logo

logo
buletin

Senin, 24 Oktober 2011

AKU BELUM LUPA

Jawa, dimana Jawaku kini?
Jawa, ia telah menghilang dari benak orang-orang Jawa
Jawa, apakah Jawaku masih ada kini?
Jawa, hai Jawa janganlah kau sembunyikan dirimu dalam kesendirianmu,
Jawa, apakah aku harus membujukmu untuk keluar lagi?
Mengapa kau sembunyikan dirimu?
Apakah karena arus modernisasi yang telah menenggelamkanmu, hingga kau tak mampu bersinar lagi?
Arus globalisasi telah menyebabkan kebudayaan asli Indonesia hancur tak tersisa. Tergantikan oleh segala yang bersifat instan yang kebanyakan menjadikan masyarakat Indonesia jauh dari nilai-nilai yang tertanam dalam Indonesia sejati khususnya bagi masyarakat Jawa menjadikan masyarakat Jawa lupa akan ke-Jawa-annya. Namun jawa sebagai jawaku telah mengakar kuat dalam ingatanku hingga walaupun kini Jawa itu mulai pudar namun, masih tersisa jawaku dalam hatiku.
Dulu Jawa adalah tempat yang begitu kaya akan khazanah kebudayaan mulai dari yang sederhana sampai yang menjadi kesusastraan. Namun hal ini kini sulit dijumpai bahkan oleh masyarakat Jawa sendiri yang notabene sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Permainan-permainan, kesenian daerah yang memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat kini sudah digantikan dengan permainan elektronik yang lebih mengutamakan kepuasan individu dari pada kepuasan bersama sehingga menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sekitar dan menjadikan manusia makhluk individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. dahulu Indonesia adalah negara yang besar dengan pusat pemerintahan yang sama dengan sekarang yaitu Jawa. Namun mengapa kini seolah kita kehilangan identitas kita sendiri sebagai Jawa? Bukankah dengan peralatan seadanya dulu kita pernah menguasai hampir seluruh Asia Tenggara?. Namun seiring berlalunya zaman, hingga kini memasuki zaman teknologi kita malah menjadi terkekang dengan peralatan yang bukannya menjadikan maju bangsa Indonesia namun malah semakin mundur secara teratur. Permasalahannya yaitu kita kurang memperhatikan kebudayaan dan kurang berpartisipasi secara aktif akan kebudayaan daerah yang telah kita miliki yang didalamnya sebenarnya memiliki power yang tak terbatas hingga berakhirnya masa.
Apakah kita semua tidak rindu akan permainan masa kecil kita? petak umpet, sundamanda, gobaksodor, tapi dimana kini permainan tersebut dapat kita temui? kini kita hanya dapat melihat anak-anak kecil bermain Playstation dan game online internet.
Apakah kita tidak rindu dengan geguritan, parikan, wayang dan kesenian kita yang lain? jawabannya bisa ia bisa juga tidak tergantung dari seberapa parah virus apatisisme telah menjangkiti orang Jawa itu sendiri.
Apakah kita mau menjadi orang yang lupa akan tanah kelahiran kita sendiri itu tergantung kita mau mengamalkan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur kepada kita baik mengenai ajaran moral hingga kesenian daerah dan juga permainan-permainan. Tapi apa mau dikata Jawa yang dulu begitu menggurita kini hanya bagaikan seekor semut yang diinjak-injak harga dirinya. Kesenian-kesenian dari Jawa yang memiliki arti penting dalam bersosialisasi digerus dan semakin digerus oleh kesenian yang tidak mendidik masyarakat untuk hidup bersosialisasi.
Kita terlahir ke dunia sebagai homo homini socius yang tidak bisa lepas setiap segi dari kita untuk berhubungan dengan masyarakat dan itu semua diajarkan dalam filsafat kita sendiri yaitu filsafat Jawa karena filsafat Jawa tidak hanya dalam permainan dalam seni dalam kesusastraan Jawa semua tidak luput dari bahasan filsafat karena dalam setiap kesenian kesusastraan dan budaya Jawa memiliki nilai instrinsik yang begitu luar biasa besarnya jika kita amalkan kembali agar Jawa khususnya dan Indonesia umumnya tidak kehilangan jati diri bangsa sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa sebenar- nya begitu besar. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam contoh dibawah:
Permainan Gobag Sodor
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Sarana untuk menigkatkan interaksi antar teman sehingga bisa menimbulkan perasaan saling membutuhkan.
3. Alat untuk meningkatkan keterikatan sosial yang akan dibutuhkan dimasa mendatang.
4. Sebagai pelatihan bahwasanya dengan bekerja keras dan tak pantang menyerah hal yang diinginkan akan tercapai.

Permainan Petak Umpet
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Alat pembuktian bahwa berusaha sendiri itu sangat sulit dilakukan walaupun kemung- kinan berhasil ada namun sangatlah kecil.
Dalam hal musik Jawa memiliki berbagai macam bentuk musik yang memiliki berbagai macam arti yang terkandung didalamnya.
Dalam musik Jawa ada Gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, hingga Megatruh dan Pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu.
Sinom dapat diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan Ruh adalah roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (pocong). Dan masih banyak lagi yang lainnya yang kini bahkan orang jawa pun tidak mengetahui tentang kebudayaannya sendiri.
Jawa (Indonesia) kini telah tenggelam dalam westernisasinya karena begitu tidak percaya diri menggunakan identitas aslinya dan semakin jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaannya. Sekrang tergantung pada kita apakah kita mau membuang identitas kita sendiri atau terus melestarikannya?

Silakan fikir dan Renungkan!!!

Hishna M. Sabiq

Sunan Kali Jaga
Ilir Ilir
Ilir ilir ilir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
(Simbol untuk memelihara bumi)
Tak senggoh penganten anyar
(Simbol untuk pemuda)
Cah angon cah angon
(Simbol untuk manusia sebagai khalifah)
Penekno blimbing kuwi
(Simbol unutk menunjukkan blimbing yang mempunyai lima segi sebagai perlambang rukun iman)
Lunyu-lunyu penekno
(Simbol untuk menyatakan sulitnya mengerjakan rukun iman namun harus tetap dilaksanakan karena merupakan perintah Tuhan)
Kanggo sebo mengko sore
(Simbol untuk menunjukkan bahwasanya rukun iman sebagai bekal di akhirat)
Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangane
(Simbol untuk menunjukkan selagi kita masih hidup di dunia dan belum ke alam akhirat kita harus tetap berusaha melaksanakan perintah Tuhan)
Yo surako surak hore
(Simbol keberhasilan melaksanakan rukun iman dan memperoleh surga)


“Harta Sejati Adalah Kesehatan, Bukan Emas Dan Perak.”

“Mahatma Gandhi”