Pemikiran Yunani termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu setelah penaklukan tentara muslim yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibnu Khattab. Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dari berbagai ilmu Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Bani Ummayah, khususnya pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar menemukan tempatnya dalam konstelasi pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abbasiyah, khususnya sejak dilakukan program penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun; suatu program yang oleh Abed Al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi Burhani Yunani dengan epistemologi Bayani Arab. Selanjutnya metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh Al-Kindi. Dalam kata pengantar buku ‘Filsafat Pertama’ (al-Falsafat al-Ûla) yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim, al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam. Utamanya mengenai kesejajaran antara pengetahuan manusia dan wahyu, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, adakah hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin dikenal dalam sistem pemikiran Arab-Islam pada masa al-Razi. Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi, dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk. Setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan ilmu-ilmu Yunani yang demikian pesat, berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas, bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibnu Hanbal, salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepimikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machianisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibnu Rawandi. Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syari’at-syari’at yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal. Menurutnya akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi. Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan:
1) Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka,
3) Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibnu Hanbal terhadap ilmu-ilmu
Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al- Mutawakkil. Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks
(salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Mu’tazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi‘revolosi’. Orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Terkena tindakan keras yang resmi pemerintah tersebut, filsafat mengalami kemunduran karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, seperti al-Farabi. Tokoh yang dikenal sebagai filosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwâl). Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama, teologi (ilm al-kalâm) dan yurisprodensi (fiqh) yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa.
Dalam waktu yang tidak cukup lama, filsuf besar yang bernama Ibnu Sina (Avicena). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme dan digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibnu Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut ‘akal’, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibnu Sina kemudian diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).
Setelah Ibnu Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina, meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes dan Heraklitos yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat (burhani). Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjatul Islâm’ telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim,sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (Averous). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena balasan yang diberikan Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibnu Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.
Meski sekarang filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tradisi keilmuan pada masa itu telah menjadikan peradaban Islam lebih dikenal di dunia barat. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya orang-orang barat pada masa itu yang belajar di dunia Islam. Tetapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya, umat Islam sekaranglah yang belajar kepada dunia barat. Ini adalah fenomena yang lazim kita temui dalam tradisi intelektual Islam mutakhir. Meski demikian, tidak sedikit para intelektual muslim yang berusaha mengangkat kembali tradisi keilmuan timur yang telah redup. Seperti yang dirintis oleh Hassan Hanafi, dia berusaha mengembalikan kepercayaan diri dunia timur yang telah mengalami Westernisasi. Dengan studi Oksidentalisme-nya, di harapkan posisi dunia timur yang selama ini dijadikan objek kajian dan posisi barat yang menjadi subjek bisa berubah bentuk relasi-nya. Ikhtiar ini sekalipun terlihat utopis dan ambisius, merupakan tawaran menarik bagi alam keilmuan (kefilsafatan) timur. Apa yang di lakukan oleh Hassan Hanafi tersebut seharusnya bisa menjadi tawaran yang menarik untuk bisa menyadarkan generasi muslim selanjutnya untuk mengkaji ilmu yang lebih mendalam, sehingga Islam mengalami kejayaan intelektual kembali.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
Musnadil Firdaus, AS/II