logo

logo
buletin

Kamis, 15 Desember 2011

Menguak arti haji

Haji merupakan rukun Islam yang kelima, yang mana ibadah ini wajib dilakukan bagi kaum muslim yang mampu untuk menjalankannya. Beberapa waktu lalu saudara kita yang muslim banyak yang sudah berangkat ke Makkah untuk melakukan haji. Haji secara etimologi adalah menuju dan secara terminologi haji berarti menuju Baitullah (Makkah) karena ibadah. Di tinjau dari syaratnya, bagi mereka yang menjalankan ibadah haji menurut kaidah fiqih yaitu: Islam, baligh, berakal sehat, dan mampu. Arti mampu disini adalah mempunyai cukup harta/biaya serta sehat menurut keterangan dokter. Dilihat dari sejarahnya, ibadah haji merupakan ajaran/syari’at nabi Ibrahim dan keluarganya yang merenovasi ka’bah sebagai simbol pusat orientasi manusia yang fondasinya sudah diletakkan oleh nenek moyang manusia yaitu nabi Adam. Oleh sebab itu, ritual yang ada didalam haji merupakan ritual napak tilas yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim dan keturunannya. Oleh karena itu juga pengalaman dan pemahaman haji yang benar dan baik adalah yang disandarkan kepada nabi Ibrahim. Meski demikian, praktek haji dalam sejarahnya terdapat praktek penyalahgunaan haji yang dijumpai oleh nabi yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang dikenal dengan al-Hummas yang, memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agamanya sampai melampui batas, misal seperti mengitari ka’bah (thowaf) mereka sampai bertelanjang karena mereka beranggapan bahwa pakaian yang mereka pakai telah ternodai oleh dosa, sehingga tidak boleh digunakan untuk menghadap Allah. Dengan praktek yang menyeleweng seperti diatas, sangat bertentangan dengan makna esensial yang terkandung dalam haji. Setelah datangnya nabi, praktek haji yang seperti itu dihilangkan dan diluruskan kembali kepada yang telah diajarkan oleh nabi Ibrahim. Pada zaman nabi, haji dilakukan pertama kali pada tahun kesembilan hijriyah. Didalam haji terdapat ritual-ritual yang mana ritual tersebut menjadi sebuah simbol yang ada dalam kehidupan. Haji mulai dengan miqot makani. Dengan miqot itulah, jama’ah haji melepaskan atribut yang selama ini mereka gunakan dengan 2 helai pakaian ihrom yang kelak akan menjadi pembalutnya kelak ketika sudah meninggal. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian membuat stratifikasi atau kelas-kelas antar manusia, mulai dari status ekonomi, status sosial ataupun profesi. Di miqot ini, semua atribut yang bisa menimbulkan perbedaan antar manusia harus dilepaskan. Bahkan suku dan ras harus ditanggalkan bersamaan dengan ditanggalkannya pakaian yang telah menutupi mereka sehari-hari. Maka semua jama’ah haji menjadi manusia yang sebenarnya atau menyadari dirinya bahwa ia hanyalah makhluk yang lemah. Ketika telah memakai pakaian ihrom, sejumlah ketentuan-ketentuan mulai berlaku. Seperti larangan menyakiti dan membunuh binatang, menumpahkan darah serta mencabut tumbuh-tumbuhan. Larangan itu berlaku sebab fitrah manusia lahir ke dunia adalah menjadi seorang khalifah di bumi. Seorang khalifah haruslah bisa menjaga dan memelihara ketentraman dam kedamaian makhluk lain. Larangan lainnya adalah dilarang menikah dan menikahkan, memakai wangi-wangian serta berhias agar jama’ah haji menyadari bahwa hidup di dunia tidak hanya mengejar materi dan birahi belaka. Ka’bah adalah bangunan yang hanya terbuat dari batu-batu hitam. Ia menjadi arah kiblat bagi umat muslim dengan segala perbedannya kerena manusia bila tidak ada kiblatnya atau arah yang jelas akan lepas kendali. Ka’bah ibarat matahari yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi planet-planet baik itu kecil maupun besar. Planet-planet itu dengan segala perbedaannya mengelilingi matahari dengan porosnya, sama dengan manusia yang sedang melakukan thawaf. Jadi dalam kehidupan ini perbedaan bukanlah hal yang harus diperdebatkan atau dibesar-besarkan, yang penting esensi dan orientasinya sama. Setelah thawaf, jama’ah haji melakukan sa’i yang berarti usaha. Dalam sejarahnya sa’i merupakan usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar untuk memperoleh air untuk memberi minum anaknya, yaitu nabi Ismail yang menangis karena kehausan. Keyakinan yang kuat akan kebesaran dan kemurahan Allah, telah menjadikan Siti Hajar mantab dalam mencari sumber kehidupan dalam kondisi yang mencemaskan dan mengenaskan. Ia mulai berlari dari Shofa yang berarti kesucian dan ketegaran. Jadi dalam hidup, usaha haruslah diawali niat yang suci, tegar dan optimis. Usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar itu berakhir di Marwah. Hal yang dilakukan oleh Siti Hajar tersebut berulang-ulang sampai 7 kali baru kemudian membuahkan hasil. Jadi dalam hal ini manusia dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin. Aktivitas haji yang selanjutnya adalah Wukuf di Arofah. Di mana semua jama’ah haji berkumpul di suatu padang panas dan berbatu yang di mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijah sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijah. Ritual ini menunjukan manusia supaya ia mengenali dirinya sendiri dan selalu teringat kepada sang Pencipta ketika ia dalam keadaan apapun maupun kondisi apapun. Setelah dari Arofah, jama’ah haji pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam rangka akan menghadapi musuh terbesarnya, yaitu setan. Kemudian pergi ke Mina untuk melakukan lempar jumrah sebagai lambang akan kebencian dan kemarahan yang telah menyebabkan segala kegetiran. Setelah melempar jumroh, mereka akan menyembelih hewan kurban yang mana kurban tersebut menjadi simbol akan kemenangan yang yang diperolehnya. Selain uraian diatas, haji merupakan suatu usaha manusia untuk kembali kepada Allah, karena dalam melakukan ibadah haji, orang harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Selain itu, untuk berangkat haji harus mengantri sampai bertahun-tahun yang berarti menjadi sebuah ujian kesabaran bagi calon jama’ah haji. Meski haji menghabiskan biaya yang cukup besar dan memerlukan waktu yang relatif lama untuk berangkat, tetapi hal tersebut menjadi salah satu arti bahwa manusia rela untuk mengorbankan apapun, baik itu berupa materi maupun tenaganya hanya untuk menjalin kedekatan dengan Sang Khaliq. Kesalehan sosial Dalam konteks ini, nilai-nilai baru dari proses ibadah itu seharusnya berdampak positif bagi masyarakat. Esensi haji bukan sekadar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, sanak saudara dan masyarakat umumnya. Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal menjadi lebih bermakna. Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya. ”Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. ”Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga ”manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses ibadah haji itu. Para ”manusia baru” yang ibu-ibu itu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip. Dimensi horizontal inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan mampu berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi tingginya kualitas iman dan takwa. Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Silahkan Renung & Pikrkan...!!! Musnadil firdaus (AS/III)