Dancok! pasti semua teman mahasiswa pernah mendengarnya, suatu istilah yang sering dipakai orang ketika marah, benci, stress, bahkan latah. Saya pernah mendengar kata itu dalam beberapa versi ada yang mengucapkan dancok, gancok, jancok dan mungkin masih ada beberapa istilah lain yang mirip dengan kata tersebut, tetapi semua mempunyai maksud yang sama. Di kampus kita STAIN saya sering mendengar kata-kata ini keluar dari percakapan mahasiswa yang mayoritas dari mahasiswa laki-laki dan beberapa kali mendengar dari mahasiswa cewek, pernah juga saya dengar dari seorang dosen yang sedang kesal gara-gara mati lampu.
Saya tidak tahu pasti asal-usul istilah ini dimasyarakat. Akan tetapi, ada sebuah riwayat (tidak tertulis) dari pendidikan Pondok Pesantren yang mengatakan bahwa asal kata dancok berasal dari dua kata dalam bahasa arab yang asalnya adalah da’ dan su’ yang artinya masing-masing adalah da’ yang berarti “tinggalkanlah’’ dan su’ yang berarti “keburukan/kejahatan’’. Jadi bila dirangkai dalam satu kalimat akan berarti “tinggalkanlah keburukan/kejahatan’’. Jika kita mengikuti logika ini, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kata dancok ini mempunyai makna doa dan harapan atau perintah akan kebaikan (amar ma’ruf nahy munkar). Dan jika kita telaah selama ini memang sering sekali kata-kata ini muncul ketika seseorang yang mengatakannya dalam situasi dan kondisi yang sedang tidak baik seperti ketika terjatuh, celaka, telat bangun tidur, dapat nilai jelek dari dosen dan kondisi-kondisi buruk lainnya. Bila seorang mahasiswa mendapat nilai C dari dosen lalu dia mengatakan dancok…! sebenarnya itu adalah sebuah doa dan harapan bagi si mahasiswa agar dia bisa meninggalkan keburukan mendapat nilai C. Begitu juga ketika seseorang terjatuh maka dengan otomatis diaakan segera berdoa dancoook…! Dengan harapan agar dia tidak celaka lagi di lain waktu. Entah mulai kapan kata dancok sering diidentikkan dengan kata-kata kotor yang tidak baik.
Dalam analisis bahasa strukturalis yang dikenalkan oleh seorang Profesor Bahasa Ferdinand De Sausure, sebuah kata/tanda dibagi menjadi dua bagian yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citra akustik yang dapat diucapkan oleh tiap subyek penutur, sedangkan petanda adalah konsep yang diinginkan atau yang dimaksud oleh sipenutur. Gambaran konsep petanda hanya bisa dirasakan secara mental dalam pikiran penutur. Lebih jelasnya seperti dalam contoh berikut; bunga yang kita lihat di sekitar pemakaman mempunyai arti belasungkawa, sedangkan bunga yang kita lihat di sekitar pesta mempunyai arti ucapan selamat. Bunga adalah signifer yang bisa diucapkan, ditulis atau sebuah tanda yang bisa dibawa dan diletakkan dimanapun, sedangkan pemahaman dan maksud dari tiap-tiap golongan adalah signified. Signified bunga di pemakaman berbeda dengan signified bunga di tempat pesta. Signified bunga di pemakaman adalah belasungkawa, Signified bunga di tempat pesta adalah ucapan selamat. Tiap hubungan antara penanda dan petanda mempunyai perbedaan bentuk dalam tiap- tiap organisasi masyarakat atau budaya.
Contoh lain:
Apple (penanda/signifier) => nama buah (petanda/signified)
Apple (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => alat komunikasi (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Penanda dan petanda saling berhubungan dalam setiap kegiatan berbahasa. Penanda/suara tanpa adanya petanda/makna akan seperti sebuah igauan orang tidur. Begitu juga sebaliknya, petanda/makna/maksud tidak akan dapat sampai tanpa adanya penanda/suara/ucapan.
Bila konsep strukturalisme bahasa tersebut kita kembalikan kebahasan dancok di atas, maka akan dengan mudah kita dapat menemukan maksud dan tujuan dari kata dancok tersebut. Bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya, kata dancok tidak mempunyai makna negative. Berbeda dengan masyarakat jawa tengah yang menilai kata dancok sebagai kata-kata kotor yang tidak boleh diucapkan, lebih-lebih lagi bila kita kaitkan dengan logika doa yang telah dijelaskan di atas. Kata dancok adalah sebuah doa yang tidak ada bedanya dengan ucapan bismillah sebelum kita makan atau rabbana aatina ketika selesai shalat, bila dirumuskan akan menjadi:
Dancok (penanda/signifier) => makna biasa (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna negatif (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna do’a (petanda/signified)
Tinggal bagaimana kita dan lingkungan kita memahami kata tersebut. Walaupun begitu tanda dan bahasa tidak bisa berdiri sendiri, ada kesepakatan sosial di dalamnya yang kita tidak bisa dengan mudahnya mengganti tanda dan bahasa yang sudah berlaku dimasyarakat. Seperti simbol timbangan bisa bermakna keadilan bagi mahasiswa akhwal Asy-Syakhsiyyah (AS), berbeda dengan pemahaman mahasiswa Muamalah (MU) yang memahami timbangan sebagai pegadaian.
Yang Islami
Sebagai umat Islam dan hidup di lingkungan berstatus Islam (Sekolah Tinggai Agama Islam Negeri) bagaimanakah pemahaman Islam yang selama ini kita pahami. Bagaimana hubungan antara penanda dan petanda dalam kehidupan Islami kita sehari-sehari. Apakah petanda dan penanda dalam kehidupan Islam kita sudah terpikirkan.
Bila kita bahas satu persatu penanda dan petanda tersebut akan banyak sekali hal yang harus diperdebatkan, kita ambil satu contoh tentang pakaian;
1. Bagaimanakah petanda pakaian yang menunjukkan penanda Islami?
2. Apakah kode etik kampus dilarang menggunakan celana pensil/ketat bisa dijadikan sebagai petanda untuk menunjukkan penanda Islami?
3. Bagaimana dengan pemahaman yang mengatakan penanda Islami adalah petanda pakaian yang berbentuk jubah?
4. Bagaimana dengan pendapat lainnya dengan petanda menutup seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan sebagai penanda Islami?
5. Apakah pakaian putih dan menggunakan serban bisa menjadi petanda yang menunjukkan penanda Islami sedangkan celana jins sebagai petanda dari penanda kafir?
Silakan teman-teman menilai pertanyaan-pertanyaan di atas menurut pendapat pribadi masing-masing. Yang pasti semua hal dalam kehidupan manusia akan selalu ada pemisahan antara penanda dan petanda tinggal bagaimana kita menilainya. selanjutnya bagaimana bila kita selepas shalat lalu berdoa berulang-ulang mengucapkan “Dancok, Dancok, Dancok.....” .
Teori tentang asal usul bahasa
Teori mama. Bahasa dimulai dengan suku kata yang paling mudah disematkan pada objek-objek yang paling signifikan.
Teori Pooh-Pooh. Bahasa dimulai dengan kata seru, teriakan emosi yang ingstingtif, seperti “oh!” untuk rasa terkejut dan “aduh!” untuk rasa sakit.
Teori Ding-Dong. Sebagian orang termasuk linguis terkenal, Max Muller,menunjukkan bahwa ada sebuah kesesuaian yang agak misterius antara suara dan makna. Hal-hal yang kecil, tajam dan tinggi cenderung mempunyai kata-kata dengan huruf vokal yang tinggi di banyak bahasa, ketika hal-hal yang besar,rendah dan berentetetan cenderung untuk bergerak di huruf vokal belakang. Bandingkan bisty teeny weeny dengan moon, misalnya. Ini sering dirujuk dengan simbolisme suara.
Teori Yo-He-Ho. Bahasa dimulai dengan nyanyian yang bersifat ritmik, mungkin saja dari dengkuran para pekerja berat. Linguis D. S. Diamond menunjukkan bahwa ini mungkin yang disebut bantuan atau kerjasama yang di sertai dengan isyarat yang sesuai.ini mungkin yang menghubungkan teori yo-heho denan teori ding-dong, misalnya dalam kata-kata seperti, potong, patah, hancur, tabrak dan sebagainya.
Teori Bow-Wow. Bahasa dimulai sebagai imitasi dari suara-suara alam—moo, choo-choo, suara tabrakan, suara bel, suara desis, suara dentuman, suara meong dan sebagainya. Secara teknis ini lebih mengacu pada onomatopoeia atau echoisme.
Silakan Pikir dan Renungkan !
oleh: Lukman Hakim TH/VIII