Dalam kitab Injil diceritakan setelah Hawa merayu Adam untuk makan buah terlarang lalu keduanya dihukum oleh Tuhan karena melanggar larangan Tuhan, Tuhan berfirman kepada Hawa “kepada wanita itu Ia berfirman, “Aku akan menambahkan banyak kesakitan pada kehamilanmu, dengan nyeri bersalin engkau akan melahirkan anak, dan engkau akan memiliki keinginan yang kuat terhadap suamimu, dan ia akan menguasai engkau” (kejadian 3:16). Menurut logika Injil di atas rasa sakit yang di derita wanita ketika hamil dan melahirkan disebabkan oleh dosa kesalahan nenek moyang kita yaitu Hawa. Hasrat seksualitas yang besar yang ada pada wanita juga disebabkan oleh dosa beliau karena merayu Adam untuk memakan buah terlarang. Dan juga bahwa Adam akan menjadi penguasa atas dirinya. Hal ini membuat posisi wanita menjadi terbatas dalam kehidupan, karena wanita hanya menjadi bagian dari kebutuhan yang ada pada laki-laki.
Pada era modern ini, banyak aktivis gender yang berusaha untuk mendobrak anggapan itu. Mereka berusaha untuk menyamakan derajat wanita yang di anggap lebih rendah derajatnya dari kaum laki-laki. Usaha itu setidaknya membuahkan hasil karena tidak sedikit peran yang dulu hanya untuk laki-laki kini telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh wanita. Ini menandakan bahwa eksistensi wanita semakin diakui serta derajatnya kembali terangkat.
Walaupun emansipasi wanita yang selama ini telah menuai hasil yang positif, tetapi menurut Riffat Hassan masih ada anggapan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Mengapa perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki? hal itu disebabkan oleh adanya anggapan dalam agama sebagai berikut: (1) bahwa ciptaan Tuhan yang pertama ialah laki-laki (Adam) bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam; (2) bahwa perempuan dilukiskan sebagai penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai kejatuhan atau pengusiran manusia dari surga. Oleh karena itu, semua anak perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik; (3) bahwa perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat pelayan dan tidak memiliki makna yang mendasar. Asumsi-asumsi tersebut menurut Riffat disebabkan adanya pengaruh tradisi Kristen dan Yahudi serta kepustakaan hadits termasuk Sahih al-Bukhari dan Muslim yang diakui oleh Muslim Sunni sebagai sumber yang otoritatif setelah al-Qur’an.
Oleh karena itu, menurut Riffat Hassan perlu dilakukan kajian kritis dan tafsir ulang kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits. Sebab teks-teks itu kebanyakan hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias patriarkhi. Menurut al-Qur’an yang dipahami Riffat Hassan, posisi perempuan dengan laki-laki sebenarnya adalah setara, bukan di bawah laki-laki. Menurut al-Qur’an keduanya diciptakan sebagai makhluk yang setara yang menginginkan hidup dalam harmoni dan kesalihan bersama. Riffat mengutip ayat-ayat al-Qur’an antara lain: al-Baqarah: 187, Ali Imran: 195, an-Nisa’: 124, al-Ahzab: 35. Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini diinterpretasikan oleh para mufasir dan cenderung menguatkan system dominasi laki-laki, Riffat Hassan mencoba menafsirkan kembali seperti surat An-Nisa’ ayat 34 dan al-Baqarah ayat 228. Ayat yang berbunyi ar-rijal qawwamuna ala an-nisa’, kata qaawamjika diartikan sebagai pelindung, pemelihara atau penguasa akan mengimplikasikan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, Riffat menolak penafsiran itu. Menurutnya secara linguistik qawwam berarti pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung bagi kehidupan.
Menurut catatan sejarah, Riffat Hassan adalah seorang feminis muslimah kelahiran Lahore, Pakistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara jelas. Namun yang pasti dia dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas. Ayah dan ibunya merupakan keluarga terkemuka di kota itu. Ayahnya, Begum Shahiba, demikian orang-orang memanggilnya ialah seorang tradisionalis dan patriarkhal di daerah itu. Sedangkan ibunya mempunyai pikiran yang berseberangan dengan ayahnya, bahkan dapat dikatakan sebagai feminis “radikal” sebagaimana dikatakan oleh Riffat sendiri. Terbukti ia sangat keras menolak terhadap praktek-praktek patriarkhi yang ada dalam keluarga dan masyarakatnya. Ibunya sangat berminat terhadap gerakan pembebasan kaum perempuan dari keterkungkungan chardewari (empat dinding) rumah tangga. Kondisi sosial budaya masyarakat Pakistan waktu itu menganut sistem masyarakat patriarkhi dan lebih mencerminkan male domination.
Pendidikan tinggi diperoleh di Inggris (St. Mary’s College University of Durham) jurusan sastra Inggris dan filsafat. Pada usia 24 tahun yang masih relatif muda Riffat sudah berhasil mengantongi gelar doktor dibidang filsafat Islam dengan disertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal sebagai penyair dan filosof Pakistan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika dalam beberapa pandangannya ia mirip dengan pemikiran Iqbal. Salah satu karya Riffat Hassan adalah Women Living Under Muslim Laws. Dari karya itulah Riffat diakui oleh banyak kalangan sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.
Metodologi Tafsir Berwawasan Gender
Salah satu upaya melakukan reinterpretasi al-Qur’an, yang mutlak untuk diingat dalam menafsirkan al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya sangat beragam sifatnya. Untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dipandang “steril” dari bias gender, Riffat Hassan mencoba menawarkan konstruksi metode penafsiran baru yaitu metode historis-kritis-kontekstual. Adapun cara kerja metode ini ialah pertama, dengan memeriksa ketepatan makna kata atau bahasa (language accuracy), yaitu dengan melihat terlebih dahulu secara kritis sejarah kata dan akar katanya sesuai konteks pada waktu itu.
Selanjutnya Riffat melihat dengan analisis semantiknya (yang berkaitan dengan arti kata), bagaimana konteks saat itu dan bagaimana kondisi sosio kulturalnya. Kedua, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada. Ketiga, prinsip etis dengan didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari Justice of God.
Lalu apa tolok ukur kriteria keadilan? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu Pertama, tidak ada jenis kelamin yang tersubordinasi oleh yang lain. Kedua, tidak ada marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi atau menutup kesempatan. Ketiga, bebas dari cara pandang yang sebenarnya hanya mitos. Keempat, tidak ada yang menanggung beban lebih berat dari yang lain.
Sebagai implikasinya Riffat Hassan menolak penafsiran model linguistik-literalistik, dalam arti harfiah. Sebab, setiap kata dan ayat dalam al-Qur’an mempunyai berbagai pengertian tergantung konteks, fokus dan tempatnya. Di samping melihat sejarah kala itu, Riffat juga melihat bagaimana sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu.
Di samping itu, Riffat juga menggunakan metode dekonstruksi, dalam arti dia berupaya mendekonstruksikan penafsiran - penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dinilai telah bias patriarkhi. Pendekatan yang dipakai Riffat Hassan ada 2 level. Pertama, pendekatan ideal approach yakni dengan melihat bagaimana al-Qur’an secara normatif menggariskan prinsip-prinsipnya. Kedua, empirical approach dengan cara melihat dan mempertimbangkan kondisi empiris yang menyejarah di masyarakat.
Dalam perspektif gender, apa yang dilakukan oleh Riffat Hassan tersebut bisa dijadikan rujukan bahwa sebenarnya wanita punya potensi yang lebih besar di balik kelembutan yang diperlihatkanya dalam kehidupan sehari-hari.
Silakan Pikir & Renungkan......!!!
oleh: M. Andy syahfirman, AS/IV
“Elemen terpenting dalam diri kita bukan pada otak, namun pada apa yang menuntun otak kita kepribadian hati dan ide-ide progresif“
Fyodor dostoyevsky