror para orang tua Indonesia yang memiliki anak remaja apalagi mereka yang memiliki anak-anak dibawah umur, bukannya tanpa alasan kekawatiran para orang tua mengingat pemilik daging “kecil” tersebut adalah pubilk figure yang tingkah jungkir baliknya sering dijadikan refrensi bergaul kalangan muda. Saya sendiri sempat berfikir manakah yang lebih menakutkan terror yang dilakukan dua orang tersebut dengan daging “kecil”nya atau terror bom Amrozi cs yang menghancurkan daging-daging manusia di Legian Bali, akhirnya saya simpulkan kedua terror tersebut sama menakutkannya, hanya bedanya jangkuan bom Amrozi dampaknya kalah secara teritorial jika dibandingkan terror daging milik kedua artis tersebut, bom Amrozi cs hanya mengakibatkan kerusakan pada teritorial yang terbatas, sebagian kecil wilayah Bali, dengan hanya mempunyai satu setting waktu, beda halnya dengan daging “kecil” tadi yang mampu menjangkau wilayah teritorial yang lebih luas, tidak hanya Bali tapi pelosok Sabang hingga Merauke bisa terjangkau sejauh internet dan media elektronik ada, dari segi setting waktu sampai kapanpun selama polah daging “kecil” tersebut diputar akan tetap bisa menimbulkan kerusakan.
terkait teror yang dilancarkan daging “kecil” tadi sebenarnya beberapa tahun silam tepatnya pada tahun 2006 kelompok sastrawan yang dimotori Taufik Ismail sudah pernah melontarkan kritik menanggapi banyaknya karya “becek” yang mengeksploitasi daging sekitar selakangan, sehingga muncullah dari kelompok sastrawan yang dikenal sebagai penghasil Sastra Madzhab Selakangan (SMS) dimana karya-karya tersebut masuk di dalam Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Dan belakangan ini daging sekitar selakang kembali menjadi magnet di tengah lesunya industry hiburan kita. Industri tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan, industri tidak mengenal baik buruk, akhlakul karimah atau syaiah. Anda harus paham jika ukuran yang digunakan industry hanyalah untung rugi, ratting tinggi atau jeblok.
sebenarnya jika mau lebih kritis lagi kita akan banyak menemukan pergumulan Republik ini dengan urusan daging mulai dari kebocoran system yang menguntungkan dan hanya meng’gemuk’kan kalangan daging terbatas, sebaliknya di tempat lain harus ada jutaan daging yang di ekspor keluar negeri dengan emblem besar sebagai pahlawan devisa yang ketika pulang beberapa diantara mereka harus rela daging dan martabatnya terkoyak di negeri orang. Silahkan saja coba anda cari-cari lagi daging lain yang mencurigakan di sekitar anda misalnya, tetangga anda yang baru saja pulang ihram dari tanah suci apakah hajinya sudah menembus dimensi jiwa sehingga setelah mendapat gelar haji berimbas pada tingkah dan perilaku yang lebih baik, atau kelakuannya masih sama saja seperti sebelum menunaikan ibadah haji, bisnis lintah daratnya jalan terus, gaple juga masih oke atau sifat bakhilnya semakin mak nyai, jika demikian anda bisa simpulkan jika haji tetangga anda tersebut hanya sebatas daging, belum sampai tataran jiwa.
Meskipun demikian anda tidak boleh merasa pesimis masih banyak daging-daging yang bisa membawa manfaat di Republic ini, dan opsi tawarannya adalah jadikan daging kita sendiri lebih bermanfaat bagi sesama, kita juga tidak membutuhkan ke pura-pura an di solat kita, di puasa kita, di pergaulan kita hanya sebatas dimensi daging. Akhirnya saya ucapkan selamat meninggalkan dzulhijah bertolak ketahun baru 1434 H
Silahkan renung & fikirkan)
Da’i Robbi (PBA/V)
Menguak arti haji
Haji merupakan rukun Islam yang kelima, yang mana ibadah ini wajib dilakukan bagi kaum muslim yang mampu untuk menjalankannya. Beberapa waktu lalu saudara kita yang muslim banyak yang sudah berangkat ke Makkah untuk melakukan haji. Haji secara etimologi adalah menuju dan secara terminologi haji berarti menuju Baitullah (Makkah) karena ibadah. Di tinjau dari syaratnya, bagi mereka yang menjalankan ibadah haji menurut kaidah fiqih yaitu: Islam, baligh, berakal sehat, dan mampu. Arti mampu disini adalah mempunyai cukup harta/biaya serta sehat menurut keterangan dokter.
Dilihat dari sejarahnya, ibadah haji merupakan ajaran/syari’at nabi Ibrahim dan keluarganya yang merenovasi ka’bah sebagai simbol pusat orientasi manusia yang fondasinya sudah diletakkan oleh nenek moyang manusia yaitu nabi Adam. Oleh sebab itu, ritual yang ada didalam haji merupakan ritual napak tilas yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim dan keturunannya. Oleh karena itu juga pengalaman dan pemahaman haji yang benar dan baik adalah yang disandarkan kepada nabi Ibrahim. Meski demikian, praktek haji dalam sejarahnya terdapat praktek penyalahgunaan haji yang dijumpai oleh nabi yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang dikenal dengan al-Hummas yang, memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agamanya sampai melampui batas, misal seperti mengitari ka’bah (thowaf) mereka sampai bertelanjang karena mereka beranggapan bahwa pakaian yang mereka pakai telah ternodai oleh dosa, sehingga tidak boleh digunakan untuk menghadap Allah.
Dengan praktek yang menyeleweng seperti diatas, sangat bertentangan dengan makna esensial yang terkandung dalam haji. Setelah datangnya nabi, praktek haji yang seperti itu dihilangkan dan diluruskan kembali kepada yang telah diajarkan oleh nabi Ibrahim. Pada zaman nabi, haji dilakukan pertama kali pada tahun kesembilan hijriyah.
Didalam haji terdapat ritual-ritual yang mana ritual tersebut menjadi sebuah simbol yang ada dalam kehidupan. Haji mulai dengan miqot makani. Dengan miqot itulah, jama’ah haji melepaskan atribut yang selama ini mereka gunakan dengan 2 helai pakaian ihrom yang kelak akan menjadi pembalutnya kelak ketika sudah meninggal. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian membuat stratifikasi atau kelas-kelas antar manusia, mulai dari status ekonomi, status sosial ataupun profesi. Di miqot ini, semua atribut yang bisa menimbulkan perbedaan antar manusia harus dilepaskan. Bahkan suku dan ras harus ditanggalkan bersamaan dengan ditanggalkannya pakaian yang telah menutupi mereka sehari-hari. Maka semua jama’ah haji menjadi manusia yang sebenarnya atau menyadari dirinya bahwa ia hanyalah makhluk yang lemah.
Ketika telah memakai pakaian ihrom, sejumlah ketentuan-ketentuan mulai berlaku. Seperti larangan menyakiti dan membunuh binatang, menumpahkan darah serta mencabut tumbuh-tumbuhan. Larangan itu berlaku sebab fitrah manusia lahir ke dunia adalah menjadi seorang khalifah di bumi. Seorang khalifah haruslah bisa menjaga dan memelihara ketentraman dam kedamaian makhluk lain. Larangan lainnya adalah dilarang menikah dan menikahkan, memakai wangi-wangian serta berhias agar jama’ah haji menyadari bahwa hidup di dunia tidak hanya mengejar materi dan birahi belaka.
Ka’bah adalah bangunan yang hanya terbuat dari batu-batu hitam. Ia menjadi arah kiblat bagi umat muslim dengan segala perbedannya kerena manusia bila tidak ada kiblatnya atau arah yang jelas akan lepas kendali. Ka’bah ibarat matahari yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi planet-planet baik itu kecil maupun besar. Planet-planet itu dengan segala perbedaannya mengelilingi matahari dengan porosnya, sama dengan manusia yang sedang melakukan thawaf. Jadi dalam kehidupan ini perbedaan bukanlah hal yang harus diperdebatkan atau dibesar-besarkan, yang penting esensi dan orientasinya sama.
Setelah thawaf, jama’ah haji melakukan sa’i yang berarti usaha. Dalam sejarahnya sa’i merupakan usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar untuk memperoleh air untuk memberi minum anaknya, yaitu nabi Ismail yang menangis karena kehausan. Keyakinan yang kuat akan kebesaran dan kemurahan Allah, telah menjadikan Siti Hajar mantab dalam mencari sumber kehidupan dalam kondisi yang mencemaskan dan mengenaskan. Ia mulai berlari dari Shofa yang berarti kesucian dan ketegaran. Jadi dalam hidup, usaha haruslah diawali niat yang suci, tegar dan optimis. Usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar itu berakhir di Marwah. Hal yang dilakukan oleh Siti Hajar tersebut berulang-ulang sampai 7 kali baru kemudian membuahkan hasil. Jadi dalam hal ini manusia dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin.
Aktivitas haji yang selanjutnya adalah Wukuf di Arofah. Di mana semua jama’ah haji berkumpul di suatu padang panas dan berbatu yang di mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijah sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijah. Ritual ini menunjukan manusia supaya ia mengenali dirinya sendiri dan selalu teringat kepada sang Pencipta ketika ia dalam keadaan apapun maupun kondisi apapun.
Setelah dari Arofah, jama’ah haji pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam rangka akan menghadapi musuh terbesarnya, yaitu setan. Kemudian pergi ke Mina untuk melakukan lempar jumrah sebagai lambang akan kebencian dan kemarahan yang telah menyebabkan segala kegetiran. Setelah melempar jumroh, mereka akan menyembelih hewan kurban yang mana kurban tersebut menjadi simbol akan kemenangan yang yang diperolehnya.
Selain uraian diatas, haji merupakan suatu usaha manusia untuk kembali kepada Allah, karena dalam melakukan ibadah haji, orang harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Selain itu, untuk berangkat haji harus mengantri sampai bertahun-tahun yang berarti menjadi sebuah ujian kesabaran bagi calon jama’ah haji. Meski haji menghabiskan biaya yang cukup besar dan memerlukan waktu yang relatif lama untuk berangkat, tetapi hal tersebut menjadi salah satu arti bahwa manusia rela untuk mengorbankan apapun, baik itu berupa materi maupun tenaganya hanya untuk menjalin kedekatan dengan Sang Khaliq.
Kesalehan sosial
Dalam konteks ini, nilai-nilai baru dari proses ibadah itu seharusnya berdampak positif bagi masyarakat. Esensi haji bukan sekadar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, sanak saudara dan masyarakat umumnya.
Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal menjadi lebih bermakna. Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya. ”Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan
nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama.
”Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga ”manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses ibadah haji itu. Para ”manusia baru” yang ibu-ibu itu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip.
Dimensi horizontal inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan mampu berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi tingginya kualitas iman dan takwa.
Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Silahkan Renung & Pikrkan...!!!
Musnadil firdaus (AS/III)
Senin, 24 Oktober 2011
AKU BELUM LUPA
Jawa, dimana Jawaku kini?
Jawa, ia telah menghilang dari benak orang-orang Jawa
Jawa, apakah Jawaku masih ada kini?
Jawa, hai Jawa janganlah kau sembunyikan dirimu dalam kesendirianmu,
Jawa, apakah aku harus membujukmu untuk keluar lagi?
Mengapa kau sembunyikan dirimu?
Apakah karena arus modernisasi yang telah menenggelamkanmu, hingga kau tak mampu bersinar lagi?
Arus globalisasi telah menyebabkan kebudayaan asli Indonesia hancur tak tersisa. Tergantikan oleh segala yang bersifat instan yang kebanyakan menjadikan masyarakat Indonesia jauh dari nilai-nilai yang tertanam dalam Indonesia sejati khususnya bagi masyarakat Jawa menjadikan masyarakat Jawa lupa akan ke-Jawa-annya. Namun jawa sebagai jawaku telah mengakar kuat dalam ingatanku hingga walaupun kini Jawa itu mulai pudar namun, masih tersisa jawaku dalam hatiku.
Dulu Jawa adalah tempat yang begitu kaya akan khazanah kebudayaan mulai dari yang sederhana sampai yang menjadi kesusastraan. Namun hal ini kini sulit dijumpai bahkan oleh masyarakat Jawa sendiri yang notabene sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Permainan-permainan, kesenian daerah yang memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat kini sudah digantikan dengan permainan elektronik yang lebih mengutamakan kepuasan individu dari pada kepuasan bersama sehingga menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sekitar dan menjadikan manusia makhluk individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. dahulu Indonesia adalah negara yang besar dengan pusat pemerintahan yang sama dengan sekarang yaitu Jawa. Namun mengapa kini seolah kita kehilangan identitas kita sendiri sebagai Jawa? Bukankah dengan peralatan seadanya dulu kita pernah menguasai hampir seluruh Asia Tenggara?. Namun seiring berlalunya zaman, hingga kini memasuki zaman teknologi kita malah menjadi terkekang dengan peralatan yang bukannya menjadikan maju bangsa Indonesia namun malah semakin mundur secara teratur. Permasalahannya yaitu kita kurang memperhatikan kebudayaan dan kurang berpartisipasi secara aktif akan kebudayaan daerah yang telah kita miliki yang didalamnya sebenarnya memiliki power yang tak terbatas hingga berakhirnya masa.
Apakah kita semua tidak rindu akan permainan masa kecil kita? petak umpet, sundamanda, gobaksodor, tapi dimana kini permainan tersebut dapat kita temui? kini kita hanya dapat melihat anak-anak kecil bermain Playstation dan game online internet.
Apakah kita tidak rindu dengan geguritan, parikan, wayang dan kesenian kita yang lain? jawabannya bisa ia bisa juga tidak tergantung dari seberapa parah virus apatisisme telah menjangkiti orang Jawa itu sendiri.
Apakah kita mau menjadi orang yang lupa akan tanah kelahiran kita sendiri itu tergantung kita mau mengamalkan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur kepada kita baik mengenai ajaran moral hingga kesenian daerah dan juga permainan-permainan. Tapi apa mau dikata Jawa yang dulu begitu menggurita kini hanya bagaikan seekor semut yang diinjak-injak harga dirinya. Kesenian-kesenian dari Jawa yang memiliki arti penting dalam bersosialisasi digerus dan semakin digerus oleh kesenian yang tidak mendidik masyarakat untuk hidup bersosialisasi.
Kita terlahir ke dunia sebagai homo homini socius yang tidak bisa lepas setiap segi dari kita untuk berhubungan dengan masyarakat dan itu semua diajarkan dalam filsafat kita sendiri yaitu filsafat Jawa karena filsafat Jawa tidak hanya dalam permainan dalam seni dalam kesusastraan Jawa semua tidak luput dari bahasan filsafat karena dalam setiap kesenian kesusastraan dan budaya Jawa memiliki nilai instrinsik yang begitu luar biasa besarnya jika kita amalkan kembali agar Jawa khususnya dan Indonesia umumnya tidak kehilangan jati diri bangsa sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa sebenar- nya begitu besar. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam contoh dibawah:
Permainan Gobag Sodor
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Sarana untuk menigkatkan interaksi antar teman sehingga bisa menimbulkan perasaan saling membutuhkan.
3. Alat untuk meningkatkan keterikatan sosial yang akan dibutuhkan dimasa mendatang.
4. Sebagai pelatihan bahwasanya dengan bekerja keras dan tak pantang menyerah hal yang diinginkan akan tercapai.
Permainan Petak Umpet
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Alat pembuktian bahwa berusaha sendiri itu sangat sulit dilakukan walaupun kemung- kinan berhasil ada namun sangatlah kecil.
Dalam hal musik Jawa memiliki berbagai macam bentuk musik yang memiliki berbagai macam arti yang terkandung didalamnya.
Dalam musik Jawa ada Gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, hingga Megatruh dan Pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu.
Sinom dapat diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan Ruh adalah roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (pocong). Dan masih banyak lagi yang lainnya yang kini bahkan orang jawa pun tidak mengetahui tentang kebudayaannya sendiri.
Jawa (Indonesia) kini telah tenggelam dalam westernisasinya karena begitu tidak percaya diri menggunakan identitas aslinya dan semakin jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaannya. Sekrang tergantung pada kita apakah kita mau membuang identitas kita sendiri atau terus melestarikannya?
Silakan fikir dan Renungkan!!!
Hishna M. Sabiq
Sunan Kali Jaga
Ilir Ilir
Ilir ilir ilir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
(Simbol untuk memelihara bumi)
Tak senggoh penganten anyar
(Simbol untuk pemuda)
Cah angon cah angon
(Simbol untuk manusia sebagai khalifah)
Penekno blimbing kuwi
(Simbol unutk menunjukkan blimbing yang mempunyai lima segi sebagai perlambang rukun iman)
Lunyu-lunyu penekno
(Simbol untuk menyatakan sulitnya mengerjakan rukun iman namun harus tetap dilaksanakan karena merupakan perintah Tuhan)
Kanggo sebo mengko sore
(Simbol untuk menunjukkan bahwasanya rukun iman sebagai bekal di akhirat)
Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangane
(Simbol untuk menunjukkan selagi kita masih hidup di dunia dan belum ke alam akhirat kita harus tetap berusaha melaksanakan perintah Tuhan)
Yo surako surak hore
(Simbol keberhasilan melaksanakan rukun iman dan memperoleh surga)
“Harta Sejati Adalah Kesehatan, Bukan Emas Dan Perak.”
“Mahatma Gandhi”
Jawa, ia telah menghilang dari benak orang-orang Jawa
Jawa, apakah Jawaku masih ada kini?
Jawa, hai Jawa janganlah kau sembunyikan dirimu dalam kesendirianmu,
Jawa, apakah aku harus membujukmu untuk keluar lagi?
Mengapa kau sembunyikan dirimu?
Apakah karena arus modernisasi yang telah menenggelamkanmu, hingga kau tak mampu bersinar lagi?
Arus globalisasi telah menyebabkan kebudayaan asli Indonesia hancur tak tersisa. Tergantikan oleh segala yang bersifat instan yang kebanyakan menjadikan masyarakat Indonesia jauh dari nilai-nilai yang tertanam dalam Indonesia sejati khususnya bagi masyarakat Jawa menjadikan masyarakat Jawa lupa akan ke-Jawa-annya. Namun jawa sebagai jawaku telah mengakar kuat dalam ingatanku hingga walaupun kini Jawa itu mulai pudar namun, masih tersisa jawaku dalam hatiku.
Dulu Jawa adalah tempat yang begitu kaya akan khazanah kebudayaan mulai dari yang sederhana sampai yang menjadi kesusastraan. Namun hal ini kini sulit dijumpai bahkan oleh masyarakat Jawa sendiri yang notabene sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Permainan-permainan, kesenian daerah yang memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat kini sudah digantikan dengan permainan elektronik yang lebih mengutamakan kepuasan individu dari pada kepuasan bersama sehingga menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sekitar dan menjadikan manusia makhluk individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. dahulu Indonesia adalah negara yang besar dengan pusat pemerintahan yang sama dengan sekarang yaitu Jawa. Namun mengapa kini seolah kita kehilangan identitas kita sendiri sebagai Jawa? Bukankah dengan peralatan seadanya dulu kita pernah menguasai hampir seluruh Asia Tenggara?. Namun seiring berlalunya zaman, hingga kini memasuki zaman teknologi kita malah menjadi terkekang dengan peralatan yang bukannya menjadikan maju bangsa Indonesia namun malah semakin mundur secara teratur. Permasalahannya yaitu kita kurang memperhatikan kebudayaan dan kurang berpartisipasi secara aktif akan kebudayaan daerah yang telah kita miliki yang didalamnya sebenarnya memiliki power yang tak terbatas hingga berakhirnya masa.
Apakah kita semua tidak rindu akan permainan masa kecil kita? petak umpet, sundamanda, gobaksodor, tapi dimana kini permainan tersebut dapat kita temui? kini kita hanya dapat melihat anak-anak kecil bermain Playstation dan game online internet.
Apakah kita tidak rindu dengan geguritan, parikan, wayang dan kesenian kita yang lain? jawabannya bisa ia bisa juga tidak tergantung dari seberapa parah virus apatisisme telah menjangkiti orang Jawa itu sendiri.
Apakah kita mau menjadi orang yang lupa akan tanah kelahiran kita sendiri itu tergantung kita mau mengamalkan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur kepada kita baik mengenai ajaran moral hingga kesenian daerah dan juga permainan-permainan. Tapi apa mau dikata Jawa yang dulu begitu menggurita kini hanya bagaikan seekor semut yang diinjak-injak harga dirinya. Kesenian-kesenian dari Jawa yang memiliki arti penting dalam bersosialisasi digerus dan semakin digerus oleh kesenian yang tidak mendidik masyarakat untuk hidup bersosialisasi.
Kita terlahir ke dunia sebagai homo homini socius yang tidak bisa lepas setiap segi dari kita untuk berhubungan dengan masyarakat dan itu semua diajarkan dalam filsafat kita sendiri yaitu filsafat Jawa karena filsafat Jawa tidak hanya dalam permainan dalam seni dalam kesusastraan Jawa semua tidak luput dari bahasan filsafat karena dalam setiap kesenian kesusastraan dan budaya Jawa memiliki nilai instrinsik yang begitu luar biasa besarnya jika kita amalkan kembali agar Jawa khususnya dan Indonesia umumnya tidak kehilangan jati diri bangsa sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa sebenar- nya begitu besar. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam contoh dibawah:
Permainan Gobag Sodor
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Sarana untuk menigkatkan interaksi antar teman sehingga bisa menimbulkan perasaan saling membutuhkan.
3. Alat untuk meningkatkan keterikatan sosial yang akan dibutuhkan dimasa mendatang.
4. Sebagai pelatihan bahwasanya dengan bekerja keras dan tak pantang menyerah hal yang diinginkan akan tercapai.
Permainan Petak Umpet
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Alat pembuktian bahwa berusaha sendiri itu sangat sulit dilakukan walaupun kemung- kinan berhasil ada namun sangatlah kecil.
Dalam hal musik Jawa memiliki berbagai macam bentuk musik yang memiliki berbagai macam arti yang terkandung didalamnya.
Dalam musik Jawa ada Gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, hingga Megatruh dan Pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu.
Sinom dapat diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan Ruh adalah roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (pocong). Dan masih banyak lagi yang lainnya yang kini bahkan orang jawa pun tidak mengetahui tentang kebudayaannya sendiri.
Jawa (Indonesia) kini telah tenggelam dalam westernisasinya karena begitu tidak percaya diri menggunakan identitas aslinya dan semakin jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaannya. Sekrang tergantung pada kita apakah kita mau membuang identitas kita sendiri atau terus melestarikannya?
Silakan fikir dan Renungkan!!!
Hishna M. Sabiq
Sunan Kali Jaga
Ilir Ilir
Ilir ilir ilir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
(Simbol untuk memelihara bumi)
Tak senggoh penganten anyar
(Simbol untuk pemuda)
Cah angon cah angon
(Simbol untuk manusia sebagai khalifah)
Penekno blimbing kuwi
(Simbol unutk menunjukkan blimbing yang mempunyai lima segi sebagai perlambang rukun iman)
Lunyu-lunyu penekno
(Simbol untuk menyatakan sulitnya mengerjakan rukun iman namun harus tetap dilaksanakan karena merupakan perintah Tuhan)
Kanggo sebo mengko sore
(Simbol untuk menunjukkan bahwasanya rukun iman sebagai bekal di akhirat)
Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangane
(Simbol untuk menunjukkan selagi kita masih hidup di dunia dan belum ke alam akhirat kita harus tetap berusaha melaksanakan perintah Tuhan)
Yo surako surak hore
(Simbol keberhasilan melaksanakan rukun iman dan memperoleh surga)
“Harta Sejati Adalah Kesehatan, Bukan Emas Dan Perak.”
“Mahatma Gandhi”
Rabu, 12 Oktober 2011
AKTUALISASI FIKIH (Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer)
Mengikuti perkembangan fikih memang sangat menarik. Jika, peradaban Yunani adalah peradaban filsafat, dan peradapan Eropa modern adalah ilmu pengetahuan dan tehnik, maka peradapan Islam adalah peradapan Fikih. Dan masing-masing peradapan memiliki karakteristik spesifik. Fikih merupakan murni produk nalar Arab dalam peradaban Islam. Statemen Apologetik guna mengukuhkan orisinalitas fikih ini tentunya memiliki kaki pijak referensial yang mengakar dalam perundang-undangan umat Islam. Menyusuri perkembangan Fikih sendiri mulai dari fase Nabi hingga saat ini telah menggambarkan bahwa Fikih akan selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dan apabila kita kembali menyusuri akar sosiologi fikih maka tilikan sosio-historis terhadap perkembangan fikih sangatlah urgen, sebab “persenggamaan dialektis” antara fikih dengan realitas sosial adalah saling berkaitan dan tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, fikih senantiasa dibuat di tengah-tengah pergumulan konstruk sosio-politik, konteks-partikular, dan ruang lingkup kultur tertentu.
Perkembangan Fikih sendiri telah mengalami berbagai macam periode mulai dari periode kenabian hingga pasca runtuhnya Baghdad (625H/1285M) atau lebih tepatnya periode stagnansi fikih. Runtuhnya Baghdad sendiri, terjadi setelah adanya invansi dua ratus ribu pasukan mongol sehingga menjadikan fikih mengalami masa kejumudan dan mengakibatkan timbulnya konservatisme. Pembantaian terhadap kaum intelektual muslim banyak terjadi sehingga tersebarlah kebodohan yang klimaks dengan “ditutupnya pintu ijtihad”. Madrasah, universitas, dan perpustakaan diporak-porandakan oleh Hulagu Khan yang mulanya hanya kelompok kecil pemburu dan penggembala di padang stepa di utara Cina hingga Siberia. Pasca dijajah bangsa Mongol, islam juga dijajah oleh Napoleon (Prancis), tetapi islam tidak bisa berbuat apa-apa.
Konservatisme ini memunculkan asumsi dogmatis bahwa capaian para sarjana klasik telah sempurna dan up-to-date, sehingga tidak butuh lagi pembaharuan pemikiran. Stagnansi terlihat dari berbagai aktivitas intelektualisme yang hanya berkutat pada penjelasan produk pemikiran lama.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya yaitu; pertama, tertutupnya pintu ijtihad sehingga berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual. faktor kedua yaitu, kodifikasi atas pendapat-pendapat ulama klasik pada masa kekuasaan Abbasiyah. Dan faktor ketiga yaitu, fanatisme dan perselisihan madzhab yang mengakibatkan kemerosotan dinamika ijtihad. Dan akhirnya memunculkan sebuah kajian-kajian yang tidak obyektif pada saat ini. Ini mengakibatkan kian jauhnya Islam dari isu-isu kontemporer (qodhaya al-mu’asyirah) yang berkembang pada masyarakat saat ini.
Fikih yang terbentuk pada zaman sekarang ini terkesan hanya terpaku pada sebuah konteks saja tanpa ada pembaharuan-pembaharuan. Maka apabila tidak adanya suatu pembaharuan-pembaharuan fikih atau dengan kata lain, kita hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik saja tanpa kritisisme maka rancangan bangunan fikih akan menjadi keropos dan tidak dapat untuk memberikan solusi yang baik dalam menghadapi kompleksitas problematika kehidupan yang muncul terus-menerus. Aktualisasi fikih sendiri dilakukan guna tercapainya sebuah Maqhosid al-Syariat yang terlepas dari sebuah pembebekan (taqlid) dan pengambilan pendapat qudama’ tanpa kritisisme.
Pengaruh Adat Istiadat Dalam Memahami Nash-Nash
Beberapa ushuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah fikih. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah ‘al’ddah mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum.
Kita ketahui bersama, bahwa perkembangan zaman telah memunculkan beraneka ragam problematika yang tidak ditemui pada zaman dahulu. Oleh karena itu, peran fikih dalam menyelesaikan problematika tersebut tidak hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik tanpa ada pembaharuan-pembaharuan fikih. Karena fikih yang notabenenya merupakan produk scholarship masa lalu, secara empiris telah terbukti kadaluarsa dalam membendung runyamnya dinamika kehidupan zaman. Kesulitan implementasi konsep klasik ini secara de facto dikarenakan “faktor eksternal” berupa hegemoni barat dan “faktor internal” berupa problem epistemologis-teoritis fikih. Hegemoni Barat sangat dirasakan telah berpengaruh besar terhadap kerepotan implementasi doktrin fikih klasik pada era modern.
Dalam menghadapi tuntutan modern tersebut, para pemikir ‘progresif’ seperti, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Jammal al Banna dan lain-lain, merasa yakin bahwa hukum klasik dengan epistem dan paradigmanya yang konvensional dinilai tidak akan mampu mengatasi dilema ini.
Oleh sebab itu, bagi para pemikir kontemporer, aplikasi fikih secara komprehensif dalam realitas sekarang ini tidak mungkin dilakukan tanpa pembaharuan fikih, sementara pembaharuan fikih tidak dapat direalisasikan kecuali melalui dekonstruksi serta rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma dan epistemologi fikih itu sendiri. Aktualisasi fikih harus dapat kita lakukan guna menghadapi kompleksitas problematika yang terjadi pada zaman sekarang, sehingga terlepas dari asumsi pembebekan terhadap teks klasik tanpa kritisisme. So, dengan aktualisasi fikih ini, maka Islam dapat tampil dengan wajah yang baru sesuai dengan realitas sekarang dan dapat diterima oleh umat pada zaman ini tanpa menghilangkan subtansi budaya Islam itu sendiri.
Seandainya secara kebetulan di dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh para sahabat dan tabi'in terdapat hal-hal yang selaras dengan problematika kontemporer, maka tidak ada salahnya untuk diambil. Namun jika tidak ada yang sesuai dengan persoalan kontemporer, maka harus diselesaikan dengan kesepakatan dalam lingkup batas-batas perjalanan sejarah yang kita lewati. Dengan ini, para intelektual Muslim akan terpacu dalam mengembangkan kajian fikih secara obyektif serta dapat memberikan solusi hukum sesuai dengan tuntutan zaman dan dapat diterima oleh masyarakat sekarang.
Hal tersebut mungkin akan membuat kita secara perlahan-lahan bisa melepas keterkung-kungan terhadap hegemoni barat yang sampai saat ini masih bercokol di segala bidang kehidupan.
Silakan renung dan pikirkan….!!!
Musnadil firdaus/AS(III)
Perkembangan Fikih sendiri telah mengalami berbagai macam periode mulai dari periode kenabian hingga pasca runtuhnya Baghdad (625H/1285M) atau lebih tepatnya periode stagnansi fikih. Runtuhnya Baghdad sendiri, terjadi setelah adanya invansi dua ratus ribu pasukan mongol sehingga menjadikan fikih mengalami masa kejumudan dan mengakibatkan timbulnya konservatisme. Pembantaian terhadap kaum intelektual muslim banyak terjadi sehingga tersebarlah kebodohan yang klimaks dengan “ditutupnya pintu ijtihad”. Madrasah, universitas, dan perpustakaan diporak-porandakan oleh Hulagu Khan yang mulanya hanya kelompok kecil pemburu dan penggembala di padang stepa di utara Cina hingga Siberia. Pasca dijajah bangsa Mongol, islam juga dijajah oleh Napoleon (Prancis), tetapi islam tidak bisa berbuat apa-apa.
Konservatisme ini memunculkan asumsi dogmatis bahwa capaian para sarjana klasik telah sempurna dan up-to-date, sehingga tidak butuh lagi pembaharuan pemikiran. Stagnansi terlihat dari berbagai aktivitas intelektualisme yang hanya berkutat pada penjelasan produk pemikiran lama.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya yaitu; pertama, tertutupnya pintu ijtihad sehingga berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual. faktor kedua yaitu, kodifikasi atas pendapat-pendapat ulama klasik pada masa kekuasaan Abbasiyah. Dan faktor ketiga yaitu, fanatisme dan perselisihan madzhab yang mengakibatkan kemerosotan dinamika ijtihad. Dan akhirnya memunculkan sebuah kajian-kajian yang tidak obyektif pada saat ini. Ini mengakibatkan kian jauhnya Islam dari isu-isu kontemporer (qodhaya al-mu’asyirah) yang berkembang pada masyarakat saat ini.
Fikih yang terbentuk pada zaman sekarang ini terkesan hanya terpaku pada sebuah konteks saja tanpa ada pembaharuan-pembaharuan. Maka apabila tidak adanya suatu pembaharuan-pembaharuan fikih atau dengan kata lain, kita hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik saja tanpa kritisisme maka rancangan bangunan fikih akan menjadi keropos dan tidak dapat untuk memberikan solusi yang baik dalam menghadapi kompleksitas problematika kehidupan yang muncul terus-menerus. Aktualisasi fikih sendiri dilakukan guna tercapainya sebuah Maqhosid al-Syariat yang terlepas dari sebuah pembebekan (taqlid) dan pengambilan pendapat qudama’ tanpa kritisisme.
Pengaruh Adat Istiadat Dalam Memahami Nash-Nash
Beberapa ushuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah fikih. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah ‘al’ddah mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum.
Kita ketahui bersama, bahwa perkembangan zaman telah memunculkan beraneka ragam problematika yang tidak ditemui pada zaman dahulu. Oleh karena itu, peran fikih dalam menyelesaikan problematika tersebut tidak hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik tanpa ada pembaharuan-pembaharuan fikih. Karena fikih yang notabenenya merupakan produk scholarship masa lalu, secara empiris telah terbukti kadaluarsa dalam membendung runyamnya dinamika kehidupan zaman. Kesulitan implementasi konsep klasik ini secara de facto dikarenakan “faktor eksternal” berupa hegemoni barat dan “faktor internal” berupa problem epistemologis-teoritis fikih. Hegemoni Barat sangat dirasakan telah berpengaruh besar terhadap kerepotan implementasi doktrin fikih klasik pada era modern.
Dalam menghadapi tuntutan modern tersebut, para pemikir ‘progresif’ seperti, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Jammal al Banna dan lain-lain, merasa yakin bahwa hukum klasik dengan epistem dan paradigmanya yang konvensional dinilai tidak akan mampu mengatasi dilema ini.
Oleh sebab itu, bagi para pemikir kontemporer, aplikasi fikih secara komprehensif dalam realitas sekarang ini tidak mungkin dilakukan tanpa pembaharuan fikih, sementara pembaharuan fikih tidak dapat direalisasikan kecuali melalui dekonstruksi serta rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma dan epistemologi fikih itu sendiri. Aktualisasi fikih harus dapat kita lakukan guna menghadapi kompleksitas problematika yang terjadi pada zaman sekarang, sehingga terlepas dari asumsi pembebekan terhadap teks klasik tanpa kritisisme. So, dengan aktualisasi fikih ini, maka Islam dapat tampil dengan wajah yang baru sesuai dengan realitas sekarang dan dapat diterima oleh umat pada zaman ini tanpa menghilangkan subtansi budaya Islam itu sendiri.
Seandainya secara kebetulan di dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh para sahabat dan tabi'in terdapat hal-hal yang selaras dengan problematika kontemporer, maka tidak ada salahnya untuk diambil. Namun jika tidak ada yang sesuai dengan persoalan kontemporer, maka harus diselesaikan dengan kesepakatan dalam lingkup batas-batas perjalanan sejarah yang kita lewati. Dengan ini, para intelektual Muslim akan terpacu dalam mengembangkan kajian fikih secara obyektif serta dapat memberikan solusi hukum sesuai dengan tuntutan zaman dan dapat diterima oleh masyarakat sekarang.
Hal tersebut mungkin akan membuat kita secara perlahan-lahan bisa melepas keterkung-kungan terhadap hegemoni barat yang sampai saat ini masih bercokol di segala bidang kehidupan.
Silakan renung dan pikirkan….!!!
Musnadil firdaus/AS(III)
Selasa, 27 September 2011
AGAMA BARU TELAH MUNCUL
Karya ini didedikasikan untuk berupaya membendung faham-faham sempalan dari faham mainstream yang telah ada sehingga menimbulkan kesadaran dalam kehidupan keberagamaan dan kenegaraan Indonesia.
Mayoritas penduduk dunia memiliki agama dengan Tuhan yang berbeda-beda. Dengan berbagai bentuk macam teologinya mulai dari yang terumit hingga yang paling sederhana. Masing-masing mengaku bahwasanya agama mereka adalah agama yang paling benar. Dalam kompleksitas tersebut ternyata muncullah sebuah agama baru yang begitu fundamental yang tertanam secara implisit dalam agama-agama tersebut, dengan teologi yang merupakan perpaduan dari seluruh teologi yang ada di muka bumi. Apakah agama tersebut? Kita seharusnya bisa menjawab dengan gamblang. Namun karena seakan hati kita sudah tertutup hingga kita tidak mampu mengetahuinya. Inilah yang dinamakan agama kekerasan.
Agama yang sebenarnya sudah dianut oleh pemeluk agama eksplisit yang fundamental semacam Islam, Kristen, Katolik, Yahudi maupun yang lainnya walaupun mereka tidak pernah mengetahuinya karena terlalu tertumpu pada teks ayat yang diklaim oleh masing-masing agama sebagai wahyu Ilahiyah yang dalam pemaknaannya dilakukan secara tekstual ataupun karena pemahaman yang kurang terhadap teks. Padahal dalam pemaknaan teks tersebut tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena akan menyebabkan kesalahan yang begitu fatal dan akan mempengaruhi hasil akhir dari sebuah keputusan.
Walaupun dalam kitab-kitab yang mereka klaim sebagai wahyu tersebut menyatakan bahwasanya Tuhan Maha Bijaksana, Maha Adil, Pemurah, Pengasih dan Penyayang namun dalam teks kitab-kitab juga dituliskan berbagai bentuk kekerasan yang secara langsung berasal dari Tuhan atau melalui hamba-Nya sebagai pembenaran atas realitas “Tuhan yang itu”. Dikarenakan begitu banyaknya ayat yang melukiskan kekerasan maka penulis mengambil salah satu dari sekian banyak ayat yang terdapat dalam berbagai teks-teks yang dianggap suci.
1. Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an disebutkan berbagai macam perintah tuhan kepada muslimin (sebutan orang-orang Islam) untuk berjihad di jalan Tuhan seperti yang dilukiskan dalam surat Al Anfal ayat 65 yang artinya kurang lebih seperti ini:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan jika ada 100 orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir tersebut kaum yang tidak mengerti”.
2. Perjanjian Baru (New Testament)
Dalam perjanjian baru disebutkan seperti Matius ayat 25 pasal 45-46: “Berikanlah makan pada yang lapar, pakaian pada yang telanjang, kenyamanan bagi yang sakit dan mengunjungi para tahanan dan terimalah pahala surgawi. Jika kamu gagal melakukannya maka terimalah siksaan yang abadi”. Disini disebutkan bahwasanya tuhan begitu memaksakan kehendak-Nya dengan menyuruh dan mengancam para umat-Nya mencari orang untuk di Kristenkan.
3. Perjanjian Lama (Herbrew Scripture)
Tuhan berbicara kepada Musa, berkatalah, balaslah dendam orang-orang Israel.... kemudian Musa berkata kepada kaumnya, “...perangilah orang-orang Midian, untuk membalaskan dendam Tuhan kita atas orang-orang Midian...” mereka kemudian memerangi orang-orang Midian persis seperti yang diperintahkan kepada Musa. Kemudian orang-orang Israel membunuh laki-laki dari orang Midian dan membiarkan wanitanya untuk hidup dan memakai mereka sebagai rampasan perang. (Bilangan 31:1-3, 7, 9-11, 14-15’ 17-18).
Inilah sekelumit kisah mengenai kekerasan Tuhan khususnya dalam agama semitik dan masih banyak yang lainnya sehingga penulis merasa tidak mampu untuk menuangkannya dalam beberapa halaman saja.
Kisah-kisah seperti inilah yang memengaruhi benak dari orang-orang yang begitu fundamental terhadap agama karena pemaknaan teks-teks suci yang begitu radikal sehingga mengacaukan mainstream dari ideologi keagamaan bahkan mengacu pada kekerasan baik dalam intern maupun antar agama bahkan dalam jangkauannya yang lebih luas dapat mengacaukan sistem ideologi negara seperti yang kita rasakan beberapa tahun belakangan ini di negara kita NKRI mulai dari isu terorisme hingga yang terbaru adalah kasus NII. Dengan dalih perintah dari Tuhan yang dituangkan dalam teks-teks suci mereka mencoba mengubah ideologi yang selama ini digunakan di indonesia dengan ideologi islam dan berusaha menjadikan NKRI menjadi negara Islam dengan cara mengambil sekelumit ayat dalam teks-teks suci untuk digunakan sebagai pembenaran tindakan mereka hingga menjadikan islam khususnya menjadi agama yang merupakan momok bagi kelangsungan hidup bernegara. Seperti kisah yang belakangan ini kerap ditayangkan baik dalam media elektronik maupun media cetak, bahwasanya mereka melakukan segala cara untuk mendoktrin seseorang untuk dimasukkan menjadi anggota mereka bahkan sebagian dari mereka mulai berani melanggar ketentuan hukum Tuhan mulai dari menipu, mencuri hingga membunuh demi terciptanya negara islam indonesia. Apakah ini elok demi terciptanya negara yang berlandaskan Islam malah melenceng jauh dari ketentuan Islam?
Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan Israel, memerangi Palestina dengan sedemikian rupa demi memenuhi janji tuhan atas tanah Palestina. Apakah ini juga elok?
Demikian halnya dengan Amerika yang memposisikan diri sebagai polisi dunia malah dengan sengaja menutup mata atas apa yang telah dilakukan Israel atas Palestina. Polisikah atau penjahitkah?
Begitu banyak kisah-kisah dalam teks-teks suci yang mewakili kekerasan Tuhan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata dikarenakan pemahaman terhadap agama yang terlalu kaku.
Dengan kisah-kisah diatas kini dimanakah letak agama rahmatan lil ‘alamin, agama damai dalam kasih? apakah hanya tinggal slogan belaka?
Bagaimanakah seharusnya membangun hubungan antar agama agar terjadi hubungan yang harmonis?
Yang pertama adalah toleransi, untuk mewujudkan toleransi baik intern maupun antar umat beragama memang sulit diwujudka.n karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks suci yang bahkan perbedaan tersebut dapat mengakibatkan kekerasan (violence) dalam kehidupan keberagamaan Hal ini dapat dikikis dengan cara mendiskusikan masalah-masalah yang terdapat dalam teks suci yang sekiranya rawan terjadi benturan dalam pemaknaannya sampai tuntas. Sementara diskusi-diskusi intern maupun antar agama yang ada pada saat ini tidak pernah mencapai jalan keluar yang memuaskan bahkan cenderung hanya mencapai titik didih dalam perdebatan. Oleh karena itu, tidak pernah ada sikap saling menghargai antar, intern agama maupun dengan instansi pemerintah.
Yang kedua adalah sikap sadar akan pluralisme keberagamaan yang memang tidak bisa dipaksakan satu sama lainnya agar bisa saling berfusi (menyatu) menjadi satu agama, namun kesadaran ini harus ditunjang dengan ideologi pokok yang tertanam dalam teks-teks suci yang secara garis besar menyuruh manusia untuk bersatu dan toleran bukannya menyatu karena pemaksaan hanya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Yang ketiga memahami isi teks-teks suci dengan kaidah-kaidah yang telah ada. Bukannya mengambil ayat hanya asal comot saja tanpa mempedulikan ayat-ayat lain. Karena hal ini akan menyebabkan perbedaan mendasar atas hasil yang akan dicapai. Jadi, untuk lebih amannya dianjurkan mengikuti mainstream keagamaan yang telah ada untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam pemaknaan teks-teks suci.
Yang keempat dan yang terpenting yaitu mengajarkan sejak dini kepada pelajar-pelajar tentang agama secara lebih mendalam agar tidak mudah terpedaya dengan bujuk rayu yang menyesatkan secara kontinyu dan tidak terbatas pada tataran teori namun juga perlu diperhatikan dalam tataran praktik sebagai upaya pertahanan akan faham sempalan yang melenceng dari mainstream keagamaan yang biasanya begitu radikal dalam mengutak-atik teks suci, agar tidak berkembang lebih jauh lagi.
Dengan landasan pokok negara kita yang berhaluan pada Pancasila dan UUD 1945, seharusnya kita mengerti akan ke pluralan kehidupan keberagamaan indonesia sehingga sampai kapan pun kita akan tetap menjadi plural dan tidak bisa memaksakan kehendak sendiri untuk mencapai negara berbasis Islam misalnya. Karena setiap individu memiliki hak untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing sehingga bila dipaksakan hanya akan memicu perpecahan negara.
Silakan Pikir Dan Renungkan.......!!!!
Oleh. Hishna M. Sabiq
Mayoritas penduduk dunia memiliki agama dengan Tuhan yang berbeda-beda. Dengan berbagai bentuk macam teologinya mulai dari yang terumit hingga yang paling sederhana. Masing-masing mengaku bahwasanya agama mereka adalah agama yang paling benar. Dalam kompleksitas tersebut ternyata muncullah sebuah agama baru yang begitu fundamental yang tertanam secara implisit dalam agama-agama tersebut, dengan teologi yang merupakan perpaduan dari seluruh teologi yang ada di muka bumi. Apakah agama tersebut? Kita seharusnya bisa menjawab dengan gamblang. Namun karena seakan hati kita sudah tertutup hingga kita tidak mampu mengetahuinya. Inilah yang dinamakan agama kekerasan.
Agama yang sebenarnya sudah dianut oleh pemeluk agama eksplisit yang fundamental semacam Islam, Kristen, Katolik, Yahudi maupun yang lainnya walaupun mereka tidak pernah mengetahuinya karena terlalu tertumpu pada teks ayat yang diklaim oleh masing-masing agama sebagai wahyu Ilahiyah yang dalam pemaknaannya dilakukan secara tekstual ataupun karena pemahaman yang kurang terhadap teks. Padahal dalam pemaknaan teks tersebut tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena akan menyebabkan kesalahan yang begitu fatal dan akan mempengaruhi hasil akhir dari sebuah keputusan.
Walaupun dalam kitab-kitab yang mereka klaim sebagai wahyu tersebut menyatakan bahwasanya Tuhan Maha Bijaksana, Maha Adil, Pemurah, Pengasih dan Penyayang namun dalam teks kitab-kitab juga dituliskan berbagai bentuk kekerasan yang secara langsung berasal dari Tuhan atau melalui hamba-Nya sebagai pembenaran atas realitas “Tuhan yang itu”. Dikarenakan begitu banyaknya ayat yang melukiskan kekerasan maka penulis mengambil salah satu dari sekian banyak ayat yang terdapat dalam berbagai teks-teks yang dianggap suci.
1. Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an disebutkan berbagai macam perintah tuhan kepada muslimin (sebutan orang-orang Islam) untuk berjihad di jalan Tuhan seperti yang dilukiskan dalam surat Al Anfal ayat 65 yang artinya kurang lebih seperti ini:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan jika ada 100 orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir tersebut kaum yang tidak mengerti”.
2. Perjanjian Baru (New Testament)
Dalam perjanjian baru disebutkan seperti Matius ayat 25 pasal 45-46: “Berikanlah makan pada yang lapar, pakaian pada yang telanjang, kenyamanan bagi yang sakit dan mengunjungi para tahanan dan terimalah pahala surgawi. Jika kamu gagal melakukannya maka terimalah siksaan yang abadi”. Disini disebutkan bahwasanya tuhan begitu memaksakan kehendak-Nya dengan menyuruh dan mengancam para umat-Nya mencari orang untuk di Kristenkan.
3. Perjanjian Lama (Herbrew Scripture)
Tuhan berbicara kepada Musa, berkatalah, balaslah dendam orang-orang Israel.... kemudian Musa berkata kepada kaumnya, “...perangilah orang-orang Midian, untuk membalaskan dendam Tuhan kita atas orang-orang Midian...” mereka kemudian memerangi orang-orang Midian persis seperti yang diperintahkan kepada Musa. Kemudian orang-orang Israel membunuh laki-laki dari orang Midian dan membiarkan wanitanya untuk hidup dan memakai mereka sebagai rampasan perang. (Bilangan 31:1-3, 7, 9-11, 14-15’ 17-18).
Inilah sekelumit kisah mengenai kekerasan Tuhan khususnya dalam agama semitik dan masih banyak yang lainnya sehingga penulis merasa tidak mampu untuk menuangkannya dalam beberapa halaman saja.
Kisah-kisah seperti inilah yang memengaruhi benak dari orang-orang yang begitu fundamental terhadap agama karena pemaknaan teks-teks suci yang begitu radikal sehingga mengacaukan mainstream dari ideologi keagamaan bahkan mengacu pada kekerasan baik dalam intern maupun antar agama bahkan dalam jangkauannya yang lebih luas dapat mengacaukan sistem ideologi negara seperti yang kita rasakan beberapa tahun belakangan ini di negara kita NKRI mulai dari isu terorisme hingga yang terbaru adalah kasus NII. Dengan dalih perintah dari Tuhan yang dituangkan dalam teks-teks suci mereka mencoba mengubah ideologi yang selama ini digunakan di indonesia dengan ideologi islam dan berusaha menjadikan NKRI menjadi negara Islam dengan cara mengambil sekelumit ayat dalam teks-teks suci untuk digunakan sebagai pembenaran tindakan mereka hingga menjadikan islam khususnya menjadi agama yang merupakan momok bagi kelangsungan hidup bernegara. Seperti kisah yang belakangan ini kerap ditayangkan baik dalam media elektronik maupun media cetak, bahwasanya mereka melakukan segala cara untuk mendoktrin seseorang untuk dimasukkan menjadi anggota mereka bahkan sebagian dari mereka mulai berani melanggar ketentuan hukum Tuhan mulai dari menipu, mencuri hingga membunuh demi terciptanya negara islam indonesia. Apakah ini elok demi terciptanya negara yang berlandaskan Islam malah melenceng jauh dari ketentuan Islam?
Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan Israel, memerangi Palestina dengan sedemikian rupa demi memenuhi janji tuhan atas tanah Palestina. Apakah ini juga elok?
Demikian halnya dengan Amerika yang memposisikan diri sebagai polisi dunia malah dengan sengaja menutup mata atas apa yang telah dilakukan Israel atas Palestina. Polisikah atau penjahitkah?
Begitu banyak kisah-kisah dalam teks-teks suci yang mewakili kekerasan Tuhan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata dikarenakan pemahaman terhadap agama yang terlalu kaku.
Dengan kisah-kisah diatas kini dimanakah letak agama rahmatan lil ‘alamin, agama damai dalam kasih? apakah hanya tinggal slogan belaka?
Bagaimanakah seharusnya membangun hubungan antar agama agar terjadi hubungan yang harmonis?
Yang pertama adalah toleransi, untuk mewujudkan toleransi baik intern maupun antar umat beragama memang sulit diwujudka.n karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks suci yang bahkan perbedaan tersebut dapat mengakibatkan kekerasan (violence) dalam kehidupan keberagamaan Hal ini dapat dikikis dengan cara mendiskusikan masalah-masalah yang terdapat dalam teks suci yang sekiranya rawan terjadi benturan dalam pemaknaannya sampai tuntas. Sementara diskusi-diskusi intern maupun antar agama yang ada pada saat ini tidak pernah mencapai jalan keluar yang memuaskan bahkan cenderung hanya mencapai titik didih dalam perdebatan. Oleh karena itu, tidak pernah ada sikap saling menghargai antar, intern agama maupun dengan instansi pemerintah.
Yang kedua adalah sikap sadar akan pluralisme keberagamaan yang memang tidak bisa dipaksakan satu sama lainnya agar bisa saling berfusi (menyatu) menjadi satu agama, namun kesadaran ini harus ditunjang dengan ideologi pokok yang tertanam dalam teks-teks suci yang secara garis besar menyuruh manusia untuk bersatu dan toleran bukannya menyatu karena pemaksaan hanya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Yang ketiga memahami isi teks-teks suci dengan kaidah-kaidah yang telah ada. Bukannya mengambil ayat hanya asal comot saja tanpa mempedulikan ayat-ayat lain. Karena hal ini akan menyebabkan perbedaan mendasar atas hasil yang akan dicapai. Jadi, untuk lebih amannya dianjurkan mengikuti mainstream keagamaan yang telah ada untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam pemaknaan teks-teks suci.
Yang keempat dan yang terpenting yaitu mengajarkan sejak dini kepada pelajar-pelajar tentang agama secara lebih mendalam agar tidak mudah terpedaya dengan bujuk rayu yang menyesatkan secara kontinyu dan tidak terbatas pada tataran teori namun juga perlu diperhatikan dalam tataran praktik sebagai upaya pertahanan akan faham sempalan yang melenceng dari mainstream keagamaan yang biasanya begitu radikal dalam mengutak-atik teks suci, agar tidak berkembang lebih jauh lagi.
Dengan landasan pokok negara kita yang berhaluan pada Pancasila dan UUD 1945, seharusnya kita mengerti akan ke pluralan kehidupan keberagamaan indonesia sehingga sampai kapan pun kita akan tetap menjadi plural dan tidak bisa memaksakan kehendak sendiri untuk mencapai negara berbasis Islam misalnya. Karena setiap individu memiliki hak untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing sehingga bila dipaksakan hanya akan memicu perpecahan negara.
Silakan Pikir Dan Renungkan.......!!!!
Oleh. Hishna M. Sabiq
Kamis, 19 Mei 2011
HASSAN HANAFI
Hassan Hanafi dilahirkan di Mesir di daerah Al-Azhar pada tahun 13 Februari 1935. Al-Azhar adalah daerah yang menjadi pusat pendidikan Mesir waktu itu, banyak para pelajar datang dari berbagai macam penjuru dunia untuk menuntut ilmu di Universitas ini. Walaupun begitu akan tetapi keadaan, sosial Mesir sangat tidak mendukung untuk kegiatan keilmuan di daerah tersebut hal ini disebabkan karena keberadaan bangsa Inggris yang ikut campur dalam pemerintahan Mesir, yang di dalamnya menggunakan sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan sebagian kecil golongan (dan lebih banyak dari bangsa Inggris) dan menyengsarakan rakyat banyak. Dengan keadaan sosial seperti itu Hassan Hanafi tergerak hatinya untuk melawan penindasan yang dilakukan oleh barat, jiwa patriotisme dan nasionalismenya lahir demi membela rakyat Mesir yang tertindas.
Awal pendidikanya dimulai ketika dia masih kecil pada umur lima tahun sudah mulai menghafalkan Al-Qur’an selanjutnya meneruskan pendidikan dasarnya selama empat tahun. Semangatnya yang sangat besar tercermin pada sikapnya yang ingin ikut berperang sebagai relawan pada usia yang masih sangat belia yaitu 13 tahun. Walaupun akhirnya usaha tersebut gagal karena dia ditolak sebab alasan masih terlalu kecil untuk ikut berperang, kejadian ini terjadi pada tahun 1948. Semenjak tahun 1952 sampai 1956 dia kuliah di Universitas Cairo untuk mendalami filsafat selama menjadi mahasiswa dia aktif sebagai aktivis gerakan Ikhwanul Muslimin.
Setelah studi di negaranya Hassan Hanafi melanjutkan ke Perancis tepatnya di Universitas Sorbone. Di sini dia banyak membaca karya-karya penulis terkenal dari barat dalam bidang sastra, filsafat, teologi Kristen, pembaharuan, reformasi, orientalis dan karya-karya lain karena Perancis adalah salah satu gudangnya para pemikir dari barat dan dari sini juga pernah terjadi suatu revolusi besar yang dapat merubah tatanan yang pernah ada yaitu revolusi Perancis. Dia menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk studinya di Universitas mulai tahun 1956 sampai 1966. Karena keilmuannya yang mumpuni, dia dipercaya mengajar pada beberapa Universitas dan menjadi dosen tamu dibeberapa negara seperti Belgia dan Amerika. Pada tahun 1971-1975 dia mengajar di Amerika. Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasional, baik di kawasan negara-negara Arab, Asia, Eropa, dan Amerika membantunya semakin paham terhadap persoalan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat Islam di berbagai Negara. Hanafi berkali kali mengunjungi negara-negara asing seperti Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, dan Saudi Arabia antara tahun 1980-1987.
Wacana pemikiran Hassan Hanafi dari barat banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi karya Edmund Hussrel sedangkan dari Timur (Islam) dipengaruhi oleh tokoh-tokoh gerakan Islam, seperti Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abu Al-A’la Al-Maududi, Abu al-Hassan al-Nadhvi, dll. Dalam metodologi tafsirnya terlihat jelas aliran fenomenologi yang ia bawa dari Perancis seperti terlihat dalam tawaran “Hermeneutika Aksiomatik”, menurutnya langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penafsiran Al-Quran adalah:
1. Kritik Historis, dari sini dapat diketahui aspek sejarah dari suatu ayat seperti asbabun nuzul, nasikh -
mansukh, penerimaan para sahabat waktu itu dan periwayatan selanjutnya tentang ayat atau hadis tersebut, penghargaannya yang tinggi pada sejarah dan peninggalan diwujudkannya pada pemikiran tentang turats wa tajdid.
1. Kritik Eiditik, menguak pesan Tuhan dengan analisa-analisa lebih jauh dan mendalam seperti analisa bahasa, setting sosial, logika, ilmu-ilmu modern, kemajuan zaman dan analisa-analisa lainnya yang dianggap perlu.
2. Kritik Praktis, pemahaman terhadap wahyu Tuhan tidaklah hanya merupakan sebuah pemahaman yang berkutat pada teori pemahaman akan teks an sich (apa adanya), melainkan juga berupa teori yang berupaya menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia (praksis) dan sejak dari pikiran Tuhan sampai kepada kehidupan manusia.
Sebelum dia menawarkan metode baru dalam penafsiran terlebih dahulu dia mengkritik metode-metode penafsiran yang digunakan oleh ulama salaf, menurutnya ada beberapa hal yang perlu dikritik pada penafsiran mereka yaitu:
1. Teks bukan realitas, teks adalah teks murni itu sendiri yang sebenarnya hanya sebuah ekspresi kebahasaan terhadap realitas, sehingga suatu teks perlu dicari aspek realitasnya.
2. Teks memerlukan keyakinan apriori yang berlawanan dengan rasio dan empiris manusia, karena itu kebenaran teks bergantung pada kepercayaan pada teks.
3. Teks berasal dari luar teks itu sendiri
bukan dari dalam sehingga perlu analisa di luar teks.
4. Teks adalah kompleks, perlu kajian yang menyeluruh dalam memahami suatu teks tidak hanya berkutat pada satu ayat saja.
5. Teks dalam penafsirannya selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan pendapat, perlu analisa mendalam dalam pilihan-pilihan yang telah dilakukan oleh para ulama salaf, apa pertimbangan mereka.
6. Teks ditafsirkan oleh orang yang mempunyai berbagai macam latar belakang yang menimbulkan perbedaan dan selanjutnya menimbulkan saling dorong antar penafsir sendiri.
7. Teks lebih banyak diarah untuk menasihati manusia bukannya untuk memberi penjelasan logis dan masuk akal, bersifat doktriner.
Selain itu seperti para pemikir kontemporer lainnya Hassan Hanafi juga lebih bergaya antroposentris, sosialis, humanis. Gerakan yang dia bangun yang bernama ”Kiri Islam” bertujuan untuk menyuarakan pesan-pesan moral yang dibawa Islam untuk masyarakat luas, contoh pemahamannya dalam bidang ibadah adalah:
1. Tauhid, menurutnya tauhid adalah penyatuan, penyatuan seluruh elemen masyarakat dalam berbagai bidang yang ada untuk kemajuan dan kemakmuran Islam. Tauhid bukan hanya semata-mata mengakui Ke Esa-an Tuhan tetapi juga gerakan realdalam kehidupan sosial.
2. Shalat, dalam shalat kita diajarkan untuk konsentrasi pemusatan pemikiran, adanya latihan fisik, solidaritas dalam berjamaah, tepat waktu, adanya satu tujuan yang sama dalam menghadap qiblat, kebersihan dalam menjaga badan dan lingkungan.
3. Puasa, dengan rasa lapar kita diharapkan dapat merasakan penderitaan orang-orang miskin sehingga tumbuh solidaritas sosial, dan adanya kebersamaan seluruh umat muslim di dalam bulan Ramadhan
4. Zakat, ada aspek ekonomi dalam perintah zakat yaitu pemerataan pendapatan dan membantu kaum miskin.
5. Haji, pada musim haji Makkah adalah pusat penyatuan seluruh umat muslim diseluruh dunia dengan adanya pertemuan ini diharapkan akan menjadi sebuah peristiwa konferensi agung umat muslim.
Hassan Hanafi menilai untuk kemajuan Islam kedepan maka kita perlu mencontoh orang barat dalam usaha mereka dalam mencapai modernisasi. Hanafi menawarkan oksidentalisme yaitu lawan dari orientalisme, diharapkan dengan ini umat Islam dapat meniru barat dan memfilter hal-hal yang tidak baik atau tidak penting.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Miftahul Huda/AS VI
Kancil dan Pak Tani
Pak Tani sedang sedih di gubuknya. Akhir-akhir ini dia tidak Cuma bingung mikirin pupuk mahal, tapi juga pusing gara-gara banyak ulat bulu yang nyerbu ke ladangnya, sambil duduk termenung di gubuknya dia ngomong sendiri “oalah… orang kecil, udah melarat masih ketambahan masalah, harga pupuk mahal, beras malah murah, koq ya ulat-ulat bulu itu ndak nyerbu gedung DPR aja biar diganti baru”. Capek mikir, dia ambil bulletin yang ada di gubuknya, dia bolak-balik dilihat, dibaca sekilas. Entah gak tahu kenapa akhir-akhir ini banyak sekali buletin yang beredar ada yang kertas warna biru, hijau, putih, warna-warni. Saking banyaknya, penyebarannya gak cuma di kampus tapi sampe gubuknya pak tani, mboh siapa yang bawa kesitu.
Buletinnya macem-macem, gayanya juga macem-macem, gambarnya juga aneh-aneh sebagian gak dipahami pak tani. Dibaca dikit-dikit yang bisa dipahami, yang pake bahasa sasi-sasi gak terlalu digatekne karena gak paham. Pak Tani gak kuliah.
Bu Tani datang bawa makanan dari rumah langsung di tanyai pak Tani “bu.. ini apa maksudnya koq banyak pikirane mahasiswa seng aneh-aneh. Ada yang pengen bikin negara Islam, ada yang dungo pake dancok, dancok, ada yang bilang pake baju yang penting cuma sempak ma kutang thok. Ini gimana disekolahne koq malah nakal, mendingan gak usah sekolah macul ae gen golek duwit”. Bu tani yang gak sempet baca bulletin cuma bisa komentar “ya biarin, namanya juga masih anak-anak, pikirane masih panas pengen yang ini yang itu, ntar juga tobat sendiri”. ”tapi gimana masak kayak gini pakaian wanita koq cuma kutang ma sempak, kayak apa jadinya dunia, yang pake pensil saja dimarahai kena undang-undang kode etik kampus apalagi yang ini” sewot pak tani. “Yo biarin” jawab bu tani lagi “semuanya punya dasar pikiran masing-masing, emboh gimana yang bener, kabeh ngakune paling bener dewe. Bom bunuh diri aja bisa bener paling bunuh orang lain juga bisa bener” “lha trus gimana?” Tanya pak tani lagi “gimana apanya? Ya itu tadi semua punya dasar sendiri-sendiri lha wong kita sekarang ini hidup di jaman postmodern. Apapun boleh pokok punya dasar yang jelas” pak tani bingung dengar omongannya bu tani yang agak aneh tadi “apa bu postmodern? Opo kuwi gak paham aku” bu tani jawab kalem “alah buku punya anakmu seng kuliah iku lho, aku baca dikit-dikit. Intinya ya itu tadi apapun boleh pokok punya dalil. Pak tani makin bingung “dunia koq apapun boleh kayak apa jadinya?”.
Bingung mikir bulletin pak tani ganti mikir si kancil. Dulu yang selalu setia menghabiskan timun pak tani adalah kancil sekarang kewan itu gak pernah kelihatan mboh kemana.
Diem-diem kancil juga lagi stress. gak enak makan gak enak minum. Kancil susah “timune pak tani sekarang rasanya gak enak lagi mergo kakehen disemprot ngge obat-obat pabrik. Banyu kali rasane juga gak enak. jaman mbiyen waktu orang masih kencing berak di kali rasa air malah enak, Ikannya banyak, airnya jernih, bening gak sepet. Sekarang orang punya WC sendiri-sendiri di rumah malah airnya gak karuan”. Kancil mundak stress kalo dulu saingannya nyolong timun gak ada sekarang punya saingan baru yang namanya ulat bulu. Semuanya stress. Pak tani stress, kancil juga stress.
Awal pendidikanya dimulai ketika dia masih kecil pada umur lima tahun sudah mulai menghafalkan Al-Qur’an selanjutnya meneruskan pendidikan dasarnya selama empat tahun. Semangatnya yang sangat besar tercermin pada sikapnya yang ingin ikut berperang sebagai relawan pada usia yang masih sangat belia yaitu 13 tahun. Walaupun akhirnya usaha tersebut gagal karena dia ditolak sebab alasan masih terlalu kecil untuk ikut berperang, kejadian ini terjadi pada tahun 1948. Semenjak tahun 1952 sampai 1956 dia kuliah di Universitas Cairo untuk mendalami filsafat selama menjadi mahasiswa dia aktif sebagai aktivis gerakan Ikhwanul Muslimin.
Setelah studi di negaranya Hassan Hanafi melanjutkan ke Perancis tepatnya di Universitas Sorbone. Di sini dia banyak membaca karya-karya penulis terkenal dari barat dalam bidang sastra, filsafat, teologi Kristen, pembaharuan, reformasi, orientalis dan karya-karya lain karena Perancis adalah salah satu gudangnya para pemikir dari barat dan dari sini juga pernah terjadi suatu revolusi besar yang dapat merubah tatanan yang pernah ada yaitu revolusi Perancis. Dia menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk studinya di Universitas mulai tahun 1956 sampai 1966. Karena keilmuannya yang mumpuni, dia dipercaya mengajar pada beberapa Universitas dan menjadi dosen tamu dibeberapa negara seperti Belgia dan Amerika. Pada tahun 1971-1975 dia mengajar di Amerika. Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasional, baik di kawasan negara-negara Arab, Asia, Eropa, dan Amerika membantunya semakin paham terhadap persoalan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat Islam di berbagai Negara. Hanafi berkali kali mengunjungi negara-negara asing seperti Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, dan Saudi Arabia antara tahun 1980-1987.
Wacana pemikiran Hassan Hanafi dari barat banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi karya Edmund Hussrel sedangkan dari Timur (Islam) dipengaruhi oleh tokoh-tokoh gerakan Islam, seperti Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abu Al-A’la Al-Maududi, Abu al-Hassan al-Nadhvi, dll. Dalam metodologi tafsirnya terlihat jelas aliran fenomenologi yang ia bawa dari Perancis seperti terlihat dalam tawaran “Hermeneutika Aksiomatik”, menurutnya langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penafsiran Al-Quran adalah:
1. Kritik Historis, dari sini dapat diketahui aspek sejarah dari suatu ayat seperti asbabun nuzul, nasikh -
mansukh, penerimaan para sahabat waktu itu dan periwayatan selanjutnya tentang ayat atau hadis tersebut, penghargaannya yang tinggi pada sejarah dan peninggalan diwujudkannya pada pemikiran tentang turats wa tajdid.
1. Kritik Eiditik, menguak pesan Tuhan dengan analisa-analisa lebih jauh dan mendalam seperti analisa bahasa, setting sosial, logika, ilmu-ilmu modern, kemajuan zaman dan analisa-analisa lainnya yang dianggap perlu.
2. Kritik Praktis, pemahaman terhadap wahyu Tuhan tidaklah hanya merupakan sebuah pemahaman yang berkutat pada teori pemahaman akan teks an sich (apa adanya), melainkan juga berupa teori yang berupaya menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia (praksis) dan sejak dari pikiran Tuhan sampai kepada kehidupan manusia.
Sebelum dia menawarkan metode baru dalam penafsiran terlebih dahulu dia mengkritik metode-metode penafsiran yang digunakan oleh ulama salaf, menurutnya ada beberapa hal yang perlu dikritik pada penafsiran mereka yaitu:
1. Teks bukan realitas, teks adalah teks murni itu sendiri yang sebenarnya hanya sebuah ekspresi kebahasaan terhadap realitas, sehingga suatu teks perlu dicari aspek realitasnya.
2. Teks memerlukan keyakinan apriori yang berlawanan dengan rasio dan empiris manusia, karena itu kebenaran teks bergantung pada kepercayaan pada teks.
3. Teks berasal dari luar teks itu sendiri
bukan dari dalam sehingga perlu analisa di luar teks.
4. Teks adalah kompleks, perlu kajian yang menyeluruh dalam memahami suatu teks tidak hanya berkutat pada satu ayat saja.
5. Teks dalam penafsirannya selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan pendapat, perlu analisa mendalam dalam pilihan-pilihan yang telah dilakukan oleh para ulama salaf, apa pertimbangan mereka.
6. Teks ditafsirkan oleh orang yang mempunyai berbagai macam latar belakang yang menimbulkan perbedaan dan selanjutnya menimbulkan saling dorong antar penafsir sendiri.
7. Teks lebih banyak diarah untuk menasihati manusia bukannya untuk memberi penjelasan logis dan masuk akal, bersifat doktriner.
Selain itu seperti para pemikir kontemporer lainnya Hassan Hanafi juga lebih bergaya antroposentris, sosialis, humanis. Gerakan yang dia bangun yang bernama ”Kiri Islam” bertujuan untuk menyuarakan pesan-pesan moral yang dibawa Islam untuk masyarakat luas, contoh pemahamannya dalam bidang ibadah adalah:
1. Tauhid, menurutnya tauhid adalah penyatuan, penyatuan seluruh elemen masyarakat dalam berbagai bidang yang ada untuk kemajuan dan kemakmuran Islam. Tauhid bukan hanya semata-mata mengakui Ke Esa-an Tuhan tetapi juga gerakan realdalam kehidupan sosial.
2. Shalat, dalam shalat kita diajarkan untuk konsentrasi pemusatan pemikiran, adanya latihan fisik, solidaritas dalam berjamaah, tepat waktu, adanya satu tujuan yang sama dalam menghadap qiblat, kebersihan dalam menjaga badan dan lingkungan.
3. Puasa, dengan rasa lapar kita diharapkan dapat merasakan penderitaan orang-orang miskin sehingga tumbuh solidaritas sosial, dan adanya kebersamaan seluruh umat muslim di dalam bulan Ramadhan
4. Zakat, ada aspek ekonomi dalam perintah zakat yaitu pemerataan pendapatan dan membantu kaum miskin.
5. Haji, pada musim haji Makkah adalah pusat penyatuan seluruh umat muslim diseluruh dunia dengan adanya pertemuan ini diharapkan akan menjadi sebuah peristiwa konferensi agung umat muslim.
Hassan Hanafi menilai untuk kemajuan Islam kedepan maka kita perlu mencontoh orang barat dalam usaha mereka dalam mencapai modernisasi. Hanafi menawarkan oksidentalisme yaitu lawan dari orientalisme, diharapkan dengan ini umat Islam dapat meniru barat dan memfilter hal-hal yang tidak baik atau tidak penting.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Miftahul Huda/AS VI
Kancil dan Pak Tani
Pak Tani sedang sedih di gubuknya. Akhir-akhir ini dia tidak Cuma bingung mikirin pupuk mahal, tapi juga pusing gara-gara banyak ulat bulu yang nyerbu ke ladangnya, sambil duduk termenung di gubuknya dia ngomong sendiri “oalah… orang kecil, udah melarat masih ketambahan masalah, harga pupuk mahal, beras malah murah, koq ya ulat-ulat bulu itu ndak nyerbu gedung DPR aja biar diganti baru”. Capek mikir, dia ambil bulletin yang ada di gubuknya, dia bolak-balik dilihat, dibaca sekilas. Entah gak tahu kenapa akhir-akhir ini banyak sekali buletin yang beredar ada yang kertas warna biru, hijau, putih, warna-warni. Saking banyaknya, penyebarannya gak cuma di kampus tapi sampe gubuknya pak tani, mboh siapa yang bawa kesitu.
Buletinnya macem-macem, gayanya juga macem-macem, gambarnya juga aneh-aneh sebagian gak dipahami pak tani. Dibaca dikit-dikit yang bisa dipahami, yang pake bahasa sasi-sasi gak terlalu digatekne karena gak paham. Pak Tani gak kuliah.
Bu Tani datang bawa makanan dari rumah langsung di tanyai pak Tani “bu.. ini apa maksudnya koq banyak pikirane mahasiswa seng aneh-aneh. Ada yang pengen bikin negara Islam, ada yang dungo pake dancok, dancok, ada yang bilang pake baju yang penting cuma sempak ma kutang thok. Ini gimana disekolahne koq malah nakal, mendingan gak usah sekolah macul ae gen golek duwit”. Bu tani yang gak sempet baca bulletin cuma bisa komentar “ya biarin, namanya juga masih anak-anak, pikirane masih panas pengen yang ini yang itu, ntar juga tobat sendiri”. ”tapi gimana masak kayak gini pakaian wanita koq cuma kutang ma sempak, kayak apa jadinya dunia, yang pake pensil saja dimarahai kena undang-undang kode etik kampus apalagi yang ini” sewot pak tani. “Yo biarin” jawab bu tani lagi “semuanya punya dasar pikiran masing-masing, emboh gimana yang bener, kabeh ngakune paling bener dewe. Bom bunuh diri aja bisa bener paling bunuh orang lain juga bisa bener” “lha trus gimana?” Tanya pak tani lagi “gimana apanya? Ya itu tadi semua punya dasar sendiri-sendiri lha wong kita sekarang ini hidup di jaman postmodern. Apapun boleh pokok punya dasar yang jelas” pak tani bingung dengar omongannya bu tani yang agak aneh tadi “apa bu postmodern? Opo kuwi gak paham aku” bu tani jawab kalem “alah buku punya anakmu seng kuliah iku lho, aku baca dikit-dikit. Intinya ya itu tadi apapun boleh pokok punya dalil. Pak tani makin bingung “dunia koq apapun boleh kayak apa jadinya?”.
Bingung mikir bulletin pak tani ganti mikir si kancil. Dulu yang selalu setia menghabiskan timun pak tani adalah kancil sekarang kewan itu gak pernah kelihatan mboh kemana.
Diem-diem kancil juga lagi stress. gak enak makan gak enak minum. Kancil susah “timune pak tani sekarang rasanya gak enak lagi mergo kakehen disemprot ngge obat-obat pabrik. Banyu kali rasane juga gak enak. jaman mbiyen waktu orang masih kencing berak di kali rasa air malah enak, Ikannya banyak, airnya jernih, bening gak sepet. Sekarang orang punya WC sendiri-sendiri di rumah malah airnya gak karuan”. Kancil mundak stress kalo dulu saingannya nyolong timun gak ada sekarang punya saingan baru yang namanya ulat bulu. Semuanya stress. Pak tani stress, kancil juga stress.
PENDIDIKAN IDEAL
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.( UU No. 20 Tahun 2003).
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman”. Maksudnya, barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya. Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding dan ijazah tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Seharusnya beginilah wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang telah dipaparkan oleh undang-undang dan Ibnu Khaldun adalah pendidikan yang tidaklah menjadikan manusia sebagai robot dalam setiap apa yang diperolehnya, setiap apa yang didengar, dilihat dirasa seharusnya dapat menjadikan manusia lebih berbudi dan mengerti akan kehidupan sekelilingnya. Pernahkah pembaca lihat film 3 Idiots yang dibintangi oleh Amir Khan dan kedua temannya serta Kareena Kapoor. Dalam film ini dipaparkan bahwasanya pendidikan bukanlah hal yang semata-mata hanya mengejar dunia namun pendidikan tetaplah harus memiliki kesinambungan antara pribadi dan sosial.
Sedangkan menurut Paulo Freire pendidikan yang seharusnya terjadi bukanlah pendidikan gaya robot. Maksudnya, apa yang diperoleh dari pendidikan yang ada hanyalah hal yang hanya tersimpan dalam memory saja tanpa tahu apa yang seharusnya dilakukan dengan hal tersebut. Mengapa Freire mengkritik pendidikan gaya robot? salah satunya adalah karena pendidikan gaya robot hanya menjadikan peserta didik sebagai objek yang hanya menampung apa yang diberikan tanpa tahu yang diberikan itu adalah hal yang pantas diterapkan atau tidak, tanpa tahu kegunaan dari apa yang diterima, tanpa mengerti mengapa hal ini diberikan. Sekarang mari kita amati bagaimana proses pendidikan kita. Apakah cenderung bergaya robot atau sudah mengikuti dari undang-undang yang ada?.
Dari mulai tingkat dasar sampai tingkat atas pendidikan kita adalah pendidikan gaya robot yang hanya menguntungkan bagi kaum kapitalis. Contohnya seperti ini, Adi adalah murid sekolah dasar yang saat ini sedang diajari pelajaran tentang perbuatan terpuji. Namun apakah yang terjadi dengannya diluar sekolah?, ternyata sepulang sekolah dia melempari temannya dengan batu tanpa ada alasan yang jelas. Cerita belum berakhir, ketika ujian nilai Adi begitu memukau. Nilai pelajaran PKn yang diperolehnya sangat bagus. Berbanding terbalik dengan kenakalan yang dia lakukan di luar ruang sekolah. Wow fantastisnya pendidikan ala Indonesia! Sangat timpang dengan apa yang tercantum di dalam undang-undang. Indonesia adalah bangsa yang “gemah ripah loh jinawi”, negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya mulai dari hutan hingga lautan maupun kekayaan alam yang tersimpan di dalam perut bumi .
Namun dengan adanya sistem pendidikan yang ada sekarang ini kita bukannya menjadi negara kaya, bukannya menjadi negara maju tetapi malah menjadi negara miskin yang kekayaan alamnya hanya dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, bagaimanakah bentuk pendidikan yang seharusnya diterapkan di Indonesia ?
Pertama-tama marilah kita pretheli undang-undang kita. Sudah bagus memang, tapi dalam penerapannya???
1. Usaha Sadar dan Terencana
Pendidikan terjadi atas dasar kesadaran baik dari unsur anak didik maupun pendidik. Maksudnya harus sadar akan posisi masing-masing dan tugas yang diemban dengan perencanaan pendidikan yang sesuai standart. Bukannya hanya menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan saja. Sebagai peserta didik seharusnya bersikap kritis akan segala informasi yang diterima. Bukannya hanya tahu nyanyian lagu iya(ngutip iwan fals dikit). Sedangkan untuk pendidik sebaiknya janganlah terlalu mendogma peserta didiknya agar peserta didik dapat timbul berbagai pertanyaan, yang mana pertanyaan itu merupakan suatu pertanyaan yang bermutu.
2. Untuk Mewujudkan Suasana Pembelajaran/Pendidikan
Dengan tujuan yang sudah begitu bagus undang-undang kita mengajarkan bahwasanya pendidikan bukanlah ajang untuk pamer kekayaan, kecantikan, ketampanan dll. Namun pendidikan merupakan ajang untuk bertukar pikiran.
Bukannya ajang nyucuk irung kebo (mematuk hidung kerbau). Wah kerbaunya gak bisa balas nich!!!!! Disinilah peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam sebuah pembelajaran. Jangan takut salah dalam memberikan sumbangan pemikiran, karena sesungguhnya takut salah adalah kesalahan yang sangat besar. Memang untuk mewujudkan kondisi pembelajaran sangat sulit dan harus dimulai dari awal untuk menjadikan anak didik lebih kritis pada saatnya nanti.
Menurut Freire dibutuhkan empat tingkatan untuk menumbuhkan nalar kritis:
a. Kesadaran intransitif, yaitu tingkatan awal dimana orang belum dapat mengenali diri sendiri maupun lingkungannya.
b. Kesadaran semi intransitif, yaitu kesadaran yang terjadi pada masyarakat yag tertindas namun acuh terhadap penindasan.
c. Kesadaran naif, yaitu kesadaran akan sebuah realitas dan mampu memikirkannya. Namun masih cenderung menggunakan emosi yang berlebih ketika menyelesaikan permasalahan.
d. Kesadaran kritis transitif, yaitu kesadaran puncak dimana seseorang dapat mengenali dirinya dan sekelilingnya dengan baik serta mampu menolak dan menerima dengan akal pikiran yang terbuka.Di tingkatan nomor empat inilah letak dari pendidikan yang sejati yang dapat mengenal baik dan buruk dengan akal pikirannya sendiri.
3. Untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Nah ini dia point penyelamat bangsa. Lho koq bisa gitu? Bayangkan saja seandainya Indonesia hanya dihuni oleh orang-orang yang pandai namun tidak mempunyai akhlak mulia. Apa yang bakalan terjadi? HANCUR BRO NEGARANYA. Trus gimana ya kalo akhlaknya baik tapi bodoh?emm ya ketipu melulu dong bangsa kita. Baguskan undang-undang kita!
Yang kedua, dinegara kita pendidikan adalah tipe bulus( belajar terus asal ada fulus). Mengapa begitu? Uang negara hanya untuk bangun gedung mewah DPR saja. Dana BOS memang ada sich tapi????
Mari kita bandingkan dengan pola pendidikan yang diutarakan oleh ibnu khaldun. Beliau berkata: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman”. Inilah kelemahan indonesia. Pendidikan yang seharusnya dienyam oleh seluruh rakyat indonesia hanya bisa dienyam oleh orang yang ber-uang. Adanya penanganan yang jelas tentang nasib pendidikan di Indonesia menjadi sebuah keharusan sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Ada yang pernah dengar ini g?ta’allam wa ‘allamah(belajarlah dan ajarkanlah). Tapi adakah yang suka rela memberi pendidikan GRATIS??? Mungkin konsep pendidikan yang di tawarkan oleh Ibnu Khaldun dapat menjadi sebuah jalan keluar dari semrawutnya sistem pendidikan Indonesia. Namun siapa yang mau menghargai konsep pendidikan ala Ibnu Khaldun ini? Negara Indonesia adalah negara ijazah, pemerintah kita adalah pemerintah ijazah, orang sekolah yang dicari cuma??????. Tidak adanya apresiasi yang lebih terhadap siswa kalangan luar sekolah menjadikan pendidikan ala Ibnu Khaldun menjadi terpinggirkan. Semua saya kira juga tahu tentang Lintang dalam film laskar pelangi. Siapakah dia?, bagaimanakah kehidupan sehari-harinya? Namun bagaimana tanggapan dunia tentangnya? Orang seperti inilah yang seharusnya menjadi pemimpin bangsa. Namun tak ada apresiasi terhadap orang semacam Lintang. Mengapa? Karena dia adalah orang “KERE”.
Sekarang apakah negara kita mau dijadikan negara yang memanusiakan robot atau merobotkan manusia hanya dapat kita pasrahkan pada orang-orang dengan ijazah yang berada didalam gedung ber-AC yang kita tidak tahu jalan pikiran mereka. Sedangkan, kita hanya dapat berharap semoga apa yang dilakukan mereka dapat menjadikan bangsa semakin maju ke depannya. AMIN(Anak Muda INdonesia).
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Hishna M. Sabiq AS IV
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman”. Maksudnya, barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya. Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding dan ijazah tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Seharusnya beginilah wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang telah dipaparkan oleh undang-undang dan Ibnu Khaldun adalah pendidikan yang tidaklah menjadikan manusia sebagai robot dalam setiap apa yang diperolehnya, setiap apa yang didengar, dilihat dirasa seharusnya dapat menjadikan manusia lebih berbudi dan mengerti akan kehidupan sekelilingnya. Pernahkah pembaca lihat film 3 Idiots yang dibintangi oleh Amir Khan dan kedua temannya serta Kareena Kapoor. Dalam film ini dipaparkan bahwasanya pendidikan bukanlah hal yang semata-mata hanya mengejar dunia namun pendidikan tetaplah harus memiliki kesinambungan antara pribadi dan sosial.
Sedangkan menurut Paulo Freire pendidikan yang seharusnya terjadi bukanlah pendidikan gaya robot. Maksudnya, apa yang diperoleh dari pendidikan yang ada hanyalah hal yang hanya tersimpan dalam memory saja tanpa tahu apa yang seharusnya dilakukan dengan hal tersebut. Mengapa Freire mengkritik pendidikan gaya robot? salah satunya adalah karena pendidikan gaya robot hanya menjadikan peserta didik sebagai objek yang hanya menampung apa yang diberikan tanpa tahu yang diberikan itu adalah hal yang pantas diterapkan atau tidak, tanpa tahu kegunaan dari apa yang diterima, tanpa mengerti mengapa hal ini diberikan. Sekarang mari kita amati bagaimana proses pendidikan kita. Apakah cenderung bergaya robot atau sudah mengikuti dari undang-undang yang ada?.
Dari mulai tingkat dasar sampai tingkat atas pendidikan kita adalah pendidikan gaya robot yang hanya menguntungkan bagi kaum kapitalis. Contohnya seperti ini, Adi adalah murid sekolah dasar yang saat ini sedang diajari pelajaran tentang perbuatan terpuji. Namun apakah yang terjadi dengannya diluar sekolah?, ternyata sepulang sekolah dia melempari temannya dengan batu tanpa ada alasan yang jelas. Cerita belum berakhir, ketika ujian nilai Adi begitu memukau. Nilai pelajaran PKn yang diperolehnya sangat bagus. Berbanding terbalik dengan kenakalan yang dia lakukan di luar ruang sekolah. Wow fantastisnya pendidikan ala Indonesia! Sangat timpang dengan apa yang tercantum di dalam undang-undang. Indonesia adalah bangsa yang “gemah ripah loh jinawi”, negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya mulai dari hutan hingga lautan maupun kekayaan alam yang tersimpan di dalam perut bumi .
Namun dengan adanya sistem pendidikan yang ada sekarang ini kita bukannya menjadi negara kaya, bukannya menjadi negara maju tetapi malah menjadi negara miskin yang kekayaan alamnya hanya dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, bagaimanakah bentuk pendidikan yang seharusnya diterapkan di Indonesia ?
Pertama-tama marilah kita pretheli undang-undang kita. Sudah bagus memang, tapi dalam penerapannya???
1. Usaha Sadar dan Terencana
Pendidikan terjadi atas dasar kesadaran baik dari unsur anak didik maupun pendidik. Maksudnya harus sadar akan posisi masing-masing dan tugas yang diemban dengan perencanaan pendidikan yang sesuai standart. Bukannya hanya menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan saja. Sebagai peserta didik seharusnya bersikap kritis akan segala informasi yang diterima. Bukannya hanya tahu nyanyian lagu iya(ngutip iwan fals dikit). Sedangkan untuk pendidik sebaiknya janganlah terlalu mendogma peserta didiknya agar peserta didik dapat timbul berbagai pertanyaan, yang mana pertanyaan itu merupakan suatu pertanyaan yang bermutu.
2. Untuk Mewujudkan Suasana Pembelajaran/Pendidikan
Dengan tujuan yang sudah begitu bagus undang-undang kita mengajarkan bahwasanya pendidikan bukanlah ajang untuk pamer kekayaan, kecantikan, ketampanan dll. Namun pendidikan merupakan ajang untuk bertukar pikiran.
Bukannya ajang nyucuk irung kebo (mematuk hidung kerbau). Wah kerbaunya gak bisa balas nich!!!!! Disinilah peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam sebuah pembelajaran. Jangan takut salah dalam memberikan sumbangan pemikiran, karena sesungguhnya takut salah adalah kesalahan yang sangat besar. Memang untuk mewujudkan kondisi pembelajaran sangat sulit dan harus dimulai dari awal untuk menjadikan anak didik lebih kritis pada saatnya nanti.
Menurut Freire dibutuhkan empat tingkatan untuk menumbuhkan nalar kritis:
a. Kesadaran intransitif, yaitu tingkatan awal dimana orang belum dapat mengenali diri sendiri maupun lingkungannya.
b. Kesadaran semi intransitif, yaitu kesadaran yang terjadi pada masyarakat yag tertindas namun acuh terhadap penindasan.
c. Kesadaran naif, yaitu kesadaran akan sebuah realitas dan mampu memikirkannya. Namun masih cenderung menggunakan emosi yang berlebih ketika menyelesaikan permasalahan.
d. Kesadaran kritis transitif, yaitu kesadaran puncak dimana seseorang dapat mengenali dirinya dan sekelilingnya dengan baik serta mampu menolak dan menerima dengan akal pikiran yang terbuka.Di tingkatan nomor empat inilah letak dari pendidikan yang sejati yang dapat mengenal baik dan buruk dengan akal pikirannya sendiri.
3. Untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Nah ini dia point penyelamat bangsa. Lho koq bisa gitu? Bayangkan saja seandainya Indonesia hanya dihuni oleh orang-orang yang pandai namun tidak mempunyai akhlak mulia. Apa yang bakalan terjadi? HANCUR BRO NEGARANYA. Trus gimana ya kalo akhlaknya baik tapi bodoh?emm ya ketipu melulu dong bangsa kita. Baguskan undang-undang kita!
Yang kedua, dinegara kita pendidikan adalah tipe bulus( belajar terus asal ada fulus). Mengapa begitu? Uang negara hanya untuk bangun gedung mewah DPR saja. Dana BOS memang ada sich tapi????
Mari kita bandingkan dengan pola pendidikan yang diutarakan oleh ibnu khaldun. Beliau berkata: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman”. Inilah kelemahan indonesia. Pendidikan yang seharusnya dienyam oleh seluruh rakyat indonesia hanya bisa dienyam oleh orang yang ber-uang. Adanya penanganan yang jelas tentang nasib pendidikan di Indonesia menjadi sebuah keharusan sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Ada yang pernah dengar ini g?ta’allam wa ‘allamah(belajarlah dan ajarkanlah). Tapi adakah yang suka rela memberi pendidikan GRATIS??? Mungkin konsep pendidikan yang di tawarkan oleh Ibnu Khaldun dapat menjadi sebuah jalan keluar dari semrawutnya sistem pendidikan Indonesia. Namun siapa yang mau menghargai konsep pendidikan ala Ibnu Khaldun ini? Negara Indonesia adalah negara ijazah, pemerintah kita adalah pemerintah ijazah, orang sekolah yang dicari cuma??????. Tidak adanya apresiasi yang lebih terhadap siswa kalangan luar sekolah menjadikan pendidikan ala Ibnu Khaldun menjadi terpinggirkan. Semua saya kira juga tahu tentang Lintang dalam film laskar pelangi. Siapakah dia?, bagaimanakah kehidupan sehari-harinya? Namun bagaimana tanggapan dunia tentangnya? Orang seperti inilah yang seharusnya menjadi pemimpin bangsa. Namun tak ada apresiasi terhadap orang semacam Lintang. Mengapa? Karena dia adalah orang “KERE”.
Sekarang apakah negara kita mau dijadikan negara yang memanusiakan robot atau merobotkan manusia hanya dapat kita pasrahkan pada orang-orang dengan ijazah yang berada didalam gedung ber-AC yang kita tidak tahu jalan pikiran mereka. Sedangkan, kita hanya dapat berharap semoga apa yang dilakukan mereka dapat menjadikan bangsa semakin maju ke depannya. AMIN(Anak Muda INdonesia).
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Hishna M. Sabiq AS IV
Senin, 25 April 2011
Tafsir Ala Gender
Dalam kitab Injil diceritakan setelah Hawa merayu Adam untuk makan buah terlarang lalu keduanya dihukum oleh Tuhan karena melanggar larangan Tuhan, Tuhan berfirman kepada Hawa “kepada wanita itu Ia berfirman, “Aku akan menambahkan banyak kesakitan pada kehamilanmu, dengan nyeri bersalin engkau akan melahirkan anak, dan engkau akan memiliki keinginan yang kuat terhadap suamimu, dan ia akan menguasai engkau” (kejadian 3:16). Menurut logika Injil di atas rasa sakit yang di derita wanita ketika hamil dan melahirkan disebabkan oleh dosa kesalahan nenek moyang kita yaitu Hawa. Hasrat seksualitas yang besar yang ada pada wanita juga disebabkan oleh dosa beliau karena merayu Adam untuk memakan buah terlarang. Dan juga bahwa Adam akan menjadi penguasa atas dirinya. Hal ini membuat posisi wanita menjadi terbatas dalam kehidupan, karena wanita hanya menjadi bagian dari kebutuhan yang ada pada laki-laki.
Pada era modern ini, banyak aktivis gender yang berusaha untuk mendobrak anggapan itu. Mereka berusaha untuk menyamakan derajat wanita yang di anggap lebih rendah derajatnya dari kaum laki-laki. Usaha itu setidaknya membuahkan hasil karena tidak sedikit peran yang dulu hanya untuk laki-laki kini telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh wanita. Ini menandakan bahwa eksistensi wanita semakin diakui serta derajatnya kembali terangkat.
Walaupun emansipasi wanita yang selama ini telah menuai hasil yang positif, tetapi menurut Riffat Hassan masih ada anggapan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Mengapa perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki? hal itu disebabkan oleh adanya anggapan dalam agama sebagai berikut: (1) bahwa ciptaan Tuhan yang pertama ialah laki-laki (Adam) bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam; (2) bahwa perempuan dilukiskan sebagai penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai kejatuhan atau pengusiran manusia dari surga. Oleh karena itu, semua anak perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik; (3) bahwa perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat pelayan dan tidak memiliki makna yang mendasar. Asumsi-asumsi tersebut menurut Riffat disebabkan adanya pengaruh tradisi Kristen dan Yahudi serta kepustakaan hadits termasuk Sahih al-Bukhari dan Muslim yang diakui oleh Muslim Sunni sebagai sumber yang otoritatif setelah al-Qur’an.
Oleh karena itu, menurut Riffat Hassan perlu dilakukan kajian kritis dan tafsir ulang kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits. Sebab teks-teks itu kebanyakan hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias patriarkhi. Menurut al-Qur’an yang dipahami Riffat Hassan, posisi perempuan dengan laki-laki sebenarnya adalah setara, bukan di bawah laki-laki. Menurut al-Qur’an keduanya diciptakan sebagai makhluk yang setara yang menginginkan hidup dalam harmoni dan kesalihan bersama. Riffat mengutip ayat-ayat al-Qur’an antara lain: al-Baqarah: 187, Ali Imran: 195, an-Nisa’: 124, al-Ahzab: 35. Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini diinterpretasikan oleh para mufasir dan cenderung menguatkan system dominasi laki-laki, Riffat Hassan mencoba menafsirkan kembali seperti surat An-Nisa’ ayat 34 dan al-Baqarah ayat 228. Ayat yang berbunyi ar-rijal qawwamuna ala an-nisa’, kata qaawamjika diartikan sebagai pelindung, pemelihara atau penguasa akan mengimplikasikan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, Riffat menolak penafsiran itu. Menurutnya secara linguistik qawwam berarti pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung bagi kehidupan.
Menurut catatan sejarah, Riffat Hassan adalah seorang feminis muslimah kelahiran Lahore, Pakistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara jelas. Namun yang pasti dia dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas. Ayah dan ibunya merupakan keluarga terkemuka di kota itu. Ayahnya, Begum Shahiba, demikian orang-orang memanggilnya ialah seorang tradisionalis dan patriarkhal di daerah itu. Sedangkan ibunya mempunyai pikiran yang berseberangan dengan ayahnya, bahkan dapat dikatakan sebagai feminis “radikal” sebagaimana dikatakan oleh Riffat sendiri. Terbukti ia sangat keras menolak terhadap praktek-praktek patriarkhi yang ada dalam keluarga dan masyarakatnya. Ibunya sangat berminat terhadap gerakan pembebasan kaum perempuan dari keterkungkungan chardewari (empat dinding) rumah tangga. Kondisi sosial budaya masyarakat Pakistan waktu itu menganut sistem masyarakat patriarkhi dan lebih mencerminkan male domination.
Pendidikan tinggi diperoleh di Inggris (St. Mary’s College University of Durham) jurusan sastra Inggris dan filsafat. Pada usia 24 tahun yang masih relatif muda Riffat sudah berhasil mengantongi gelar doktor dibidang filsafat Islam dengan disertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal sebagai penyair dan filosof Pakistan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika dalam beberapa pandangannya ia mirip dengan pemikiran Iqbal. Salah satu karya Riffat Hassan adalah Women Living Under Muslim Laws. Dari karya itulah Riffat diakui oleh banyak kalangan sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.
Metodologi Tafsir Berwawasan Gender
Salah satu upaya melakukan reinterpretasi al-Qur’an, yang mutlak untuk diingat dalam menafsirkan al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya sangat beragam sifatnya. Untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dipandang “steril” dari bias gender, Riffat Hassan mencoba menawarkan konstruksi metode penafsiran baru yaitu metode historis-kritis-kontekstual. Adapun cara kerja metode ini ialah pertama, dengan memeriksa ketepatan makna kata atau bahasa (language accuracy), yaitu dengan melihat terlebih dahulu secara kritis sejarah kata dan akar katanya sesuai konteks pada waktu itu.
Selanjutnya Riffat melihat dengan analisis semantiknya (yang berkaitan dengan arti kata), bagaimana konteks saat itu dan bagaimana kondisi sosio kulturalnya. Kedua, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada. Ketiga, prinsip etis dengan didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari Justice of God.
Lalu apa tolok ukur kriteria keadilan? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu Pertama, tidak ada jenis kelamin yang tersubordinasi oleh yang lain. Kedua, tidak ada marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi atau menutup kesempatan. Ketiga, bebas dari cara pandang yang sebenarnya hanya mitos. Keempat, tidak ada yang menanggung beban lebih berat dari yang lain.
Sebagai implikasinya Riffat Hassan menolak penafsiran model linguistik-literalistik, dalam arti harfiah. Sebab, setiap kata dan ayat dalam al-Qur’an mempunyai berbagai pengertian tergantung konteks, fokus dan tempatnya. Di samping melihat sejarah kala itu, Riffat juga melihat bagaimana sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu.
Di samping itu, Riffat juga menggunakan metode dekonstruksi, dalam arti dia berupaya mendekonstruksikan penafsiran - penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dinilai telah bias patriarkhi. Pendekatan yang dipakai Riffat Hassan ada 2 level. Pertama, pendekatan ideal approach yakni dengan melihat bagaimana al-Qur’an secara normatif menggariskan prinsip-prinsipnya. Kedua, empirical approach dengan cara melihat dan mempertimbangkan kondisi empiris yang menyejarah di masyarakat.
Dalam perspektif gender, apa yang dilakukan oleh Riffat Hassan tersebut bisa dijadikan rujukan bahwa sebenarnya wanita punya potensi yang lebih besar di balik kelembutan yang diperlihatkanya dalam kehidupan sehari-hari.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
oleh: M. Andy syahfirman, AS/IV
“Elemen terpenting dalam diri kita bukan pada otak, namun pada apa yang menuntun otak kita kepribadian hati dan ide-ide progresif“
Fyodor dostoyevsky
Pada era modern ini, banyak aktivis gender yang berusaha untuk mendobrak anggapan itu. Mereka berusaha untuk menyamakan derajat wanita yang di anggap lebih rendah derajatnya dari kaum laki-laki. Usaha itu setidaknya membuahkan hasil karena tidak sedikit peran yang dulu hanya untuk laki-laki kini telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh wanita. Ini menandakan bahwa eksistensi wanita semakin diakui serta derajatnya kembali terangkat.
Walaupun emansipasi wanita yang selama ini telah menuai hasil yang positif, tetapi menurut Riffat Hassan masih ada anggapan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Mengapa perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki? hal itu disebabkan oleh adanya anggapan dalam agama sebagai berikut: (1) bahwa ciptaan Tuhan yang pertama ialah laki-laki (Adam) bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam; (2) bahwa perempuan dilukiskan sebagai penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai kejatuhan atau pengusiran manusia dari surga. Oleh karena itu, semua anak perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik; (3) bahwa perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat pelayan dan tidak memiliki makna yang mendasar. Asumsi-asumsi tersebut menurut Riffat disebabkan adanya pengaruh tradisi Kristen dan Yahudi serta kepustakaan hadits termasuk Sahih al-Bukhari dan Muslim yang diakui oleh Muslim Sunni sebagai sumber yang otoritatif setelah al-Qur’an.
Oleh karena itu, menurut Riffat Hassan perlu dilakukan kajian kritis dan tafsir ulang kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits. Sebab teks-teks itu kebanyakan hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias patriarkhi. Menurut al-Qur’an yang dipahami Riffat Hassan, posisi perempuan dengan laki-laki sebenarnya adalah setara, bukan di bawah laki-laki. Menurut al-Qur’an keduanya diciptakan sebagai makhluk yang setara yang menginginkan hidup dalam harmoni dan kesalihan bersama. Riffat mengutip ayat-ayat al-Qur’an antara lain: al-Baqarah: 187, Ali Imran: 195, an-Nisa’: 124, al-Ahzab: 35. Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini diinterpretasikan oleh para mufasir dan cenderung menguatkan system dominasi laki-laki, Riffat Hassan mencoba menafsirkan kembali seperti surat An-Nisa’ ayat 34 dan al-Baqarah ayat 228. Ayat yang berbunyi ar-rijal qawwamuna ala an-nisa’, kata qaawamjika diartikan sebagai pelindung, pemelihara atau penguasa akan mengimplikasikan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, Riffat menolak penafsiran itu. Menurutnya secara linguistik qawwam berarti pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung bagi kehidupan.
Menurut catatan sejarah, Riffat Hassan adalah seorang feminis muslimah kelahiran Lahore, Pakistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara jelas. Namun yang pasti dia dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas. Ayah dan ibunya merupakan keluarga terkemuka di kota itu. Ayahnya, Begum Shahiba, demikian orang-orang memanggilnya ialah seorang tradisionalis dan patriarkhal di daerah itu. Sedangkan ibunya mempunyai pikiran yang berseberangan dengan ayahnya, bahkan dapat dikatakan sebagai feminis “radikal” sebagaimana dikatakan oleh Riffat sendiri. Terbukti ia sangat keras menolak terhadap praktek-praktek patriarkhi yang ada dalam keluarga dan masyarakatnya. Ibunya sangat berminat terhadap gerakan pembebasan kaum perempuan dari keterkungkungan chardewari (empat dinding) rumah tangga. Kondisi sosial budaya masyarakat Pakistan waktu itu menganut sistem masyarakat patriarkhi dan lebih mencerminkan male domination.
Pendidikan tinggi diperoleh di Inggris (St. Mary’s College University of Durham) jurusan sastra Inggris dan filsafat. Pada usia 24 tahun yang masih relatif muda Riffat sudah berhasil mengantongi gelar doktor dibidang filsafat Islam dengan disertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal sebagai penyair dan filosof Pakistan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika dalam beberapa pandangannya ia mirip dengan pemikiran Iqbal. Salah satu karya Riffat Hassan adalah Women Living Under Muslim Laws. Dari karya itulah Riffat diakui oleh banyak kalangan sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.
Metodologi Tafsir Berwawasan Gender
Salah satu upaya melakukan reinterpretasi al-Qur’an, yang mutlak untuk diingat dalam menafsirkan al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya sangat beragam sifatnya. Untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dipandang “steril” dari bias gender, Riffat Hassan mencoba menawarkan konstruksi metode penafsiran baru yaitu metode historis-kritis-kontekstual. Adapun cara kerja metode ini ialah pertama, dengan memeriksa ketepatan makna kata atau bahasa (language accuracy), yaitu dengan melihat terlebih dahulu secara kritis sejarah kata dan akar katanya sesuai konteks pada waktu itu.
Selanjutnya Riffat melihat dengan analisis semantiknya (yang berkaitan dengan arti kata), bagaimana konteks saat itu dan bagaimana kondisi sosio kulturalnya. Kedua, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada. Ketiga, prinsip etis dengan didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari Justice of God.
Lalu apa tolok ukur kriteria keadilan? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu Pertama, tidak ada jenis kelamin yang tersubordinasi oleh yang lain. Kedua, tidak ada marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi atau menutup kesempatan. Ketiga, bebas dari cara pandang yang sebenarnya hanya mitos. Keempat, tidak ada yang menanggung beban lebih berat dari yang lain.
Sebagai implikasinya Riffat Hassan menolak penafsiran model linguistik-literalistik, dalam arti harfiah. Sebab, setiap kata dan ayat dalam al-Qur’an mempunyai berbagai pengertian tergantung konteks, fokus dan tempatnya. Di samping melihat sejarah kala itu, Riffat juga melihat bagaimana sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu.
Di samping itu, Riffat juga menggunakan metode dekonstruksi, dalam arti dia berupaya mendekonstruksikan penafsiran - penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dinilai telah bias patriarkhi. Pendekatan yang dipakai Riffat Hassan ada 2 level. Pertama, pendekatan ideal approach yakni dengan melihat bagaimana al-Qur’an secara normatif menggariskan prinsip-prinsipnya. Kedua, empirical approach dengan cara melihat dan mempertimbangkan kondisi empiris yang menyejarah di masyarakat.
Dalam perspektif gender, apa yang dilakukan oleh Riffat Hassan tersebut bisa dijadikan rujukan bahwa sebenarnya wanita punya potensi yang lebih besar di balik kelembutan yang diperlihatkanya dalam kehidupan sehari-hari.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
oleh: M. Andy syahfirman, AS/IV
“Elemen terpenting dalam diri kita bukan pada otak, namun pada apa yang menuntun otak kita kepribadian hati dan ide-ide progresif“
Fyodor dostoyevsky
Senin, 18 April 2011
Filsafat Yunani dalam Islam
Pemikiran Yunani termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu setelah penaklukan tentara muslim yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibnu Khattab. Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dari berbagai ilmu Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Bani Ummayah, khususnya pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar menemukan tempatnya dalam konstelasi pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abbasiyah, khususnya sejak dilakukan program penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun; suatu program yang oleh Abed Al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi Burhani Yunani dengan epistemologi Bayani Arab. Selanjutnya metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh Al-Kindi. Dalam kata pengantar buku ‘Filsafat Pertama’ (al-Falsafat al-Ûla) yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim, al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam. Utamanya mengenai kesejajaran antara pengetahuan manusia dan wahyu, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, adakah hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin dikenal dalam sistem pemikiran Arab-Islam pada masa al-Razi. Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi, dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk. Setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan ilmu-ilmu Yunani yang demikian pesat, berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas, bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibnu Hanbal, salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepimikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machianisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibnu Rawandi. Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syari’at-syari’at yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal. Menurutnya akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi. Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan:
1) Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka,
3) Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibnu Hanbal terhadap ilmu-ilmu
Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al- Mutawakkil. Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks
(salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Mu’tazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi‘revolosi’. Orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Terkena tindakan keras yang resmi pemerintah tersebut, filsafat mengalami kemunduran karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, seperti al-Farabi. Tokoh yang dikenal sebagai filosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwâl). Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama, teologi (ilm al-kalâm) dan yurisprodensi (fiqh) yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa.
Dalam waktu yang tidak cukup lama, filsuf besar yang bernama Ibnu Sina (Avicena). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme dan digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibnu Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut ‘akal’, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibnu Sina kemudian diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).
Setelah Ibnu Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina, meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes dan Heraklitos yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat (burhani). Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjatul Islâm’ telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim,sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (Averous). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena balasan yang diberikan Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibnu Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.
Meski sekarang filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tradisi keilmuan pada masa itu telah menjadikan peradaban Islam lebih dikenal di dunia barat. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya orang-orang barat pada masa itu yang belajar di dunia Islam. Tetapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya, umat Islam sekaranglah yang belajar kepada dunia barat. Ini adalah fenomena yang lazim kita temui dalam tradisi intelektual Islam mutakhir. Meski demikian, tidak sedikit para intelektual muslim yang berusaha mengangkat kembali tradisi keilmuan timur yang telah redup. Seperti yang dirintis oleh Hassan Hanafi, dia berusaha mengembalikan kepercayaan diri dunia timur yang telah mengalami Westernisasi. Dengan studi Oksidentalisme-nya, di harapkan posisi dunia timur yang selama ini dijadikan objek kajian dan posisi barat yang menjadi subjek bisa berubah bentuk relasi-nya. Ikhtiar ini sekalipun terlihat utopis dan ambisius, merupakan tawaran menarik bagi alam keilmuan (kefilsafatan) timur. Apa yang di lakukan oleh Hassan Hanafi tersebut seharusnya bisa menjadi tawaran yang menarik untuk bisa menyadarkan generasi muslim selanjutnya untuk mengkaji ilmu yang lebih mendalam, sehingga Islam mengalami kejayaan intelektual kembali.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Musnadil Firdaus, AS/II
Buku-buku dari berbagai ilmu Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Bani Ummayah, khususnya pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar menemukan tempatnya dalam konstelasi pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abbasiyah, khususnya sejak dilakukan program penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun; suatu program yang oleh Abed Al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi Burhani Yunani dengan epistemologi Bayani Arab. Selanjutnya metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh Al-Kindi. Dalam kata pengantar buku ‘Filsafat Pertama’ (al-Falsafat al-Ûla) yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim, al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam. Utamanya mengenai kesejajaran antara pengetahuan manusia dan wahyu, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, adakah hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin dikenal dalam sistem pemikiran Arab-Islam pada masa al-Razi. Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi, dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk. Setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan ilmu-ilmu Yunani yang demikian pesat, berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas, bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibnu Hanbal, salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepimikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machianisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibnu Rawandi. Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syari’at-syari’at yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal. Menurutnya akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi. Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan:
1) Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka,
3) Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibnu Hanbal terhadap ilmu-ilmu
Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al- Mutawakkil. Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks
(salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Mu’tazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi‘revolosi’. Orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Terkena tindakan keras yang resmi pemerintah tersebut, filsafat mengalami kemunduran karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, seperti al-Farabi. Tokoh yang dikenal sebagai filosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwâl). Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama, teologi (ilm al-kalâm) dan yurisprodensi (fiqh) yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa.
Dalam waktu yang tidak cukup lama, filsuf besar yang bernama Ibnu Sina (Avicena). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme dan digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibnu Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut ‘akal’, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibnu Sina kemudian diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).
Setelah Ibnu Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina, meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes dan Heraklitos yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat (burhani). Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjatul Islâm’ telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim,sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (Averous). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena balasan yang diberikan Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibnu Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.
Meski sekarang filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tradisi keilmuan pada masa itu telah menjadikan peradaban Islam lebih dikenal di dunia barat. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya orang-orang barat pada masa itu yang belajar di dunia Islam. Tetapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya, umat Islam sekaranglah yang belajar kepada dunia barat. Ini adalah fenomena yang lazim kita temui dalam tradisi intelektual Islam mutakhir. Meski demikian, tidak sedikit para intelektual muslim yang berusaha mengangkat kembali tradisi keilmuan timur yang telah redup. Seperti yang dirintis oleh Hassan Hanafi, dia berusaha mengembalikan kepercayaan diri dunia timur yang telah mengalami Westernisasi. Dengan studi Oksidentalisme-nya, di harapkan posisi dunia timur yang selama ini dijadikan objek kajian dan posisi barat yang menjadi subjek bisa berubah bentuk relasi-nya. Ikhtiar ini sekalipun terlihat utopis dan ambisius, merupakan tawaran menarik bagi alam keilmuan (kefilsafatan) timur. Apa yang di lakukan oleh Hassan Hanafi tersebut seharusnya bisa menjadi tawaran yang menarik untuk bisa menyadarkan generasi muslim selanjutnya untuk mengkaji ilmu yang lebih mendalam, sehingga Islam mengalami kejayaan intelektual kembali.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Musnadil Firdaus, AS/II
Senin, 11 April 2011
DANCOK!!!
Dancok! pasti semua teman mahasiswa pernah mendengarnya, suatu istilah yang sering dipakai orang ketika marah, benci, stress, bahkan latah. Saya pernah mendengar kata itu dalam beberapa versi ada yang mengucapkan dancok, gancok, jancok dan mungkin masih ada beberapa istilah lain yang mirip dengan kata tersebut, tetapi semua mempunyai maksud yang sama. Di kampus kita STAIN saya sering mendengar kata-kata ini keluar dari percakapan mahasiswa yang mayoritas dari mahasiswa laki-laki dan beberapa kali mendengar dari mahasiswa cewek, pernah juga saya dengar dari seorang dosen yang sedang kesal gara-gara mati lampu.
Saya tidak tahu pasti asal-usul istilah ini dimasyarakat. Akan tetapi, ada sebuah riwayat (tidak tertulis) dari pendidikan Pondok Pesantren yang mengatakan bahwa asal kata dancok berasal dari dua kata dalam bahasa arab yang asalnya adalah da’ dan su’ yang artinya masing-masing adalah da’ yang berarti “tinggalkanlah’’ dan su’ yang berarti “keburukan/kejahatan’’. Jadi bila dirangkai dalam satu kalimat akan berarti “tinggalkanlah keburukan/kejahatan’’. Jika kita mengikuti logika ini, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kata dancok ini mempunyai makna doa dan harapan atau perintah akan kebaikan (amar ma’ruf nahy munkar). Dan jika kita telaah selama ini memang sering sekali kata-kata ini muncul ketika seseorang yang mengatakannya dalam situasi dan kondisi yang sedang tidak baik seperti ketika terjatuh, celaka, telat bangun tidur, dapat nilai jelek dari dosen dan kondisi-kondisi buruk lainnya. Bila seorang mahasiswa mendapat nilai C dari dosen lalu dia mengatakan dancok…! sebenarnya itu adalah sebuah doa dan harapan bagi si mahasiswa agar dia bisa meninggalkan keburukan mendapat nilai C. Begitu juga ketika seseorang terjatuh maka dengan otomatis diaakan segera berdoa dancoook…! Dengan harapan agar dia tidak celaka lagi di lain waktu. Entah mulai kapan kata dancok sering diidentikkan dengan kata-kata kotor yang tidak baik.
Dalam analisis bahasa strukturalis yang dikenalkan oleh seorang Profesor Bahasa Ferdinand De Sausure, sebuah kata/tanda dibagi menjadi dua bagian yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citra akustik yang dapat diucapkan oleh tiap subyek penutur, sedangkan petanda adalah konsep yang diinginkan atau yang dimaksud oleh sipenutur. Gambaran konsep petanda hanya bisa dirasakan secara mental dalam pikiran penutur. Lebih jelasnya seperti dalam contoh berikut; bunga yang kita lihat di sekitar pemakaman mempunyai arti belasungkawa, sedangkan bunga yang kita lihat di sekitar pesta mempunyai arti ucapan selamat. Bunga adalah signifer yang bisa diucapkan, ditulis atau sebuah tanda yang bisa dibawa dan diletakkan dimanapun, sedangkan pemahaman dan maksud dari tiap-tiap golongan adalah signified. Signified bunga di pemakaman berbeda dengan signified bunga di tempat pesta. Signified bunga di pemakaman adalah belasungkawa, Signified bunga di tempat pesta adalah ucapan selamat. Tiap hubungan antara penanda dan petanda mempunyai perbedaan bentuk dalam tiap- tiap organisasi masyarakat atau budaya.
Contoh lain:
Apple (penanda/signifier) => nama buah (petanda/signified)
Apple (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => alat komunikasi (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Penanda dan petanda saling berhubungan dalam setiap kegiatan berbahasa. Penanda/suara tanpa adanya petanda/makna akan seperti sebuah igauan orang tidur. Begitu juga sebaliknya, petanda/makna/maksud tidak akan dapat sampai tanpa adanya penanda/suara/ucapan.
Bila konsep strukturalisme bahasa tersebut kita kembalikan kebahasan dancok di atas, maka akan dengan mudah kita dapat menemukan maksud dan tujuan dari kata dancok tersebut. Bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya, kata dancok tidak mempunyai makna negative. Berbeda dengan masyarakat jawa tengah yang menilai kata dancok sebagai kata-kata kotor yang tidak boleh diucapkan, lebih-lebih lagi bila kita kaitkan dengan logika doa yang telah dijelaskan di atas. Kata dancok adalah sebuah doa yang tidak ada bedanya dengan ucapan bismillah sebelum kita makan atau rabbana aatina ketika selesai shalat, bila dirumuskan akan menjadi:
Dancok (penanda/signifier) => makna biasa (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna negatif (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna do’a (petanda/signified)
Tinggal bagaimana kita dan lingkungan kita memahami kata tersebut. Walaupun begitu tanda dan bahasa tidak bisa berdiri sendiri, ada kesepakatan sosial di dalamnya yang kita tidak bisa dengan mudahnya mengganti tanda dan bahasa yang sudah berlaku dimasyarakat. Seperti simbol timbangan bisa bermakna keadilan bagi mahasiswa akhwal Asy-Syakhsiyyah (AS), berbeda dengan pemahaman mahasiswa Muamalah (MU) yang memahami timbangan sebagai pegadaian.
Yang Islami
Sebagai umat Islam dan hidup di lingkungan berstatus Islam (Sekolah Tinggai Agama Islam Negeri) bagaimanakah pemahaman Islam yang selama ini kita pahami. Bagaimana hubungan antara penanda dan petanda dalam kehidupan Islami kita sehari-sehari. Apakah petanda dan penanda dalam kehidupan Islam kita sudah terpikirkan.
Bila kita bahas satu persatu penanda dan petanda tersebut akan banyak sekali hal yang harus diperdebatkan, kita ambil satu contoh tentang pakaian;
1. Bagaimanakah petanda pakaian yang menunjukkan penanda Islami?
2. Apakah kode etik kampus dilarang menggunakan celana pensil/ketat bisa dijadikan sebagai petanda untuk menunjukkan penanda Islami?
3. Bagaimana dengan pemahaman yang mengatakan penanda Islami adalah petanda pakaian yang berbentuk jubah?
4. Bagaimana dengan pendapat lainnya dengan petanda menutup seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan sebagai penanda Islami?
5. Apakah pakaian putih dan menggunakan serban bisa menjadi petanda yang menunjukkan penanda Islami sedangkan celana jins sebagai petanda dari penanda kafir?
Silakan teman-teman menilai pertanyaan-pertanyaan di atas menurut pendapat pribadi masing-masing. Yang pasti semua hal dalam kehidupan manusia akan selalu ada pemisahan antara penanda dan petanda tinggal bagaimana kita menilainya. selanjutnya bagaimana bila kita selepas shalat lalu berdoa berulang-ulang mengucapkan “Dancok, Dancok, Dancok.....” .
Teori tentang asal usul bahasa
Teori mama. Bahasa dimulai dengan suku kata yang paling mudah disematkan pada objek-objek yang paling signifikan.
Teori Pooh-Pooh. Bahasa dimulai dengan kata seru, teriakan emosi yang ingstingtif, seperti “oh!” untuk rasa terkejut dan “aduh!” untuk rasa sakit.
Teori Ding-Dong. Sebagian orang termasuk linguis terkenal, Max Muller,menunjukkan bahwa ada sebuah kesesuaian yang agak misterius antara suara dan makna. Hal-hal yang kecil, tajam dan tinggi cenderung mempunyai kata-kata dengan huruf vokal yang tinggi di banyak bahasa, ketika hal-hal yang besar,rendah dan berentetetan cenderung untuk bergerak di huruf vokal belakang. Bandingkan bisty teeny weeny dengan moon, misalnya. Ini sering dirujuk dengan simbolisme suara.
Teori Yo-He-Ho. Bahasa dimulai dengan nyanyian yang bersifat ritmik, mungkin saja dari dengkuran para pekerja berat. Linguis D. S. Diamond menunjukkan bahwa ini mungkin yang disebut bantuan atau kerjasama yang di sertai dengan isyarat yang sesuai.ini mungkin yang menghubungkan teori yo-heho denan teori ding-dong, misalnya dalam kata-kata seperti, potong, patah, hancur, tabrak dan sebagainya.
Teori Bow-Wow. Bahasa dimulai sebagai imitasi dari suara-suara alam—moo, choo-choo, suara tabrakan, suara bel, suara desis, suara dentuman, suara meong dan sebagainya. Secara teknis ini lebih mengacu pada onomatopoeia atau echoisme.
Silakan Pikir dan Renungkan !
oleh: Lukman Hakim TH/VIII
Saya tidak tahu pasti asal-usul istilah ini dimasyarakat. Akan tetapi, ada sebuah riwayat (tidak tertulis) dari pendidikan Pondok Pesantren yang mengatakan bahwa asal kata dancok berasal dari dua kata dalam bahasa arab yang asalnya adalah da’ dan su’ yang artinya masing-masing adalah da’ yang berarti “tinggalkanlah’’ dan su’ yang berarti “keburukan/kejahatan’’. Jadi bila dirangkai dalam satu kalimat akan berarti “tinggalkanlah keburukan/kejahatan’’. Jika kita mengikuti logika ini, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kata dancok ini mempunyai makna doa dan harapan atau perintah akan kebaikan (amar ma’ruf nahy munkar). Dan jika kita telaah selama ini memang sering sekali kata-kata ini muncul ketika seseorang yang mengatakannya dalam situasi dan kondisi yang sedang tidak baik seperti ketika terjatuh, celaka, telat bangun tidur, dapat nilai jelek dari dosen dan kondisi-kondisi buruk lainnya. Bila seorang mahasiswa mendapat nilai C dari dosen lalu dia mengatakan dancok…! sebenarnya itu adalah sebuah doa dan harapan bagi si mahasiswa agar dia bisa meninggalkan keburukan mendapat nilai C. Begitu juga ketika seseorang terjatuh maka dengan otomatis diaakan segera berdoa dancoook…! Dengan harapan agar dia tidak celaka lagi di lain waktu. Entah mulai kapan kata dancok sering diidentikkan dengan kata-kata kotor yang tidak baik.
Dalam analisis bahasa strukturalis yang dikenalkan oleh seorang Profesor Bahasa Ferdinand De Sausure, sebuah kata/tanda dibagi menjadi dua bagian yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citra akustik yang dapat diucapkan oleh tiap subyek penutur, sedangkan petanda adalah konsep yang diinginkan atau yang dimaksud oleh sipenutur. Gambaran konsep petanda hanya bisa dirasakan secara mental dalam pikiran penutur. Lebih jelasnya seperti dalam contoh berikut; bunga yang kita lihat di sekitar pemakaman mempunyai arti belasungkawa, sedangkan bunga yang kita lihat di sekitar pesta mempunyai arti ucapan selamat. Bunga adalah signifer yang bisa diucapkan, ditulis atau sebuah tanda yang bisa dibawa dan diletakkan dimanapun, sedangkan pemahaman dan maksud dari tiap-tiap golongan adalah signified. Signified bunga di pemakaman berbeda dengan signified bunga di tempat pesta. Signified bunga di pemakaman adalah belasungkawa, Signified bunga di tempat pesta adalah ucapan selamat. Tiap hubungan antara penanda dan petanda mempunyai perbedaan bentuk dalam tiap- tiap organisasi masyarakat atau budaya.
Contoh lain:
Apple (penanda/signifier) => nama buah (petanda/signified)
Apple (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => alat komunikasi (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Penanda dan petanda saling berhubungan dalam setiap kegiatan berbahasa. Penanda/suara tanpa adanya petanda/makna akan seperti sebuah igauan orang tidur. Begitu juga sebaliknya, petanda/makna/maksud tidak akan dapat sampai tanpa adanya penanda/suara/ucapan.
Bila konsep strukturalisme bahasa tersebut kita kembalikan kebahasan dancok di atas, maka akan dengan mudah kita dapat menemukan maksud dan tujuan dari kata dancok tersebut. Bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya, kata dancok tidak mempunyai makna negative. Berbeda dengan masyarakat jawa tengah yang menilai kata dancok sebagai kata-kata kotor yang tidak boleh diucapkan, lebih-lebih lagi bila kita kaitkan dengan logika doa yang telah dijelaskan di atas. Kata dancok adalah sebuah doa yang tidak ada bedanya dengan ucapan bismillah sebelum kita makan atau rabbana aatina ketika selesai shalat, bila dirumuskan akan menjadi:
Dancok (penanda/signifier) => makna biasa (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna negatif (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna do’a (petanda/signified)
Tinggal bagaimana kita dan lingkungan kita memahami kata tersebut. Walaupun begitu tanda dan bahasa tidak bisa berdiri sendiri, ada kesepakatan sosial di dalamnya yang kita tidak bisa dengan mudahnya mengganti tanda dan bahasa yang sudah berlaku dimasyarakat. Seperti simbol timbangan bisa bermakna keadilan bagi mahasiswa akhwal Asy-Syakhsiyyah (AS), berbeda dengan pemahaman mahasiswa Muamalah (MU) yang memahami timbangan sebagai pegadaian.
Yang Islami
Sebagai umat Islam dan hidup di lingkungan berstatus Islam (Sekolah Tinggai Agama Islam Negeri) bagaimanakah pemahaman Islam yang selama ini kita pahami. Bagaimana hubungan antara penanda dan petanda dalam kehidupan Islami kita sehari-sehari. Apakah petanda dan penanda dalam kehidupan Islam kita sudah terpikirkan.
Bila kita bahas satu persatu penanda dan petanda tersebut akan banyak sekali hal yang harus diperdebatkan, kita ambil satu contoh tentang pakaian;
1. Bagaimanakah petanda pakaian yang menunjukkan penanda Islami?
2. Apakah kode etik kampus dilarang menggunakan celana pensil/ketat bisa dijadikan sebagai petanda untuk menunjukkan penanda Islami?
3. Bagaimana dengan pemahaman yang mengatakan penanda Islami adalah petanda pakaian yang berbentuk jubah?
4. Bagaimana dengan pendapat lainnya dengan petanda menutup seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan sebagai penanda Islami?
5. Apakah pakaian putih dan menggunakan serban bisa menjadi petanda yang menunjukkan penanda Islami sedangkan celana jins sebagai petanda dari penanda kafir?
Silakan teman-teman menilai pertanyaan-pertanyaan di atas menurut pendapat pribadi masing-masing. Yang pasti semua hal dalam kehidupan manusia akan selalu ada pemisahan antara penanda dan petanda tinggal bagaimana kita menilainya. selanjutnya bagaimana bila kita selepas shalat lalu berdoa berulang-ulang mengucapkan “Dancok, Dancok, Dancok.....” .
Teori tentang asal usul bahasa
Teori mama. Bahasa dimulai dengan suku kata yang paling mudah disematkan pada objek-objek yang paling signifikan.
Teori Pooh-Pooh. Bahasa dimulai dengan kata seru, teriakan emosi yang ingstingtif, seperti “oh!” untuk rasa terkejut dan “aduh!” untuk rasa sakit.
Teori Ding-Dong. Sebagian orang termasuk linguis terkenal, Max Muller,menunjukkan bahwa ada sebuah kesesuaian yang agak misterius antara suara dan makna. Hal-hal yang kecil, tajam dan tinggi cenderung mempunyai kata-kata dengan huruf vokal yang tinggi di banyak bahasa, ketika hal-hal yang besar,rendah dan berentetetan cenderung untuk bergerak di huruf vokal belakang. Bandingkan bisty teeny weeny dengan moon, misalnya. Ini sering dirujuk dengan simbolisme suara.
Teori Yo-He-Ho. Bahasa dimulai dengan nyanyian yang bersifat ritmik, mungkin saja dari dengkuran para pekerja berat. Linguis D. S. Diamond menunjukkan bahwa ini mungkin yang disebut bantuan atau kerjasama yang di sertai dengan isyarat yang sesuai.ini mungkin yang menghubungkan teori yo-heho denan teori ding-dong, misalnya dalam kata-kata seperti, potong, patah, hancur, tabrak dan sebagainya.
Teori Bow-Wow. Bahasa dimulai sebagai imitasi dari suara-suara alam—moo, choo-choo, suara tabrakan, suara bel, suara desis, suara dentuman, suara meong dan sebagainya. Secara teknis ini lebih mengacu pada onomatopoeia atau echoisme.
Silakan Pikir dan Renungkan !
oleh: Lukman Hakim TH/VIII
Selasa, 05 April 2011
The Power Of Santri (Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban)
Seiring dengan arus dinamika zaman, definisi dan persepsi terhadap kaum santri menjadi berubah pula. Kalau pada awalnya kaum santri diberi makna dan pengertian sebagai orang yang menimba ilmu-ilmu agama Islam dengan sistem pengajaran yang tradisional dan klasik atau sekumpulan orang-orang yang mukim dalam sebuah asrama (pondokan), dan masa belajarnya membutuhkan kurun waktu yang cukup lama, sampai santri-santri tersebut benar-benar matang menyerap semua ilmu yang telah di pelajarinya dan siap untuk terjun langsung di masyarakat. Tetapi sekarang definisi dan persepsi tentang kaum santri sebagaimana dijelaskan diatas tidak lagi benar.
Secara umum, perlu diberikan suatu keseragaman pengertian tentang kaum santri. Mengapa? Karena sesuai dalam perkembangannya di dalam bangsa ini, kaum santri tidak lagi identik dengan definisi dan persepsi klasik seperti disebutkan diatas. Kaum santri sekarang sudah mempunyai kekuatan besar (big power) dalam menjadikan bangsa ini lebih bermartabat, berjati diri, serta berkarakter.
Dengan bermodalkan “3H” bentuk keterampilan, yaitu: “H” pertama, Head artinya kepala, maknanya mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan, “H” kedua, Heart artinya hati, maknanya mengisi hati santri dengan iman dan taqwa (IMTAQ), dan “H” yang ketiga, adalah Hand artinya tangan, maknanya kemampuan bekerja. (Daulay, 2004: 26). Kaum santri sangat mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin di bangsa ini. Untuk menjadikan masyarakat bangsa ini, menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani yaitu masyarakat yang pernah ada dalam sejarah keemasan Islam, yang dalam tatanan kehidupan masyarakatnya berperadaban tinggi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang mempunyai lima ciri dalam tatanan hidupnya, 1) Masyarakat Rabbaniyah, yaitu semangat berketuhanan yang berlandaskan aqidah, syari’ah, dan akhlak. 2) Masyarakat yang demokratis, yaitu di mana Rasulullah dan para sahabatnya mentradisikan musyawarah dalam segala persoalan. 3) Masyarakat toleran, yaitu masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik. Dengan mempersatukan berbagai kalangan dan etnik ini, akan tercipta persatuan dan kerjasama yang erat. 4) Berkeadilan, karena begitu pentingnya keadilan dalam sebuah tatanan hidup masyarakat, sampai-sampai Al-Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati taqwa. (QS. Al-Maidah: 8). 5) Masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang di tegakkan Rasululloh dalam membangun masyarakat Madinah.
Sehingga penerapan masyarakat berilmu ini begitu urgen dalam memberantas buta huruf (aksara) di kalangan umat Islam. (Daulay, 2004: 33). Kita ketahui bersama, dengan kehadiran “kekuatan santri” dalam kancah perpolitikan nasional, mampukah mereka mewarnai kembali peradaban nusantara dalam membangun kekuatan bangsa dan dapat menjadi rahmatan lil ‘alamien bagi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menyentuh ke seluruh wilayah negeri ini?.
Menilik pada fenomena yang terjadi sejak akhir dekade 1990-an hingga sekarang, kaum santri memiliki tawaran politik yang lebih konkrit, realistis, yakni melakukan pergeseran dari sekedar terlibat dalam dataran ideologis ke arena politik praktis dan berusaha membawa Islam ke dalam “lingkungan kekuasaan (power)”. Mungkin sebagian orang akan tertawa apabila mendengar kaum santri bermain politik, berkecimpung dalam tatanan ekonomi bangsa, mengadakan hubungan dengan berbagai etnik dalam masalah kehidupan sosial (pluralitas), ikut mengenalkan khazanah budaya negeri ke negara-negara lain, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK). Namun, itu semua tidak menjadi kendala dan pemutus semangat bagi mereka dalam mengikuti kancah pergumulan politik di dalam negeri.
Asumsi orang-orang yang mendoktrin kaum santri sebagai orang yang ketinggalan zaman dan gaptek (gagap tekhnologi) hanyalah wacana dan anggapan omong kosong belaka. Bahkan mungkin sebaliknya, mereka yang mendoktrin seperti itu adalah kaum-kaum jahiliyah yang dengki terhadap kehidupan kaum santri. Menurut keyakinan Penulis, apabila kaum santri menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, akan mempunyai peran penting dalam menjadikan masyarakat bangsa ini masyarakat madani. Substansi dari pendidikan kaum santri adalah pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu) yang tentu dibarengi dengan iman dan taqwa, dan juga wawasan ilmu pengetahuan yang luas.
Ada sebuah adagium yang menarik dikalangan kaum santri dalam masalah pendidikan, yaitu jadilah santri yang intelek, bukan cerdas dulu baru intelek karena kebanyakan dari orang cerdas lebih dulu baru intelek, kehilangan hati nuraninya (dlomir). Ia tidak lagi mengenal siapa dirinya sebenarnya? Untuk tujuan apakah pendidikan yang telah ia capai? Serta apa itu substansi dari pendidikan?. Sebaliknya orang yang intelek dulu sudah pasti cerdasdan ia tidak akan pernah lupa hakikat dari substansi pendidikan yaitu pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu). Apabila hatinya bersih, maka tingkah laku, gerak-gerik, dan semua tindak-tanduknya sudah pasti baik. Begitu pula sebaliknya, apabila hatinya kotor akan lebih banyak mendatangkan kejelekan dan kemudlorotan. Rasulullah Saw. Bersabda: “Innamal A’malu Bin Niyat Wa Innama Likulli Imriin Maa Nawaa”, kurang lebih terjemahan bebasnya ialah “Sesungguhnya segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap segala perkara itu tergantung pada apa yang diniatkan”. Santri berpolitik adalah santri yang mengaktualisasi dalam wilayah politik, atau santri yang terlibat dalam kelembagaan politik. Kaum santri dalam berpolitik mengikuti politik yang dipakai oleh Rasulullah dalam memimpin umat Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi (dalam arti luas). Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tentang bernegara dan bermasyarakat, diantaranya: musyawarah¸ ketaatan kepada pemimpin, keadilan, dan persamaan.
Dengan sistem politik tersebut, Rasulullah Saw berhasil menjadikan umat Islam masyarakat yang sangat berperadaban, yaitu masyarakat madani. Perlu difahami bahwa, cara politik Rasulullah (politik Islami) ini tidak harus diartikan secara formal, misalnya dengan mendirikan negara Islam, khilafah Islamiah, atau partai-partai Islam karena secara historis, nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyebut negara Islam, yang ada hanyalah negara Madinah (madani). Apakah Saudi Arabia yang mengklaim sebagai negara dengan ideologi Islam pantas disebut negara yang lebih Islami daripada Indonesia?
Santri berekonomi, mendengar kalimat tersebut bukan lagi barang baru yang ada di dalam kehidupan kaum santri. Sudah banyak lembaga-lembaga pesantren yang membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu berwirausaha (enterpreuneurship). Bahkan ada sebuah pesantren di desa Nglaren, Yogyakarta yang berslogankan “Mengaji Menuju Santri Enterpreuneur”. Disamping para santri belajar ilmu-ilmu agama, mereka juga belajar dan di ajari tentang ilmu-ilmu sistem perekonomian Islam (Muamalah). Selain itu, kaum santri juga disiapkan untuk menjadi SDM yang berkarakter nubuwwah, yaitu: memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai (fathonah), memiliki integritas terhadap penegakan kebenaran (shiddiq), memiliki kepekaan terhadap perubahan keadaan, informatif dan komunikatif (tabligh) dan memegang teguh komitmen yang telah direncanakan dan disepakati (amanah). Melihat perkembangan ekonomi dunia yang masih belum stabil pertumbuhannya hingga saat ini, ternyata sistem perekonomian yang berbasiskan Islam (Muamalah) lebih eksis dan bahkan semakin menjulang tinggi pertumbuhannya. Ini menandakan sistem perekonomian Islam (Muamalah) merupakan sistem yang sangat efektif apabila digunakan untuk tatanan perekonomian bangsa. santri bersosial mungkin semua orang sudah mengetahuinya, bagaimana dan seperti apa kehidupan kaum santri dalam kesehariannya? Di pesantren manapun, di desa ataupun di kota, lembaga-lembaga pesantren selalu mendidik para santrinya untuk hidup bersosial antar sesama. Sebagaimana kata Gus Dur, pesantren adalah sebagai lembaga integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial karena pesantren seperti dunia akademik dan memiliki ciri khas tersendiri. Ikut bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang dan berdampak negative, bagi kelangsungan hidup manusia.
Pesantren juga, menanamkan pada santrinya dengan nilai-nilai yang memiliki cita sosial yaitu nilai keadilan, perdamaian, kejujuran, tanggung jawab dan membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat. Bourdieu mengungkapkan bahwa dalam praktek sosial terdapat konsep yang menggerakan suatu tindakan sosial, yaitu habitus dan field, yang didukung oleh kekuasaan simbolik, strategi, dan perjuangan. Dalam bidang kebudayaan, santri mempunyai andil besar dalam memahami nilai-nilai budaya bangsa karena mereka mengetahui potret perjalanan pesantren di Indonesia. Islam berkembang di dalamnya dengan perantara khazanah budaya-budaya yang ada di Indonesia. Pesantren dikenal sebagai “counter culture”, maka semestinya pesantren mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan ciri khas budaya yang bersifat dinamis dan statis. Para santri juga dituntut untuk ikut mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan ciri khas budaya tersebut. Disinilah wadah untuk memastikan, apakah kaum santri bisa mengikuti modernitas di era globalisasi ini dengan tetap berpegang kepada khazanah budaya bangsa?. Untuk itulah “The Power of Santri” (Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban) menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti dan diketahui.
Melihat keadaan bangsa yang tak kunjung selesai ditimpa masalah-masalah dengan peran serta kaum santri diarena perpolitikan bangsa, mampukah mereka merekonstruksi, mereaktualisasi, dan mereposisi di hadapan kekuatan-kekuatan lain dalam menciptakan bangsa yang madani, yaitu menjadikan Indonesia yang agamis, bermoral dan berkeberadaban.
Silahkan Pikir & Renungkan……..!!!
oleh: Akhsan wafi (PAI/VIII)
Langganan:
Postingan (Atom)