logo

logo
buletin

Rabu, 11 April 2012

SIRADJ AL MUSTAQIM FOR US


Kita boleh berbeda pendapat dalam rumah tangga . Tapi kita harus tetap menjaga agar tidak merusak rumah sendiri. jangan membanting piring, merusak pintu, jendela dan sebagainya. Rugi kita, dan rusaklah rumah tangga kita. (KH. Ilyas Ruchiat)
Perbedaan adalah Rahmat Allah  yang paling banyak disalah pahami oleh manusia, padahal tanpa perbedaan, gerak  pemikiran menjadi beku imbasnya peradaban akan berhenti, karena itu tidak ada pilihan lain bagi umat Islam khususnya untuk meramu sebuah formula baru memahami perbedaan secara cerdas dan membangun.
Jika menilik perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tidak ada agama yang lahir di muka bumi tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral (Nabi)  agama tersebut. Di agama Islam sendiri lebih 14 abad silam Nabi Muhammad SAW telah bersabda "Yahudi telah sengketa ke dalam 71 aliran, Nasrani cerai menjadi 72 kelompok, dan umatku pecah 73 kelompok, semua di neraka kecuali satu…". Enam kitab Hadist (Kutubsittah) meriwayatkan sabda Nabi ini, meskipun dengan redaksi yang sedikit berbeda. Dari hadist diatas kaum muslimin seakan punya dua alternatif, tersesat dan berpetunjuk. Bila sesat maka di neraka dan bila berpetunjuk maka di surga, jika hadist tersebut dipahami demikian maka akan menyebabkan dikotomi antar kelompok dalam agama Islam. Dikotomi ini sangat arogan apabila dilakukan oleh sebuah kelompok dengan membuat klaim paling benar dan kelompok lain yang kemungkinan hanya memiliki secuil perbedaan dianggap sesat sekaligus disertai ancaman kekal di jahanam karena perbedaan tersebut. Hanya dengan berbekal satu hadist di atas individu atau kelompok dengan mudah mampu mendata kelompok-kelompok yang ada di agama Islam beserta pengikutnya lalu memasukkan selain kelompoknya dalam deretan kelompok sesat, dengan kata lain individu maupun kelompok tadi  bisa men'sensus' penduduk surga dan neraka jauh lebih awal, sebelum hari pengadilan, yaitu ketika masih di dunia. Pertanyaannya kemudian apakah memang benar hadist Nabi diatas dapat menciptakan jurang pemisah antar kelompok Islam sekaligus menjadi pemicu munculnya klaim antar kelompok untuk memonopoli Siradj Al Mustaqim’  bagi kelompoknya sendiri?
Jawabnya IYA, hadist diatas memang dapat menciptakan peluang bagi setiap kelompok untuk memonopoli siradj al mustaqim’, menganggap kelompok atau individu lain di luar lingkaranya berada pada Siradj (jalan) yang tidak lurus/ Menyimpang. Tidak hanya perbedaan bahkan selamanya hadist diatas akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam berkepanjangan, hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh Abu Hurairah dari Ibnu Amar dari Anas Bin Malik dari Ibn Amr, dan Muawiyah Bin Abi Sufyan itu juga lulus seleksi dengan status  hadits sahih, akan tetapi apabila ditinjau dari asbabul wurudnya apakah benar jika hadist yang disabdakan oleh lidah yang mulia Nabi memang ditujukan sebagai alat sensus untuk pembenaran dan penyesatan antar sesama umat Islam,  diperlukan sebuah pemahaman yang cerdas dan dewasa dari umat Islam bahwa hadist tersebut bukanlah alat justifikasi apalagi instrumen sensus untuk memasukan saudara seimannya didaftar calon penghuni neraka, melainkan sebuah cambuk bagi setiap kelompok untuk berkompetisi menemukan siradj menuju  kebenaran  mutlak Tuhan yang satu. Allah SWT. Selama ini umat masih terjebak pada intrepertasi maqosid al lafdi sehingga maqosidu as syar’i yang menjadi tujuan sebenarnya dari sebuah teks menjadi bias, Imam Abdul Halim Mahmud guru besar Universitas Al Azhar mewanti-wanti agar umat Islam tidak terjebak pada pemahaman exstrim yang dengan mudah memberikan status kafir pada saudaranya seiman, dalam bukunya “At-Tafkir Al-Falsfy Fil islam”, beliau bungkus kata-kata dengan indah untuk menolak pendapat sembrono dan menekankan sikap hati-hati dalam berbicara tentang aliran-aliran Islam karena hal itu menyangkut penjustifikasian terhadap suatu kelompok.
Adapun jumlah 73  kelompok yang terdapat pada hadist di atas beberapa ulama` mencoba untuk menghitung dan mendata sekte-sekte Islam kemudian menjumlahnya menjadi 73, tidak lebih dan tidak kurang, mereka bermaksud menyesuaikan jumlah sekte Islam dengan sabda Nabi dalam Hadits di atas. Beragam apapun warna-warni sekte dalam tubuh Islam jumlahnya harus tetap 73 sekte, dengan segenap usaha mereka mencari perbedaan yang sejatinya tidak berbeda dan kesamaan yang sebenarnya sangat berbeda. Akan tetapi, manusia adalah makhluk terbatas yang tidak bisa melampaui dunianya, artinya mereka hanya bisa menjumlah sekte-sekte yang telah muncul sampai waktu kehidupannya, seiring perjalanan waktu jumlah sekte Islam akan berubah, berkurang atau bertambah. Sederet ulama` berusaha membatasi sekte-sekte Islam dalam jumlah 73, menutup kemungkinan tenggelamnya satu sekte dan munculnya sekte baru, diantaranya Imam As Sahrastaniy (479H- 548H) yang bergelar Imamul Afdhal” (Imam yang paling baik) dengan "Al Milal wa Nihal"nya yang sangat masyhur itu, termasuk di Indonesia KH. Sirajuddin Abbas  ulama kelahiran Padang Sumatra Barat, pengarang buku I’tiqad Ahlissunah Wal Jamaah juga melakukan usaha yang sama. Beliau-beliau ini seakan lupa bahwa dengan masih dibukanya pintu ijtihad serta semangat membawa Islam untuk relevan sepanjang zaman adalah faktor yang memupuk tumbuh-kembangnya aliran dalam Islam. Karena itu usaha untuk membatasi sekte-sekte Islam dalam jumlah 73 saja adalah sesuatu yang sia-sia. Permasalahan 73 aliran kalau kita belajar bahasa dan satra Arab, maka kita akan mendapati beberapa kalimat bilangan (`adad) yang tidak dimaksudkan menunjukkan jumlah bulat, akan tetapi menunjukkan jumlah yang mungkin kurang atau lebih dari angka yang disebut. Misalnya dalam hadits "Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf", ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Said Agil Siradj bahwa jumlah 73 bukanlah menunjukkan  jumlah bulat melainkan kisaran.
Namun, sangat disayangkan apabila usaha hitung-menghitung sekte-sekte sesat dan proses saling mengka firkan ini ternyata digemari dari masa ke masa bahkan sekarang ini semakin marak. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa perjalanan sejarah umat Islam belum selesai dan akan terus berjalan, sehingga mungkin sekali satu sekte Islam sirna ditelan masa, namun akan ada sekte-sekte lain yang baru dan jumlahnya lebih banyak. Kemerdekaan berfikir, berijtihad, berkelompok tidak bisa dicegah begitu saja dengan melakukan 'sensus' aliran sesat, sebab perkembangan dan perubahan itu adalah proses yang lazim dalam Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi potensi akal. Hanya saja kita sebagai orang Islam yang beriman sudah seharusnya mengedepankan akhlak, menata lidah dan membersihkan hati dari intervensi ‘setan’ yang bernama dengki agar setiap gerak-gerik yang keluar dari pribadi kita tidak menjadi bisa bagi sesama manusia maupun sesama muslim, apalagi sampai ikut-ikutan menyesatkan orang atau kelompok lain, yang bahkan belum tentu kita kenal ataupun kita teliti secara mendalam terlebih dahulu,  Sabda Nabi:
“Orang Islam adalah orang yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya sesama Islam”.(H.R.Imam Muslim)
Pengkafiran terhadap muslim sangat tidak dibenarkan dalam Islam, kalau hanya karena secuil perbedaan. Islam adalah agama yang penuh tasamuh (toleransi) baik bagi umat Islam sendiri maupun ummat lain. Orang yang jelas-jelas beriman kepada Allah yang satu, mengakui Muhammad SAW sebagai penutup para Rasul dan mengimani risalah yang dibawanya tidak boleh dianggap kafir. Meskipun harus kita akui, memang ada firaq goirul Islam, seperti kelompok Lia Eden, Babiyah, Ahmadiyyah Qadyan, namun dalam kaca mata dakwah kita mengenal istilah ‘gufron lijahli’, karena itu tidak diperbolehkan mengambil tindakan repressif  apalagi dengan mudah menjatuhkan vonis kafir sebelum proses tabayyun .
Yang perlu kita pahami bahwa perpecahan umat Islam yang muncul sejak tahun 40 H bukanlah semata-mata karena perbedaan dalam masalah agama (fiqh dan theology), tapi perpecahan itu sebenarnya berawal dari masalah siyasi (politik), namun seiring perkembangan waktu dan pengaruh fanatisme, masalah yang sederhana itu menjadi problem yang sangat pelik, meluas mencakup masalah aqidah.
Yang diperlukan oleh umat Islam dewasa ini bukanlah saling mencari pembenaran masing-masing kelompok lalu disibukkan oleh urusan saling vonis antar kelompok. Karena sejatinya dalam Islam perbedaan itu bukanlah hal baru dan bukan permasalahan pokok yang perlu dipertentangkan hingga berlarut-larut, bahkan bagaimanapun bentuk perbedaannya tidak perlu dikomparasikan kelompok satu dengan yang lain, karena lebih dari itu setiap kelompok dalam Islam memiliki pekerjaan rumah yang sama, yaitu bagaimana menjadikan Islam - agama revolusioner yang saat kelahirannya di Jazirah Arab mampu membongkar sistem yang telah membusuk  pada zaman itu- tidak sebatas agama yang hanya mengedepankan sikap enjoy ria dibalik topeng ritualitas tapi juga mampu menjadi solusi pemecahan masalah kemiskinan, penghilangan kebodohan,  penegakan keadilan dan memberikan sumbangan bagi peradaban dunia.

Silahkan Pikir dan Renungkan………….
SALAM LEVANTER FRATERNITY…………. 

Oleh: Da’i Robbi/PBA VI


Sumber Bacaan :
A.Muthohar. Teologi Islam. Sleman: Teras.2002
As Syahrastani. Milal wa Nihal. Surabaya : Bina Ilmu 
Sirojuddin Abas. Etikad Ahlussunah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah.1984.


Budi Pekerti Yang Tinggi Adalah Rasa Malu Terhadap Diri Sendiri


Plato
 






Kamis, 15 Desember 2011

Mari Berhijrah

Beberapa hari yang lalu umat islam merayakan tahun baru hijriyah. Kata hijriyah diambil dari peristiwa hijrahnya Rosulullah dan sahabat dari makkah ke madinah. Dalam sejarah, tahun hijriyah ditetapkan oleh sahabat Umar bin Khattab. Penetapan 1 muharrom ditetapkan umar kira-kira 7 tahun setelah Rosulullah wafat. Berbeda dengan tahun baru masehi, tahun baru hijriyah dihitung berdasarkan peredaran bulan, bukan matahari seperti tahun baru masehi. Dan perhitungannya dimulai setelah memasuki waktu maghrib. Sedangkan tahun masehi perhitungannya dimulai sejak berakhirnya pukul 24.00 (tengah malam). Umar memilih peristiwa tersebut dengan berbagai pertimbangan. Pertama, peristiwa hijrah menunjukkan bahwa hidup itu dinamis dan harus aktif mencari terobosan baru. Oleh sebab itu, bagi seorang muslim tidak dibenarkan memilih hidup yang bersifat pasif dan statis yang mana hal itu akan menimbulkan stagnasi dalam menjalani hidup. Kedua, hijrah adalah sebuah titik balik perjuangan dakwah Nabi dan umat islam dalam menegakkan kebenaran. Hal ini nampak dari diubahnya nama Yastrib menjadi Madinah yang berarti kota, tempat peradaban, kesopanan dan tegaknya norma hukum. Oleh karena itu hjrah merupakan pintu masuk perubahan nasib yang lebih baik, sebagaimana keberhasilan Rosulullah dan sahabatnya. Peringatan tahun baru hijriyah adalah memperingati pergantian yang melambangkan peningkatan taraf hidup yang bermadaniyah, bercivilisasi, beradab dan berbudaya. Dalam melakukan hijrah memang tidak mudah. Mula-mula butuh niat (motivasi) yang kuat dan benar. Berikutnya adalah usaha yang sungguh-sungguh, karena didalamnya membutuhkan pengorbanan. Dan dalam hal apapun hijrah memang dianggap menjadi tonggak awal menuju kesuksesan. Hal itu bisa kita lihat dari umat-umat terdahulu mulai sejak nabi Ibrahim, Luth, Musa hingga Muhammad semuanya melakukan hijrah untuk memelihara keimanannya. Selain itu, hijrah bukan hanya untuk memperoleh kebahagian akhirat, tetapi hijrah juga bisa untuk memperoleh kebahagiaan dunia. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak sedikit dari warga negara kita yang hijrah untuk memperbaiki taraf ekonominya. Mereka berbondong-bondong bermigrasi ke negara-negara yang kaya. Mungkin dalam menuntut ilmupun, kita juga harus melakukan hijrah kalau ingin mencapai kesuksesan dalam mencari ilmu. Hijrah disini adalah kita harus merelakan diri untuk meninggalkan rumah, keluarga, famili dan lain sebagai- nya untuk menuntut ilmu yang dibutuhkan dalam mengejar suatu yang dicita-citakan. Orang jawa mengatakan “kabeh kudu ditirakati yen pengen oléh kabejan”. Hijrah merupakan salah satu bentuk tirakat yang dipenuhi dalam menuntut ilmu. Seperti halnya Plato. Dia harus berhijrah ke kota Sirakus. Dimana ia berusaha untuk ingin merubah sistem pemerintahan yang ada. Tetapi sayang, ia hampir dijual sebagai budak, untungnya diketahui oleh temannya dan akhirnya ia ditebus. Akhirnya ia kembali ke Athena. Ketika ia akan mengembalikan uang tembusan dirinya, uang pengganti tebusan itu ditolak oleh temannya, kemudian ia mengggunakan uang itu untuk mendirikan Akademia. Mungkin ketika ia tidak berhijrah dan hampir dijual sebagai budak, ia tidak akan mendirikan Akademia. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Setelah melewati pergantian tahun beberapa hari yang lalu, secara otomatis kita telah berhijrah. Hijrah dari tahun lama ke tahun yang baru. Tahun merupakan salah satu dimensi waktu yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kehadiran sang waktu bukan tanpa tujuan. Ketika kita melihat bulan yang dulunya tidak ada kemudian sabit kemudian purnama kemudian hilang lagi, hal itu seperti manusia yang dulunya tidak ada kemudian lahir kemudian dewasa kemudian meninggal. Oleh karena itu, manusia harus bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Dengan bergantinya tahun sudahsaatnya kita harus bisa merubah diri yang lebih baik dari tahun kemarin. Dalam mengisi waktu, islam mengajarkan untuk mengerjakan amal saleh, yaitu perbuatan yang apabila dilakukan tidak mengakibatkan kerusakan atau perbuatan yang bermanfaat. Kemanfaatan bagi pribadi, keluarga, kelompok atau manusia secara keseluruhan. Salah satu contoh amal saleh yang berkembang dalam tradisi masyarakat adalah tumpengan. Tumpengan dan beberapa tradisi lain seperti nyadran, sekaten, dan tahlilan dalam bahasa antropologi agama adalah simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna subyektif pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadah yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transenden dan imanen. Dengan kata lain, high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan perlu dikongkritkan dalam bentuk low tradition yang merupakan pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan dan tumpengan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub wassykuru ilallah dan apresiasinya dalam bentuk dzikir kolektif dan pemberian sesuatu. Lalu muncul simbol kebudayaan bernama tahlilan dan tumpengan. Islam juga mengajarkan untuk memanfaatkan waktu secara produktif sehingga waktu tidak terbuang dengansia-sia. Dalam suatu hadits juga dijelaskan bahwa -penggalannya- siapa yang hari ini sama atau bahkan lebih jelek (perbuatannya) dari hari kemarin, maka termasuk orang yang rugi. Dalam hadits Nabi menyatakan agar kita bisa menjaga lima perkara sebelum lima perkara (sebagai kebalikannya), yakni sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin,senggang sebelum sempit, muda sebelum tua dan hidup sebelum mati. Ada yang mengatakan waktu adalah uang. Itulah sebabnya waktu adalah hal yang berharga dan harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Yang dianjurkan dalam islam yang lain ketika melawati tahun baru yaitu refleksi. Kita harus berkaca pada masa lalu untuk mengambil pelajaran, manfaat, perhitungan untuk dijadikan bekal untuk hari esok. Itulah beberapa hal yang diajar- kan islam dalam melewati tahun baru. Kita telah berhijrah dari tahun lama ke tahun yang baru. Apa yang harus ditingkatkan hijrah kali ini? Apakah sama dengan tahun kemarin? Mungkin tulisan saya cukup sampai disini dan saya ucapkan selamat tahun baru 1433 H. Silakan Pikir & Renungkan...!!! Musnadil Firdaus AS/III

Republic Daging

Belum lama kita umat Islam merayakan moment hari Raya Idul Adha yang identik dengan penyembelihan hewan qurban yang mana hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, qurban adalah manifestasi ketundukkan hamba dan rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan Tuhan, qurban juga bisa dimaknai sebagai symbol penyembelihan nafsu kebinatangan yang melekat pada diri setiap manusia. Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di dunia bisa dibayangkan melimpahnya ketersedian daging di setiap hari raya qurban, permasalahannya kemudian adalah sudahkah pen-tasyarufan daging-daging tersebut tepat sasaran, di beberapa tempat pembagian daging qurban menyisakan masalah, salah satunya seperti kasus yang terjadi di masjid Al Azam Tanggerang Banten, orang rela babak belur berebut daging kurban yang mungkin beratnya kurang lebih setengah kilo yang dibagikan panitia, peristiwa di Tangerang tersebut mengindikasikan masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Hanya demi setengah kilo daging, masyarakat kita tega menginjak, menciderai bahkan melukai daging saudaranya sendiri. Setengah kilo daging mampu mengubah manusia bertindak irasional, sedemikian berharganya daging sapi dan kambing melebihi pentingnya menjaga daging saudaranya. kemudian saya ingin mendudukan kata daging di tulisan ini secara lebih luas untuk makna yang bebas entah itu daging qurban, boleh jadi daging yang ada pada manusia atau daging apa saja silahkan nanti anda tangkap dan anda proyeksikan dalam pikiran anda sendiri apa maksudnya daging di sini, saya hanya ingin mencoba mengambarkan eksistensi daging di Republik ini, taukah anda jika Republik kita tercinta Indonesia tidak dapat dipisahkan dari urusan daging, ada banyak hal di Republik ini yang berhubungan dengan daging baik secara langsung maupun tidak, apakah urusan dengan daging itu sendiri, tempat dagingnya atau segala yang berhubungan dengan daging, ada daging yang menimbulkan manfaat bagi banyak orang, ada juga tempat daging yang begitu di idamkan banyak orang sehingga untuk memperolehnya memerlukan perjuangan berat, tapi di sisi lain ada berapa banyak problematika timbul di Republik kita yang hanya dipicu oleh persoalan daging. Kita semua ingat pada sekitar tahun 2003-an muncul fenomena goyang ngebor inul yang sukses menggoyang Republik ini, meminjam istilahnya DR. Luqman Hakim tahun-tahun tersebut pantas disebut sebagai era pantatisme Inul , fenomena goyang ngebor Inul menandai awal masuknya Indonesia di dalam industry pantatisme yang sebelumnya industry semacam itu masih sungkan-sungkan untuk secara terang-terangan memunculkan eksistensinya ke permukaan. Kala itu hampir disetiap tontonan yang mendatangkan Inul orang rela berdesak-desakan, bahkan tak jarang sampai harus baku hantam hanya untuk berlomba-lomba mendapatkan tempat terdekat agar bisa melihat jelas bagaimana daging bagian belakang bawah Inul ngebor, saya yakin sekian banyak orang yang hadir tumpah ruah tersebut tidak sadar jika perjuangan mereka berangkat dari rumah, antri tiket, mengeluarkan uang untuk tiket, belum lagi mereka harus rela berdesak-desakan mungkin jika harus ada proses lain yang lebih keras lagi mereka akan dengan senang hati menempuhnya asal bisa melihat daging bagian belakang bawah Inul diputar, sebenarnya jika dipikir lagi hal tersebut sangat tidak sebanding antara hasil yang mereka capai dengan usaha mereka, untuk itu berapa banyak waktu yang terbuang, tenaga yang seharusnya lebih bisa dimanfatkan untuk bekerja, belum lagi biaya yang dikeluarkan hanya untuk datang ketempat berlangsungnya tontonan untuk selanjutnya sepanjang tontonan berlangsung praktis mereka hanya dipantati Inul habis-habisan, ini menunjukkan pada tahun-tahun itu Inul sukses me-ngebor kepala masyarakat kita hanya dengan sesuatu yang sepele .Daging pantat. Seolah alat bor Inul itu mampu menanamkan di otak masyarakat sebuah alat pengendali yang apabila difungsikan tanpa perlu berfikir mereka akan datang ketempat konser Inul untuk dipantati secara suka rela, sehingga bisa dikatakan kalau masyarakat di Republic kita telah terseret arus putaran daging pantat, muka masyarakat Republic kita tidak lebih dari pantat. Fenomena goyang Inul juga memunculkan berbagai takwil dari beberapa kalangan, salah satunya seorang habib dari semarang. Menurut beliaunya fenomena Inul ngebor di atas panggung sebagai pertanda jika Indonesia beberapa tahun kedepan akan mengalami krisis daging pantat, karena itu segala urusan yang berhubungan dengan daging pantat akan mahal harganya, dan takwil tersebut akhirnya terbukti, bisa dilihat beberapa waktu lalu saat pemilu legeslatif berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh seorang calon anggota legislative yang sekedar ingin menempatkan daging pantatnya di kursi dewan. Entah sampai kapan krisis daging pantat akan terus melanda Indonesia, sampai saat inipun para orang tua selalu resah manakala sampai waktunya mendaftarkan anak-anak mereka ke bangku sekolah karena besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendudukkan daging pantat anak-anak di bangku sekolah. baru-baru inipun Republic Indonesia juga di repotkan ulah sebagian “kecil” daging milik dua orang anggota masyarakatnya, dari segi ukuran dan letakpun memang berbeda jika daging bagian belakang bawah Inul yang digunakan sebagai pembanding, daging “kecil” ini letaknya tidak di belakang sebagaimana milik Inul tapi berada di depan, bayangkan hanya dengan daging se”kecil” itu si LM dan NI mampu meneror para orang tua Indonesia yang memiliki anak remaja apalagi mereka yang memiliki anak-anak dibawah umur, bukannya tanpa alasan kekawatiran para orang tua mengingat pemilik daging “kecil” tersebut adalah pubilk figure yang tingkah jungkir baliknya sering dijadikan refrensi bergaul kalangan muda. Saya sendiri sempat berfikir manakah yang lebih menakutkan terror yang dilakukan dua orang tersebut dengan daging “kecil”nya atau terror bom Amrozi cs yang menghancurkan daging-daging manusia di Legian Bali, akhirnya saya simpulkan kedua terror tersebut sama menakutkannya, hanya bedanya jangkuan bom Amrozi dampaknya kalah secara teritorial jika dibandingkan terror daging milik kedua artis tersebut, bom Amrozi cs hanya mengakibatkan kerusakan pada teritorial yang terbatas, sebagian kecil wilayah Bali, dengan hanya mempunyai satu setting waktu, beda halnya dengan daging “kecil” tadi yang mampu menjangkau wilayah teritorial yang lebih luas, tidak hanya Bali tapi pelosok Sabang hingga Merauke bisa terjangkau sejauh internet dan media elektronik ada, dari segi setting waktu sampai kapanpun selama polah daging “kecil” tersebut diputar akan tetap bisa menimbulkan kerusakan. terkait teror yang dilancarkan daging “kecil” tadi sebenarnya beberapa tahun silam tepatnya pada tahun 2006 kelompok sastrawan yang dimotori Taufik Ismail sudah pernah melontarkan kritik menanggapi banyaknya karya “becek” yang mengeksploitasi daging sekitar selakangan, sehingga muncullah dari kelompok sastrawan yang dikenal sebagai penghasil Sastra Madzhab Selakangan (SMS) dimana karya-karya tersebut masuk di dalam Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Dan belakangan ini daging sekitar selakang kembali menjadi magnet di tengah lesunya industry hiburan kita. Industri tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan, industri tidak mengenal baik buruk, akhlakul karimah atau syaiah. Anda harus paham jika ukuran yang digunakan industry hanyalah untung rugi, ratting tinggi atau jeblok. sebenarnya jika mau lebih kritis lagi kita akan banyak menemukan pergumulan Republik ini dengan urusan daging mulai dari kebocoran system yang menguntungkan dan hanya meng’gemuk’kan kalangan daging terbatas, sebaliknya di tempat lain harus ada jutaan daging yang di ekspor keluar negeri dengan emblem besar sebagai pahlawan devisa yang ketika pulang beberapa diantara mereka harus rela daging dan martabatnya terkoyak di negeri orang. Silahkan saja coba anda cari-cari lagi daging lain yang mencurigakan di sekitar anda misalnya, tetangga anda yang baru saja pulang ihram dari tanah suci apakah hajinya sudah menembus dimensi jiwa sehingga setelah mendapat gelar haji berimbas pada tingkah dan perilaku yang lebih baik, atau kelakuannya masih sama saja seperti sebelum menunaikan ibadah haji, bisnis lintah daratnya jalan terus, gaple juga masih oke atau sifat bakhilnya semakin mak nyai, jika demikian anda bisa simpulkan jika haji tetangga anda tersebut hanya sebatas daging, belum sampai tataran jiwa. Meskipun demikian anda tidak boleh merasa pesimis masih banyak daging-daging yang bisa membawa manfaat di Republic ini, dan opsi tawarannya adalah jadikan daging kita sendiri lebih bermanfaat bagi sesama, kita juga tidak membutuhkan ke pura-pura an di solat kita, di puasa kita, di pergaulan kita hanya sebatas dimensi daging. Akhirnya saya ucapkan selamat meninggalkan dzulhijah bertolak ketahun baru 1434 H Silahkan renung & fikirkan) Da’i Robbi (PBA/V)

Menguak arti haji

Haji merupakan rukun Islam yang kelima, yang mana ibadah ini wajib dilakukan bagi kaum muslim yang mampu untuk menjalankannya. Beberapa waktu lalu saudara kita yang muslim banyak yang sudah berangkat ke Makkah untuk melakukan haji. Haji secara etimologi adalah menuju dan secara terminologi haji berarti menuju Baitullah (Makkah) karena ibadah. Di tinjau dari syaratnya, bagi mereka yang menjalankan ibadah haji menurut kaidah fiqih yaitu: Islam, baligh, berakal sehat, dan mampu. Arti mampu disini adalah mempunyai cukup harta/biaya serta sehat menurut keterangan dokter. Dilihat dari sejarahnya, ibadah haji merupakan ajaran/syari’at nabi Ibrahim dan keluarganya yang merenovasi ka’bah sebagai simbol pusat orientasi manusia yang fondasinya sudah diletakkan oleh nenek moyang manusia yaitu nabi Adam. Oleh sebab itu, ritual yang ada didalam haji merupakan ritual napak tilas yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim dan keturunannya. Oleh karena itu juga pengalaman dan pemahaman haji yang benar dan baik adalah yang disandarkan kepada nabi Ibrahim. Meski demikian, praktek haji dalam sejarahnya terdapat praktek penyalahgunaan haji yang dijumpai oleh nabi yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang dikenal dengan al-Hummas yang, memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agamanya sampai melampui batas, misal seperti mengitari ka’bah (thowaf) mereka sampai bertelanjang karena mereka beranggapan bahwa pakaian yang mereka pakai telah ternodai oleh dosa, sehingga tidak boleh digunakan untuk menghadap Allah. Dengan praktek yang menyeleweng seperti diatas, sangat bertentangan dengan makna esensial yang terkandung dalam haji. Setelah datangnya nabi, praktek haji yang seperti itu dihilangkan dan diluruskan kembali kepada yang telah diajarkan oleh nabi Ibrahim. Pada zaman nabi, haji dilakukan pertama kali pada tahun kesembilan hijriyah. Didalam haji terdapat ritual-ritual yang mana ritual tersebut menjadi sebuah simbol yang ada dalam kehidupan. Haji mulai dengan miqot makani. Dengan miqot itulah, jama’ah haji melepaskan atribut yang selama ini mereka gunakan dengan 2 helai pakaian ihrom yang kelak akan menjadi pembalutnya kelak ketika sudah meninggal. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian membuat stratifikasi atau kelas-kelas antar manusia, mulai dari status ekonomi, status sosial ataupun profesi. Di miqot ini, semua atribut yang bisa menimbulkan perbedaan antar manusia harus dilepaskan. Bahkan suku dan ras harus ditanggalkan bersamaan dengan ditanggalkannya pakaian yang telah menutupi mereka sehari-hari. Maka semua jama’ah haji menjadi manusia yang sebenarnya atau menyadari dirinya bahwa ia hanyalah makhluk yang lemah. Ketika telah memakai pakaian ihrom, sejumlah ketentuan-ketentuan mulai berlaku. Seperti larangan menyakiti dan membunuh binatang, menumpahkan darah serta mencabut tumbuh-tumbuhan. Larangan itu berlaku sebab fitrah manusia lahir ke dunia adalah menjadi seorang khalifah di bumi. Seorang khalifah haruslah bisa menjaga dan memelihara ketentraman dam kedamaian makhluk lain. Larangan lainnya adalah dilarang menikah dan menikahkan, memakai wangi-wangian serta berhias agar jama’ah haji menyadari bahwa hidup di dunia tidak hanya mengejar materi dan birahi belaka. Ka’bah adalah bangunan yang hanya terbuat dari batu-batu hitam. Ia menjadi arah kiblat bagi umat muslim dengan segala perbedannya kerena manusia bila tidak ada kiblatnya atau arah yang jelas akan lepas kendali. Ka’bah ibarat matahari yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi planet-planet baik itu kecil maupun besar. Planet-planet itu dengan segala perbedaannya mengelilingi matahari dengan porosnya, sama dengan manusia yang sedang melakukan thawaf. Jadi dalam kehidupan ini perbedaan bukanlah hal yang harus diperdebatkan atau dibesar-besarkan, yang penting esensi dan orientasinya sama. Setelah thawaf, jama’ah haji melakukan sa’i yang berarti usaha. Dalam sejarahnya sa’i merupakan usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar untuk memperoleh air untuk memberi minum anaknya, yaitu nabi Ismail yang menangis karena kehausan. Keyakinan yang kuat akan kebesaran dan kemurahan Allah, telah menjadikan Siti Hajar mantab dalam mencari sumber kehidupan dalam kondisi yang mencemaskan dan mengenaskan. Ia mulai berlari dari Shofa yang berarti kesucian dan ketegaran. Jadi dalam hidup, usaha haruslah diawali niat yang suci, tegar dan optimis. Usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar itu berakhir di Marwah. Hal yang dilakukan oleh Siti Hajar tersebut berulang-ulang sampai 7 kali baru kemudian membuahkan hasil. Jadi dalam hal ini manusia dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin. Aktivitas haji yang selanjutnya adalah Wukuf di Arofah. Di mana semua jama’ah haji berkumpul di suatu padang panas dan berbatu yang di mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijah sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijah. Ritual ini menunjukan manusia supaya ia mengenali dirinya sendiri dan selalu teringat kepada sang Pencipta ketika ia dalam keadaan apapun maupun kondisi apapun. Setelah dari Arofah, jama’ah haji pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam rangka akan menghadapi musuh terbesarnya, yaitu setan. Kemudian pergi ke Mina untuk melakukan lempar jumrah sebagai lambang akan kebencian dan kemarahan yang telah menyebabkan segala kegetiran. Setelah melempar jumroh, mereka akan menyembelih hewan kurban yang mana kurban tersebut menjadi simbol akan kemenangan yang yang diperolehnya. Selain uraian diatas, haji merupakan suatu usaha manusia untuk kembali kepada Allah, karena dalam melakukan ibadah haji, orang harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Selain itu, untuk berangkat haji harus mengantri sampai bertahun-tahun yang berarti menjadi sebuah ujian kesabaran bagi calon jama’ah haji. Meski haji menghabiskan biaya yang cukup besar dan memerlukan waktu yang relatif lama untuk berangkat, tetapi hal tersebut menjadi salah satu arti bahwa manusia rela untuk mengorbankan apapun, baik itu berupa materi maupun tenaganya hanya untuk menjalin kedekatan dengan Sang Khaliq. Kesalehan sosial Dalam konteks ini, nilai-nilai baru dari proses ibadah itu seharusnya berdampak positif bagi masyarakat. Esensi haji bukan sekadar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, sanak saudara dan masyarakat umumnya. Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal menjadi lebih bermakna. Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya. ”Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. ”Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga ”manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses ibadah haji itu. Para ”manusia baru” yang ibu-ibu itu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip. Dimensi horizontal inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan mampu berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi tingginya kualitas iman dan takwa. Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Silahkan Renung & Pikrkan...!!! Musnadil firdaus (AS/III)

Senin, 24 Oktober 2011

AKU BELUM LUPA

Jawa, dimana Jawaku kini?
Jawa, ia telah menghilang dari benak orang-orang Jawa
Jawa, apakah Jawaku masih ada kini?
Jawa, hai Jawa janganlah kau sembunyikan dirimu dalam kesendirianmu,
Jawa, apakah aku harus membujukmu untuk keluar lagi?
Mengapa kau sembunyikan dirimu?
Apakah karena arus modernisasi yang telah menenggelamkanmu, hingga kau tak mampu bersinar lagi?
Arus globalisasi telah menyebabkan kebudayaan asli Indonesia hancur tak tersisa. Tergantikan oleh segala yang bersifat instan yang kebanyakan menjadikan masyarakat Indonesia jauh dari nilai-nilai yang tertanam dalam Indonesia sejati khususnya bagi masyarakat Jawa menjadikan masyarakat Jawa lupa akan ke-Jawa-annya. Namun jawa sebagai jawaku telah mengakar kuat dalam ingatanku hingga walaupun kini Jawa itu mulai pudar namun, masih tersisa jawaku dalam hatiku.
Dulu Jawa adalah tempat yang begitu kaya akan khazanah kebudayaan mulai dari yang sederhana sampai yang menjadi kesusastraan. Namun hal ini kini sulit dijumpai bahkan oleh masyarakat Jawa sendiri yang notabene sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Permainan-permainan, kesenian daerah yang memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat kini sudah digantikan dengan permainan elektronik yang lebih mengutamakan kepuasan individu dari pada kepuasan bersama sehingga menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sekitar dan menjadikan manusia makhluk individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. dahulu Indonesia adalah negara yang besar dengan pusat pemerintahan yang sama dengan sekarang yaitu Jawa. Namun mengapa kini seolah kita kehilangan identitas kita sendiri sebagai Jawa? Bukankah dengan peralatan seadanya dulu kita pernah menguasai hampir seluruh Asia Tenggara?. Namun seiring berlalunya zaman, hingga kini memasuki zaman teknologi kita malah menjadi terkekang dengan peralatan yang bukannya menjadikan maju bangsa Indonesia namun malah semakin mundur secara teratur. Permasalahannya yaitu kita kurang memperhatikan kebudayaan dan kurang berpartisipasi secara aktif akan kebudayaan daerah yang telah kita miliki yang didalamnya sebenarnya memiliki power yang tak terbatas hingga berakhirnya masa.
Apakah kita semua tidak rindu akan permainan masa kecil kita? petak umpet, sundamanda, gobaksodor, tapi dimana kini permainan tersebut dapat kita temui? kini kita hanya dapat melihat anak-anak kecil bermain Playstation dan game online internet.
Apakah kita tidak rindu dengan geguritan, parikan, wayang dan kesenian kita yang lain? jawabannya bisa ia bisa juga tidak tergantung dari seberapa parah virus apatisisme telah menjangkiti orang Jawa itu sendiri.
Apakah kita mau menjadi orang yang lupa akan tanah kelahiran kita sendiri itu tergantung kita mau mengamalkan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur kepada kita baik mengenai ajaran moral hingga kesenian daerah dan juga permainan-permainan. Tapi apa mau dikata Jawa yang dulu begitu menggurita kini hanya bagaikan seekor semut yang diinjak-injak harga dirinya. Kesenian-kesenian dari Jawa yang memiliki arti penting dalam bersosialisasi digerus dan semakin digerus oleh kesenian yang tidak mendidik masyarakat untuk hidup bersosialisasi.
Kita terlahir ke dunia sebagai homo homini socius yang tidak bisa lepas setiap segi dari kita untuk berhubungan dengan masyarakat dan itu semua diajarkan dalam filsafat kita sendiri yaitu filsafat Jawa karena filsafat Jawa tidak hanya dalam permainan dalam seni dalam kesusastraan Jawa semua tidak luput dari bahasan filsafat karena dalam setiap kesenian kesusastraan dan budaya Jawa memiliki nilai instrinsik yang begitu luar biasa besarnya jika kita amalkan kembali agar Jawa khususnya dan Indonesia umumnya tidak kehilangan jati diri bangsa sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa sebenar- nya begitu besar. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam contoh dibawah:
Permainan Gobag Sodor
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Sarana untuk menigkatkan interaksi antar teman sehingga bisa menimbulkan perasaan saling membutuhkan.
3. Alat untuk meningkatkan keterikatan sosial yang akan dibutuhkan dimasa mendatang.
4. Sebagai pelatihan bahwasanya dengan bekerja keras dan tak pantang menyerah hal yang diinginkan akan tercapai.

Permainan Petak Umpet
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Alat pembuktian bahwa berusaha sendiri itu sangat sulit dilakukan walaupun kemung- kinan berhasil ada namun sangatlah kecil.
Dalam hal musik Jawa memiliki berbagai macam bentuk musik yang memiliki berbagai macam arti yang terkandung didalamnya.
Dalam musik Jawa ada Gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, hingga Megatruh dan Pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu.
Sinom dapat diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan Ruh adalah roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (pocong). Dan masih banyak lagi yang lainnya yang kini bahkan orang jawa pun tidak mengetahui tentang kebudayaannya sendiri.
Jawa (Indonesia) kini telah tenggelam dalam westernisasinya karena begitu tidak percaya diri menggunakan identitas aslinya dan semakin jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaannya. Sekrang tergantung pada kita apakah kita mau membuang identitas kita sendiri atau terus melestarikannya?

Silakan fikir dan Renungkan!!!

Hishna M. Sabiq

Sunan Kali Jaga
Ilir Ilir
Ilir ilir ilir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
(Simbol untuk memelihara bumi)
Tak senggoh penganten anyar
(Simbol untuk pemuda)
Cah angon cah angon
(Simbol untuk manusia sebagai khalifah)
Penekno blimbing kuwi
(Simbol unutk menunjukkan blimbing yang mempunyai lima segi sebagai perlambang rukun iman)
Lunyu-lunyu penekno
(Simbol untuk menyatakan sulitnya mengerjakan rukun iman namun harus tetap dilaksanakan karena merupakan perintah Tuhan)
Kanggo sebo mengko sore
(Simbol untuk menunjukkan bahwasanya rukun iman sebagai bekal di akhirat)
Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangane
(Simbol untuk menunjukkan selagi kita masih hidup di dunia dan belum ke alam akhirat kita harus tetap berusaha melaksanakan perintah Tuhan)
Yo surako surak hore
(Simbol keberhasilan melaksanakan rukun iman dan memperoleh surga)


“Harta Sejati Adalah Kesehatan, Bukan Emas Dan Perak.”

“Mahatma Gandhi”

Rabu, 12 Oktober 2011

AKTUALISASI FIKIH (Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer)

Mengikuti perkembangan fikih memang sangat menarik. Jika, peradaban Yunani adalah peradaban filsafat, dan peradapan Eropa modern adalah ilmu pengetahuan dan tehnik, maka peradapan Islam adalah peradapan Fikih. Dan masing-masing peradapan memiliki karakteristik spesifik. Fikih merupakan murni produk nalar Arab dalam peradaban Islam. Statemen Apologetik guna mengukuhkan orisinalitas fikih ini tentunya memiliki kaki pijak referensial yang mengakar dalam perundang-undangan umat Islam. Menyusuri perkembangan Fikih sendiri mulai dari fase Nabi hingga saat ini telah menggambarkan bahwa Fikih akan selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dan apabila kita kembali menyusuri akar sosiologi fikih maka tilikan sosio-historis terhadap perkembangan fikih sangatlah urgen, sebab “persenggamaan dialektis” antara fikih dengan realitas sosial adalah saling berkaitan dan tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, fikih senantiasa dibuat di tengah-tengah pergumulan konstruk sosio-politik, konteks-partikular, dan ruang lingkup kultur tertentu.
Perkembangan Fikih sendiri telah mengalami berbagai macam periode mulai dari periode kenabian hingga pasca runtuhnya Baghdad (625H/1285M) atau lebih tepatnya periode stagnansi fikih. Runtuhnya Baghdad sendiri, terjadi setelah adanya invansi dua ratus ribu pasukan mongol sehingga menjadikan fikih mengalami masa kejumudan dan mengakibatkan timbulnya konservatisme. Pembantaian terhadap kaum intelektual muslim banyak terjadi sehingga tersebarlah kebodohan yang klimaks dengan “ditutupnya pintu ijtihad”. Madrasah, universitas, dan perpustakaan diporak-porandakan oleh Hulagu Khan yang mulanya hanya kelompok kecil pemburu dan penggembala di padang stepa di utara Cina hingga Siberia. Pasca dijajah bangsa Mongol, islam juga dijajah oleh Napoleon (Prancis), tetapi islam tidak bisa berbuat apa-apa.
Konservatisme ini memunculkan asumsi dogmatis bahwa capaian para sarjana klasik telah sempurna dan up-to-date, sehingga tidak butuh lagi pembaharuan pemikiran. Stagnansi terlihat dari berbagai aktivitas intelektualisme yang hanya berkutat pada penjelasan produk pemikiran lama.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya yaitu; pertama, tertutupnya pintu ijtihad sehingga berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual. faktor kedua yaitu, kodifikasi atas pendapat-pendapat ulama klasik pada masa kekuasaan Abbasiyah. Dan faktor ketiga yaitu, fanatisme dan perselisihan madzhab yang mengakibatkan kemerosotan dinamika ijtihad. Dan akhirnya memunculkan sebuah kajian-kajian yang tidak obyektif pada saat ini. Ini mengakibatkan kian jauhnya Islam dari isu-isu kontemporer (qodhaya al-mu’asyirah) yang berkembang pada masyarakat saat ini.
Fikih yang terbentuk pada zaman sekarang ini terkesan hanya terpaku pada sebuah konteks saja tanpa ada pembaharuan-pembaharuan. Maka apabila tidak adanya suatu pembaharuan-pembaharuan fikih atau dengan kata lain, kita hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik saja tanpa kritisisme maka rancangan bangunan fikih akan menjadi keropos dan tidak dapat untuk memberikan solusi yang baik dalam menghadapi kompleksitas problematika kehidupan yang muncul terus-menerus. Aktualisasi fikih sendiri dilakukan guna tercapainya sebuah Maqhosid al-Syariat yang terlepas dari sebuah pembebekan (taqlid) dan pengambilan pendapat qudama’ tanpa kritisisme.
Pengaruh Adat Istiadat Dalam Memahami Nash-Nash
Beberapa ushuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah fikih. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah ‘al’ddah mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum.
Kita ketahui bersama, bahwa perkembangan zaman telah memunculkan beraneka ragam problematika yang tidak ditemui pada zaman dahulu. Oleh karena itu, peran fikih dalam menyelesaikan problematika tersebut tidak hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik tanpa ada pembaharuan-pembaharuan fikih. Karena fikih yang notabenenya merupakan produk scholarship masa lalu, secara empiris telah terbukti kadaluarsa dalam membendung runyamnya dinamika kehidupan zaman. Kesulitan implementasi konsep klasik ini secara de facto dikarenakan “faktor eksternal” berupa hegemoni barat dan “faktor internal” berupa problem epistemologis-teoritis fikih. Hegemoni Barat sangat dirasakan telah berpengaruh besar terhadap kerepotan implementasi doktrin fikih klasik pada era modern.
Dalam menghadapi tuntutan modern tersebut, para pemikir ‘progresif’ seperti, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Jammal al Banna dan lain-lain, merasa yakin bahwa hukum klasik dengan epistem dan paradigmanya yang konvensional dinilai tidak akan mampu mengatasi dilema ini.
Oleh sebab itu, bagi para pemikir kontemporer, aplikasi fikih secara komprehensif dalam realitas sekarang ini tidak mungkin dilakukan tanpa pembaharuan fikih, sementara pembaharuan fikih tidak dapat direalisasikan kecuali melalui dekonstruksi serta rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma dan epistemologi fikih itu sendiri. Aktualisasi fikih harus dapat kita lakukan guna menghadapi kompleksitas problematika yang terjadi pada zaman sekarang, sehingga terlepas dari asumsi pembebekan terhadap teks klasik tanpa kritisisme. So, dengan aktualisasi fikih ini, maka Islam dapat tampil dengan wajah yang baru sesuai dengan realitas sekarang dan dapat diterima oleh umat pada zaman ini tanpa menghilangkan subtansi budaya Islam itu sendiri.
Seandainya secara kebetulan di dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh para sahabat dan tabi'in terdapat hal-hal yang selaras dengan problematika kontemporer, maka tidak ada salahnya untuk diambil. Namun jika tidak ada yang sesuai dengan persoalan kontemporer, maka harus diselesaikan dengan kesepakatan dalam lingkup batas-batas perjalanan sejarah yang kita lewati. Dengan ini, para intelektual Muslim akan terpacu dalam mengembangkan kajian fikih secara obyektif serta dapat memberikan solusi hukum sesuai dengan tuntutan zaman dan dapat diterima oleh masyarakat sekarang.
Hal tersebut mungkin akan membuat kita secara perlahan-lahan bisa melepas keterkung-kungan terhadap hegemoni barat yang sampai saat ini masih bercokol di segala bidang kehidupan.

Silakan renung dan pikirkan….!!!
Musnadil firdaus/AS(III)

Selasa, 27 September 2011

AGAMA BARU TELAH MUNCUL

Karya ini didedikasikan untuk berupaya membendung faham-faham sempalan dari faham mainstream yang telah ada sehingga menimbulkan kesadaran dalam kehidupan keberagamaan dan kenegaraan Indonesia.
Mayoritas penduduk dunia memiliki agama dengan Tuhan yang berbeda-beda. Dengan berbagai bentuk macam teologinya mulai dari yang terumit hingga yang paling sederhana. Masing-masing mengaku bahwasanya agama mereka adalah agama yang paling benar. Dalam kompleksitas tersebut ternyata muncullah sebuah agama baru yang begitu fundamental yang tertanam secara implisit dalam agama-agama tersebut, dengan teologi yang merupakan perpaduan dari seluruh teologi yang ada di muka bumi. Apakah agama tersebut? Kita seharusnya bisa menjawab dengan gamblang. Namun karena seakan hati kita sudah tertutup hingga kita tidak mampu mengetahuinya. Inilah yang dinamakan agama kekerasan.
Agama yang sebenarnya sudah dianut oleh pemeluk agama eksplisit yang fundamental semacam Islam, Kristen, Katolik, Yahudi maupun yang lainnya walaupun mereka tidak pernah mengetahuinya karena terlalu tertumpu pada teks ayat yang diklaim oleh masing-masing agama sebagai wahyu Ilahiyah yang dalam pemaknaannya dilakukan secara tekstual ataupun karena pemahaman yang kurang terhadap teks. Padahal dalam pemaknaan teks tersebut tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena akan menyebabkan kesalahan yang begitu fatal dan akan mempengaruhi hasil akhir dari sebuah keputusan.
Walaupun dalam kitab-kitab yang mereka klaim sebagai wahyu tersebut menyatakan bahwasanya Tuhan Maha Bijaksana, Maha Adil, Pemurah, Pengasih dan Penyayang namun dalam teks kitab-kitab juga dituliskan berbagai bentuk kekerasan yang secara langsung berasal dari Tuhan atau melalui hamba-Nya sebagai pembenaran atas realitas “Tuhan yang itu”. Dikarenakan begitu banyaknya ayat yang melukiskan kekerasan maka penulis mengambil salah satu dari sekian banyak ayat yang terdapat dalam berbagai teks-teks yang dianggap suci.
1. Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an disebutkan berbagai macam perintah tuhan kepada muslimin (sebutan orang-orang Islam) untuk berjihad di jalan Tuhan seperti yang dilukiskan dalam surat Al Anfal ayat 65 yang artinya kurang lebih seperti ini:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan jika ada 100 orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir tersebut kaum yang tidak mengerti”.
2. Perjanjian Baru (New Testament)
Dalam perjanjian baru disebutkan seperti Matius ayat 25 pasal 45-46: “Berikanlah makan pada yang lapar, pakaian pada yang telanjang, kenyamanan bagi yang sakit dan mengunjungi para tahanan dan terimalah pahala surgawi. Jika kamu gagal melakukannya maka terimalah siksaan yang abadi”. Disini disebutkan bahwasanya tuhan begitu memaksakan kehendak-Nya dengan menyuruh dan mengancam para umat-Nya mencari orang untuk di Kristenkan.
3. Perjanjian Lama (Herbrew Scripture)
Tuhan berbicara kepada Musa, berkatalah, balaslah dendam orang-orang Israel.... kemudian Musa berkata kepada kaumnya, “...perangilah orang-orang Midian, untuk membalaskan dendam Tuhan kita atas orang-orang Midian...” mereka kemudian memerangi orang-orang Midian persis seperti yang diperintahkan kepada Musa. Kemudian orang-orang Israel membunuh laki-laki dari orang Midian dan membiarkan wanitanya untuk hidup dan memakai mereka sebagai rampasan perang. (Bilangan 31:1-3, 7, 9-11, 14-15’ 17-18).
Inilah sekelumit kisah mengenai kekerasan Tuhan khususnya dalam agama semitik dan masih banyak yang lainnya sehingga penulis merasa tidak mampu untuk menuangkannya dalam beberapa halaman saja.
Kisah-kisah seperti inilah yang memengaruhi benak dari orang-orang yang begitu fundamental terhadap agama karena pemaknaan teks-teks suci yang begitu radikal sehingga mengacaukan mainstream dari ideologi keagamaan bahkan mengacu pada kekerasan baik dalam intern maupun antar agama bahkan dalam jangkauannya yang lebih luas dapat mengacaukan sistem ideologi negara seperti yang kita rasakan beberapa tahun belakangan ini di negara kita NKRI mulai dari isu terorisme hingga yang terbaru adalah kasus NII. Dengan dalih perintah dari Tuhan yang dituangkan dalam teks-teks suci mereka mencoba mengubah ideologi yang selama ini digunakan di indonesia dengan ideologi islam dan berusaha menjadikan NKRI menjadi negara Islam dengan cara mengambil sekelumit ayat dalam teks-teks suci untuk digunakan sebagai pembenaran tindakan mereka hingga menjadikan islam khususnya menjadi agama yang merupakan momok bagi kelangsungan hidup bernegara. Seperti kisah yang belakangan ini kerap ditayangkan baik dalam media elektronik maupun media cetak, bahwasanya mereka melakukan segala cara untuk mendoktrin seseorang untuk dimasukkan menjadi anggota mereka bahkan sebagian dari mereka mulai berani melanggar ketentuan hukum Tuhan mulai dari menipu, mencuri hingga membunuh demi terciptanya negara islam indonesia. Apakah ini elok demi terciptanya negara yang berlandaskan Islam malah melenceng jauh dari ketentuan Islam?
Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan Israel, memerangi Palestina dengan sedemikian rupa demi memenuhi janji tuhan atas tanah Palestina. Apakah ini juga elok?
Demikian halnya dengan Amerika yang memposisikan diri sebagai polisi dunia malah dengan sengaja menutup mata atas apa yang telah dilakukan Israel atas Palestina. Polisikah atau penjahitkah?
Begitu banyak kisah-kisah dalam teks-teks suci yang mewakili kekerasan Tuhan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata dikarenakan pemahaman terhadap agama yang terlalu kaku.
Dengan kisah-kisah diatas kini dimanakah letak agama rahmatan lil ‘alamin, agama damai dalam kasih? apakah hanya tinggal slogan belaka?
Bagaimanakah seharusnya membangun hubungan antar agama agar terjadi hubungan yang harmonis?
Yang pertama adalah toleransi, untuk mewujudkan toleransi baik intern maupun antar umat beragama memang sulit diwujudka.n karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks suci yang bahkan perbedaan tersebut dapat mengakibatkan kekerasan (violence) dalam kehidupan keberagamaan Hal ini dapat dikikis dengan cara mendiskusikan masalah-masalah yang terdapat dalam teks suci yang sekiranya rawan terjadi benturan dalam pemaknaannya sampai tuntas. Sementara diskusi-diskusi intern maupun antar agama yang ada pada saat ini tidak pernah mencapai jalan keluar yang memuaskan bahkan cenderung hanya mencapai titik didih dalam perdebatan. Oleh karena itu, tidak pernah ada sikap saling menghargai antar, intern agama maupun dengan instansi pemerintah.
Yang kedua adalah sikap sadar akan pluralisme keberagamaan yang memang tidak bisa dipaksakan satu sama lainnya agar bisa saling berfusi (menyatu) menjadi satu agama, namun kesadaran ini harus ditunjang dengan ideologi pokok yang tertanam dalam teks-teks suci yang secara garis besar menyuruh manusia untuk bersatu dan toleran bukannya menyatu karena pemaksaan hanya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Yang ketiga memahami isi teks-teks suci dengan kaidah-kaidah yang telah ada. Bukannya mengambil ayat hanya asal comot saja tanpa mempedulikan ayat-ayat lain. Karena hal ini akan menyebabkan perbedaan mendasar atas hasil yang akan dicapai. Jadi, untuk lebih amannya dianjurkan mengikuti mainstream keagamaan yang telah ada untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam pemaknaan teks-teks suci.
Yang keempat dan yang terpenting yaitu mengajarkan sejak dini kepada pelajar-pelajar tentang agama secara lebih mendalam agar tidak mudah terpedaya dengan bujuk rayu yang menyesatkan secara kontinyu dan tidak terbatas pada tataran teori namun juga perlu diperhatikan dalam tataran praktik sebagai upaya pertahanan akan faham sempalan yang melenceng dari mainstream keagamaan yang biasanya begitu radikal dalam mengutak-atik teks suci, agar tidak berkembang lebih jauh lagi.
Dengan landasan pokok negara kita yang berhaluan pada Pancasila dan UUD 1945, seharusnya kita mengerti akan ke pluralan kehidupan keberagamaan indonesia sehingga sampai kapan pun kita akan tetap menjadi plural dan tidak bisa memaksakan kehendak sendiri untuk mencapai negara berbasis Islam misalnya. Karena setiap individu memiliki hak untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing sehingga bila dipaksakan hanya akan memicu perpecahan negara.
Silakan Pikir Dan Renungkan.......!!!!
Oleh. Hishna M. Sabiq