levanterfreternity@yahoo.co.id
D |
alam kehidupan sehari-hari kita tentunya sudah mengenal dan paham dengan teori sebab-akibat. Pendidikan tentang sebab-akibat kita lalui dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari kita kecil sampai dewasa saat ini. Seperti contoh, ketika kita masih kecil kita dilarang main hujan-hujanan karena dikhawatirkan nanti bisa sakit, kita dilarang main pisau karena khawatir terluka, kita harus makan tepat waktu agar sehat. Pada saat dewasa pun maindset sebab-akibat masih sering diajarkan dan kita terapkan tanpa kita sadari. Seperti ketika kita sakit lalu pergi ke dokter, kita diberi obat dan injeksi agar sembuh. Bekerja keras agar mendapatkan gaji/uang yang banyak. Dalam dunia mahasiswa sebab-akibat dipraktekkan seperti dalam contoh rajin kuliah, tidak pernah absen, menggunakan sepatu, mengerjakan tugas dan datang tepat waktu. Semua itu dilalui dengan harapan adanya suatu-akibat, yaitu cepat lulus kuliah dengan IP tinggi, minimal tiga koma agar dapat mudah diterima bekerja dan mendapat uang.
Dalam contoh sehari-hari di atas sering atau bahkan selalu dipahamai bahwa sebab akan selalu menjadi akibat, dengan rumus persamaan sebab à akibat. Hujan-hujanan à sakit, main pisau à terluka, obat
à sembuh, lulus kuliah à kerja/uang.
Kausalitas atau teori sebab-akibat sebenarnya mempunyai banyak pendapat dalam sejarah pemikiran manusia. Hal yang sepertinya dianggap sepele, tidak terlihat mempunyai makna yang rumit dan sulit, ternyata itu telah menjadi perdebatan filsafat sejak dahulu kala. Dalam dunia pemikiran Islam perdebatan tentang teori sebab-akibat ini sampai membawa pada fatwa “kafir” bagi orang atau golongan yang tidak sependapat. Berikut beberapa perbedaan pendapat dalam masalah sebab-akibat:
Pertama, menurut kaum Empirisme hubungan sebab-akibat tidak mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Menurut David Hume segala hal dan pengetahuan yang kita alami di dunia ini hanyalah murni karena pengalaman sehari-hari an sich semata, tidak ada hukum atau aturan yang melandasinya. Tidak ada pengetahuan, tidak ada ilmu, yang ada hanya pengalaman hasil pengamatan indera kita sehari-hari saja. Kita tidak bisa berpendapat atau berkeyakinan bahwa esok matahari akan terbit lagi, karena kita belum mengalami esok hari, kita masih hidup dimasa hari ini. Kita tidak bisa yakin besok matahari akan terbit hanya karena dalam pengalaman yang sudah-sudah. Mulai saat kita kecil sampai dewasa kita melihat matahari selalu terbit pada tiap pagi hari. Seperti contoh lagi anggapan bahwa mendung selalu menurunkan hujan, pendapat ini tidak bisa diterima karena dalam pengalaman manusia tidak setiap mendung akan menghasilkan hujan.
Kedua, golongan Rasionalis. Berbeda dengan Empiris yang memberikan porsi yang berlebihan pada pengalaman indra manusia, kaum Rasionalis lebih banyak memberikan analisa masalah kepada peranan akal manusia. Menurut kaum Rasionalis peran alat indera manusia hanya sebagai alat untuk mengumpulkan data akan tetapi akallah yang mempunyai kuasa mutlak untuk menganalisanya. Segala pengalaman manusia yang nampak dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya tidaklah dalam wujud aslinya, ada rahasia atau pengetahuan tertentu yang tersembunyi dibalik pengalaman-pengalaman tersebut. Seperti contoh kita melihat bulan lebih besar dibanding bintang, akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut menurut penyelidikan akal ternyata ukuran bintang lebih besar dibanding bulan, bulan terlihat lebih besar karena jarak terhadap bumi lebih dekat dibanding dengan jarak bintang ke bumi. Sering kali pengetahuan yang kita dapat dari indera menipu kita bila tidak dianalisa dengan akal rasio manusia. Aliran ini diwakili oleh Rene Descartes seorang filosof Rasionalis asal Perancis, ia juga dikenal dengan aliran skeptis, karena selalu meragukan segala sesuatunya sampai dengan temuannya yang terkenal yaitu cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Skeptisisme yang dipandu dengan akal akan selalu gelisah mencari dan terus mencari hakikat dari segala sesuatu. Dengan keraguan dan akalnya maka Descartes dapat menemukan bahwa ”aku” yang berpikir adalah inti atau hakekat segalanya, karena kita dapat meragukan alam, manusia, tumbuhan, hewan bahkan kita dapat meragukan Tuhan. Akan tetapi kita tidak dapat meragukan diri kita sendiri yang sekarang sedang berpikir tersebut. Disinilah letak penjelasan dari cogito ergo sum. Dengan analisa rasio maka kita dapat menemukan hubungan sebab-akibat tertentu dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dimulai oleh Descartes sendiri yaitu aku berpikir maka aku ada. Aku berpikir adalah sebab yang menjadikan kesadaran “keadaan” kita.
Pengaruh Rasionalisme sungguh besar dalam peradaban Barat. Banyak temuan-temuan ilmiah yang bermanfaat bagi manusia dengan adanya pendayagunaan akal tersebut, misteri-misteri alam yang dahulunya dipahami sebagai mitos kepercayaan mulai dirasionalkan dan dapat dengan mudah dipahami oleh manusia. Salah satu penemuan penting rasio sebab-akibat adalah hasil pemikiran seorang fisikawan besar Isac Newton, menurut Newton kejadian-kejadian yang terjadi di alam mengikuti pola hubungan aksi-reaksi, bila kita melakukan aksi dengan memanaskan air maka akan terjadi reaksi air menjadi panas bahkan mendidih, begitu pula jika kita mendinginkannya maka akan terjadi reaksi air menjadi beku/es. Hubungan sebab akibat atau aksi-reaksi ini telah diformulasikan oleh Newton dengan hukumnya yang terkenal, yaitu Hukum Newton. Dengan penemuannya tersebut, banyak diciptakan mesin-mesin baru yang sangat berguna bagi masyarakat Inggris pada waktu itu, hingga tercapainya Revolusi Industri di Inggris. Newton juga termasuk salah satu dari seratus orang paling berpengaruh di dunia berkat temuannya.
Hasil lain dari pengaruh rasionalisme akal adalah perdebatan antara seorang ilmuan fisika Galileo dengan gereja. Gereja pada waktu itu berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta, sementara Galileo dengan analisa rasio berpendapat bahwa matahari adalah pusat semesta dan posisi bumi adalah mengitari matahari. Perdebatan antara rasio dan agama pada waktu itu harus dibayar mahal dengan tewasnya Galileo dan diburunya ilmuan-ilmuan yang sependapat dengannya oleh gereja. Bagi filsafat Rasionalisme hubungan sebab-akibat mendapat tempat yang pasti dalam analisa akal. Berbeda dengan filsafat Empirisme yang menganggap kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan manusia murni pengalaman indera semata tidak ada hukum yang melandasinya.
Ketiga, dalam teologi Islam klasik yang diwakili oleh Imam Ghazali berkeyakinan bahwa hubungan sebab-akibat mustahil terjadi karena menurutnya yang terjadi di dunia ini segalanya murni karena adanya izin Allah. Satu-satunya hubungan sebab-akibat adalah sebab-akibat karena adanya izin dari Allah. Bila kita makan lalu kenyang, maka yang membuat kenyang bukanlah makanan yang kita makan, tetapi karena izin Tuhanlah kita dapat merasakan kenyang. Api tidak dapat membakar kayu, satu-satunya yang dapat membuat kayu habis terbakar bukanlah api, tetapi izin Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu. Cerita tentang nabi Musa ketika sakit bisa sembuh setelah berdoa kepada Tuhan dan meminum obat, dan untuk sakit yang kedua kalinya tidak dapat sembuh dengan obat yang sama karena nabi Musa hanya meminum obat tanpa berdoa terlebih dahulu kepada Tuhan dan ini bisa dijadikan contohnya. Barang siapa yang mempunyai kepercayaan bahwa api dapat membakar kayu dan makanan dapat mengenyangkan perut maka dia telah fasiq karena dia telah mengingkari kemahakuasaan Tuhan.
Keempat, aliran sufi. Dalam dogma yang diajarkan kaum sufi kita tidak boleh berpegangan pada hubungan sebab-akibat dalam hal amal. Bagi mereka, yang diwajibkan pada manusia adalah hanya menghamba/beribadah pada Tuhan tanpa mengenal pamrih, mengharapkan surga atau menghindari neraka. Salah seorang sufi pernah berlari-lari sambil membawa api dan air, ketika ditanya buat apa keduanya? Dia menjawab api untuk membakar surga dan air untuk memadamkan api neraka. Surga dan neraka bukanlah tujuan hidup bagi seorang sufi, yang mereka inginkan hanya ikhlas beribadah beramal untuk Tuhan. Mereka tidak terpengaruh oleh ambisi-ambisi yang bersifat keduniawian. Hubungan sebab-akibat bagi kalangan sufi hanya dicurahkan untuk kebahagiaan sang Khaliq.
Tentunya masih banyak terdapat teori-teori lain tentang hubungan sebab-akibat. Semuanya mempunyai implikasinya masing-masing setiap manusia bebas untuk memilih, akan tetapi dengan mengetahui minimal empat teori di atas kita dapat berpikir ulang mengenai hubungan sebab-akibat yang selama ini kita imani. Apa ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara lulus dengan IP tinggi dengan kesuksesan finansial yang selama ini diidamkan banyak mahasiswa?, apa ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara kekayaan dengan kebahagiaan hidup?, apa ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara kebahagiaan hidup di dunia dengan kebahagiaan ukhrawi yang selama ini masih dipercayai mayoritas mahasiswa?.
Silahkan Pikir & Renungkan...........!
(Lukman Hakim /TH/VIII)