logo
Kamis, 15 Desember 2011
Republic Daging
Belum lama kita umat Islam merayakan moment hari Raya Idul Adha yang identik dengan penyembelihan hewan qurban yang mana hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, qurban adalah manifestasi ketundukkan hamba dan rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan Tuhan, qurban juga bisa dimaknai sebagai symbol penyembelihan nafsu kebinatangan yang melekat pada diri setiap manusia.
Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di dunia bisa dibayangkan melimpahnya ketersedian daging di setiap hari raya qurban, permasalahannya kemudian adalah sudahkah pen-tasyarufan daging-daging tersebut tepat sasaran, di beberapa tempat pembagian daging qurban menyisakan masalah, salah satunya seperti kasus yang terjadi di masjid Al Azam Tanggerang Banten, orang rela babak belur berebut daging kurban yang mungkin beratnya kurang lebih setengah kilo yang dibagikan panitia, peristiwa di Tangerang tersebut mengindikasikan masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Hanya demi setengah kilo daging, masyarakat kita tega menginjak, menciderai bahkan melukai daging saudaranya sendiri. Setengah kilo daging mampu mengubah manusia bertindak irasional, sedemikian berharganya daging sapi dan kambing melebihi pentingnya menjaga daging saudaranya.
kemudian saya ingin mendudukan kata daging di tulisan ini secara lebih luas untuk makna yang bebas entah itu daging qurban, boleh jadi daging yang ada pada manusia atau daging apa saja silahkan nanti anda tangkap dan anda proyeksikan dalam pikiran anda sendiri apa maksudnya daging di sini, saya hanya ingin mencoba mengambarkan eksistensi daging di Republik ini, taukah anda jika Republik kita tercinta Indonesia tidak dapat dipisahkan dari urusan daging, ada banyak hal di Republik ini yang berhubungan dengan daging baik secara langsung maupun tidak, apakah urusan dengan daging itu sendiri, tempat dagingnya atau segala yang berhubungan dengan daging, ada daging yang menimbulkan manfaat bagi banyak orang, ada juga tempat daging yang begitu di idamkan banyak orang sehingga untuk memperolehnya memerlukan perjuangan berat, tapi di sisi lain ada berapa banyak problematika timbul di Republik kita yang hanya dipicu oleh persoalan daging.
Kita semua ingat pada sekitar tahun 2003-an muncul fenomena goyang ngebor inul yang sukses menggoyang Republik ini, meminjam istilahnya DR. Luqman Hakim tahun-tahun tersebut pantas disebut sebagai era pantatisme Inul , fenomena goyang ngebor Inul menandai awal masuknya Indonesia di dalam industry pantatisme yang sebelumnya industry semacam itu masih sungkan-sungkan untuk secara terang-terangan memunculkan eksistensinya ke permukaan. Kala itu hampir disetiap tontonan yang mendatangkan Inul orang rela berdesak-desakan, bahkan tak jarang sampai harus baku hantam hanya untuk berlomba-lomba mendapatkan tempat terdekat agar bisa melihat jelas bagaimana daging bagian belakang bawah Inul ngebor, saya yakin sekian banyak orang yang hadir tumpah ruah tersebut tidak sadar jika perjuangan mereka berangkat dari rumah, antri tiket, mengeluarkan uang untuk tiket, belum lagi mereka harus rela berdesak-desakan mungkin jika harus ada proses lain yang lebih keras lagi mereka akan dengan senang hati menempuhnya asal bisa melihat daging bagian belakang bawah Inul diputar, sebenarnya jika dipikir lagi hal tersebut sangat tidak sebanding antara hasil yang mereka capai dengan usaha mereka, untuk itu berapa banyak waktu yang terbuang, tenaga yang seharusnya lebih bisa dimanfatkan untuk bekerja, belum lagi biaya yang dikeluarkan hanya untuk datang ketempat berlangsungnya tontonan untuk selanjutnya sepanjang tontonan berlangsung praktis mereka hanya dipantati Inul habis-habisan, ini menunjukkan pada tahun-tahun itu Inul sukses me-ngebor kepala masyarakat kita hanya dengan sesuatu yang sepele .Daging pantat. Seolah alat bor Inul itu mampu menanamkan di otak masyarakat sebuah alat pengendali yang apabila difungsikan tanpa perlu berfikir mereka akan datang ketempat konser Inul untuk dipantati secara suka rela, sehingga bisa dikatakan kalau masyarakat di Republic kita telah terseret arus putaran daging pantat, muka masyarakat Republic kita tidak lebih dari pantat. Fenomena goyang Inul juga memunculkan berbagai takwil dari beberapa kalangan, salah satunya seorang habib dari semarang. Menurut beliaunya fenomena Inul ngebor di atas panggung sebagai pertanda jika Indonesia beberapa tahun kedepan akan mengalami krisis daging pantat, karena itu segala urusan yang berhubungan dengan daging pantat akan mahal harganya, dan takwil tersebut akhirnya terbukti, bisa dilihat beberapa waktu lalu saat pemilu legeslatif berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh seorang calon anggota legislative yang sekedar ingin menempatkan daging pantatnya di kursi dewan. Entah sampai kapan krisis daging pantat akan terus melanda Indonesia, sampai saat inipun para orang tua selalu resah manakala sampai waktunya mendaftarkan anak-anak mereka ke bangku sekolah karena besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendudukkan daging pantat anak-anak di bangku sekolah.
baru-baru inipun Republic Indonesia juga di repotkan ulah sebagian “kecil” daging milik dua orang anggota masyarakatnya, dari segi ukuran dan letakpun memang berbeda jika daging bagian belakang bawah Inul yang digunakan sebagai pembanding, daging “kecil” ini letaknya tidak di belakang sebagaimana milik Inul tapi berada di depan, bayangkan hanya dengan daging se”kecil” itu si LM dan NI mampu meneror para orang tua Indonesia yang memiliki anak remaja apalagi mereka yang memiliki anak-anak dibawah umur, bukannya tanpa alasan kekawatiran para orang tua mengingat pemilik daging “kecil” tersebut adalah pubilk figure yang tingkah jungkir baliknya sering dijadikan refrensi bergaul kalangan muda. Saya sendiri sempat berfikir manakah yang lebih menakutkan terror yang dilakukan dua orang tersebut dengan daging “kecil”nya atau terror bom Amrozi cs yang menghancurkan daging-daging manusia di Legian Bali, akhirnya saya simpulkan kedua terror tersebut sama menakutkannya, hanya bedanya jangkuan bom Amrozi dampaknya kalah secara teritorial jika dibandingkan terror daging milik kedua artis tersebut, bom Amrozi cs hanya mengakibatkan kerusakan pada teritorial yang terbatas, sebagian kecil wilayah Bali, dengan hanya mempunyai satu setting waktu, beda halnya dengan daging “kecil” tadi yang mampu menjangkau wilayah teritorial yang lebih luas, tidak hanya Bali tapi pelosok Sabang hingga Merauke bisa terjangkau sejauh internet dan media elektronik ada, dari segi setting waktu sampai kapanpun selama polah daging “kecil” tersebut diputar akan tetap bisa menimbulkan kerusakan.
terkait teror yang dilancarkan daging “kecil” tadi sebenarnya beberapa tahun silam tepatnya pada tahun 2006 kelompok sastrawan yang dimotori Taufik Ismail sudah pernah melontarkan kritik menanggapi banyaknya karya “becek” yang mengeksploitasi daging sekitar selakangan, sehingga muncullah dari kelompok sastrawan yang dikenal sebagai penghasil Sastra Madzhab Selakangan (SMS) dimana karya-karya tersebut masuk di dalam Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Dan belakangan ini daging sekitar selakang kembali menjadi magnet di tengah lesunya industry hiburan kita. Industri tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan, industri tidak mengenal baik buruk, akhlakul karimah atau syaiah. Anda harus paham jika ukuran yang digunakan industry hanyalah untung rugi, ratting tinggi atau jeblok.
sebenarnya jika mau lebih kritis lagi kita akan banyak menemukan pergumulan Republik ini dengan urusan daging mulai dari kebocoran system yang menguntungkan dan hanya meng’gemuk’kan kalangan daging terbatas, sebaliknya di tempat lain harus ada jutaan daging yang di ekspor keluar negeri dengan emblem besar sebagai pahlawan devisa yang ketika pulang beberapa diantara mereka harus rela daging dan martabatnya terkoyak di negeri orang. Silahkan saja coba anda cari-cari lagi daging lain yang mencurigakan di sekitar anda misalnya, tetangga anda yang baru saja pulang ihram dari tanah suci apakah hajinya sudah menembus dimensi jiwa sehingga setelah mendapat gelar haji berimbas pada tingkah dan perilaku yang lebih baik, atau kelakuannya masih sama saja seperti sebelum menunaikan ibadah haji, bisnis lintah daratnya jalan terus, gaple juga masih oke atau sifat bakhilnya semakin mak nyai, jika demikian anda bisa simpulkan jika haji tetangga anda tersebut hanya sebatas daging, belum sampai tataran jiwa.
Meskipun demikian anda tidak boleh merasa pesimis masih banyak daging-daging yang bisa membawa manfaat di Republic ini, dan opsi tawarannya adalah jadikan daging kita sendiri lebih bermanfaat bagi sesama, kita juga tidak membutuhkan ke pura-pura an di solat kita, di puasa kita, di pergaulan kita hanya sebatas dimensi daging. Akhirnya saya ucapkan selamat meninggalkan dzulhijah bertolak ketahun baru 1434 H
Silahkan renung & fikirkan)
Da’i Robbi (PBA/V)