logo

logo
buletin

Rabu, 11 April 2012

SIRADJ AL MUSTAQIM FOR US


Kita boleh berbeda pendapat dalam rumah tangga . Tapi kita harus tetap menjaga agar tidak merusak rumah sendiri. jangan membanting piring, merusak pintu, jendela dan sebagainya. Rugi kita, dan rusaklah rumah tangga kita. (KH. Ilyas Ruchiat)
Perbedaan adalah Rahmat Allah  yang paling banyak disalah pahami oleh manusia, padahal tanpa perbedaan, gerak  pemikiran menjadi beku imbasnya peradaban akan berhenti, karena itu tidak ada pilihan lain bagi umat Islam khususnya untuk meramu sebuah formula baru memahami perbedaan secara cerdas dan membangun.
Jika menilik perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tidak ada agama yang lahir di muka bumi tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral (Nabi)  agama tersebut. Di agama Islam sendiri lebih 14 abad silam Nabi Muhammad SAW telah bersabda "Yahudi telah sengketa ke dalam 71 aliran, Nasrani cerai menjadi 72 kelompok, dan umatku pecah 73 kelompok, semua di neraka kecuali satu…". Enam kitab Hadist (Kutubsittah) meriwayatkan sabda Nabi ini, meskipun dengan redaksi yang sedikit berbeda. Dari hadist diatas kaum muslimin seakan punya dua alternatif, tersesat dan berpetunjuk. Bila sesat maka di neraka dan bila berpetunjuk maka di surga, jika hadist tersebut dipahami demikian maka akan menyebabkan dikotomi antar kelompok dalam agama Islam. Dikotomi ini sangat arogan apabila dilakukan oleh sebuah kelompok dengan membuat klaim paling benar dan kelompok lain yang kemungkinan hanya memiliki secuil perbedaan dianggap sesat sekaligus disertai ancaman kekal di jahanam karena perbedaan tersebut. Hanya dengan berbekal satu hadist di atas individu atau kelompok dengan mudah mampu mendata kelompok-kelompok yang ada di agama Islam beserta pengikutnya lalu memasukkan selain kelompoknya dalam deretan kelompok sesat, dengan kata lain individu maupun kelompok tadi  bisa men'sensus' penduduk surga dan neraka jauh lebih awal, sebelum hari pengadilan, yaitu ketika masih di dunia. Pertanyaannya kemudian apakah memang benar hadist Nabi diatas dapat menciptakan jurang pemisah antar kelompok Islam sekaligus menjadi pemicu munculnya klaim antar kelompok untuk memonopoli Siradj Al Mustaqim’  bagi kelompoknya sendiri?
Jawabnya IYA, hadist diatas memang dapat menciptakan peluang bagi setiap kelompok untuk memonopoli siradj al mustaqim’, menganggap kelompok atau individu lain di luar lingkaranya berada pada Siradj (jalan) yang tidak lurus/ Menyimpang. Tidak hanya perbedaan bahkan selamanya hadist diatas akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam berkepanjangan, hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh Abu Hurairah dari Ibnu Amar dari Anas Bin Malik dari Ibn Amr, dan Muawiyah Bin Abi Sufyan itu juga lulus seleksi dengan status  hadits sahih, akan tetapi apabila ditinjau dari asbabul wurudnya apakah benar jika hadist yang disabdakan oleh lidah yang mulia Nabi memang ditujukan sebagai alat sensus untuk pembenaran dan penyesatan antar sesama umat Islam,  diperlukan sebuah pemahaman yang cerdas dan dewasa dari umat Islam bahwa hadist tersebut bukanlah alat justifikasi apalagi instrumen sensus untuk memasukan saudara seimannya didaftar calon penghuni neraka, melainkan sebuah cambuk bagi setiap kelompok untuk berkompetisi menemukan siradj menuju  kebenaran  mutlak Tuhan yang satu. Allah SWT. Selama ini umat masih terjebak pada intrepertasi maqosid al lafdi sehingga maqosidu as syar’i yang menjadi tujuan sebenarnya dari sebuah teks menjadi bias, Imam Abdul Halim Mahmud guru besar Universitas Al Azhar mewanti-wanti agar umat Islam tidak terjebak pada pemahaman exstrim yang dengan mudah memberikan status kafir pada saudaranya seiman, dalam bukunya “At-Tafkir Al-Falsfy Fil islam”, beliau bungkus kata-kata dengan indah untuk menolak pendapat sembrono dan menekankan sikap hati-hati dalam berbicara tentang aliran-aliran Islam karena hal itu menyangkut penjustifikasian terhadap suatu kelompok.
Adapun jumlah 73  kelompok yang terdapat pada hadist di atas beberapa ulama` mencoba untuk menghitung dan mendata sekte-sekte Islam kemudian menjumlahnya menjadi 73, tidak lebih dan tidak kurang, mereka bermaksud menyesuaikan jumlah sekte Islam dengan sabda Nabi dalam Hadits di atas. Beragam apapun warna-warni sekte dalam tubuh Islam jumlahnya harus tetap 73 sekte, dengan segenap usaha mereka mencari perbedaan yang sejatinya tidak berbeda dan kesamaan yang sebenarnya sangat berbeda. Akan tetapi, manusia adalah makhluk terbatas yang tidak bisa melampaui dunianya, artinya mereka hanya bisa menjumlah sekte-sekte yang telah muncul sampai waktu kehidupannya, seiring perjalanan waktu jumlah sekte Islam akan berubah, berkurang atau bertambah. Sederet ulama` berusaha membatasi sekte-sekte Islam dalam jumlah 73, menutup kemungkinan tenggelamnya satu sekte dan munculnya sekte baru, diantaranya Imam As Sahrastaniy (479H- 548H) yang bergelar Imamul Afdhal” (Imam yang paling baik) dengan "Al Milal wa Nihal"nya yang sangat masyhur itu, termasuk di Indonesia KH. Sirajuddin Abbas  ulama kelahiran Padang Sumatra Barat, pengarang buku I’tiqad Ahlissunah Wal Jamaah juga melakukan usaha yang sama. Beliau-beliau ini seakan lupa bahwa dengan masih dibukanya pintu ijtihad serta semangat membawa Islam untuk relevan sepanjang zaman adalah faktor yang memupuk tumbuh-kembangnya aliran dalam Islam. Karena itu usaha untuk membatasi sekte-sekte Islam dalam jumlah 73 saja adalah sesuatu yang sia-sia. Permasalahan 73 aliran kalau kita belajar bahasa dan satra Arab, maka kita akan mendapati beberapa kalimat bilangan (`adad) yang tidak dimaksudkan menunjukkan jumlah bulat, akan tetapi menunjukkan jumlah yang mungkin kurang atau lebih dari angka yang disebut. Misalnya dalam hadits "Al Quran diturunkan dengan tujuh huruf", ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Said Agil Siradj bahwa jumlah 73 bukanlah menunjukkan  jumlah bulat melainkan kisaran.
Namun, sangat disayangkan apabila usaha hitung-menghitung sekte-sekte sesat dan proses saling mengka firkan ini ternyata digemari dari masa ke masa bahkan sekarang ini semakin marak. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa perjalanan sejarah umat Islam belum selesai dan akan terus berjalan, sehingga mungkin sekali satu sekte Islam sirna ditelan masa, namun akan ada sekte-sekte lain yang baru dan jumlahnya lebih banyak. Kemerdekaan berfikir, berijtihad, berkelompok tidak bisa dicegah begitu saja dengan melakukan 'sensus' aliran sesat, sebab perkembangan dan perubahan itu adalah proses yang lazim dalam Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi potensi akal. Hanya saja kita sebagai orang Islam yang beriman sudah seharusnya mengedepankan akhlak, menata lidah dan membersihkan hati dari intervensi ‘setan’ yang bernama dengki agar setiap gerak-gerik yang keluar dari pribadi kita tidak menjadi bisa bagi sesama manusia maupun sesama muslim, apalagi sampai ikut-ikutan menyesatkan orang atau kelompok lain, yang bahkan belum tentu kita kenal ataupun kita teliti secara mendalam terlebih dahulu,  Sabda Nabi:
“Orang Islam adalah orang yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya sesama Islam”.(H.R.Imam Muslim)
Pengkafiran terhadap muslim sangat tidak dibenarkan dalam Islam, kalau hanya karena secuil perbedaan. Islam adalah agama yang penuh tasamuh (toleransi) baik bagi umat Islam sendiri maupun ummat lain. Orang yang jelas-jelas beriman kepada Allah yang satu, mengakui Muhammad SAW sebagai penutup para Rasul dan mengimani risalah yang dibawanya tidak boleh dianggap kafir. Meskipun harus kita akui, memang ada firaq goirul Islam, seperti kelompok Lia Eden, Babiyah, Ahmadiyyah Qadyan, namun dalam kaca mata dakwah kita mengenal istilah ‘gufron lijahli’, karena itu tidak diperbolehkan mengambil tindakan repressif  apalagi dengan mudah menjatuhkan vonis kafir sebelum proses tabayyun .
Yang perlu kita pahami bahwa perpecahan umat Islam yang muncul sejak tahun 40 H bukanlah semata-mata karena perbedaan dalam masalah agama (fiqh dan theology), tapi perpecahan itu sebenarnya berawal dari masalah siyasi (politik), namun seiring perkembangan waktu dan pengaruh fanatisme, masalah yang sederhana itu menjadi problem yang sangat pelik, meluas mencakup masalah aqidah.
Yang diperlukan oleh umat Islam dewasa ini bukanlah saling mencari pembenaran masing-masing kelompok lalu disibukkan oleh urusan saling vonis antar kelompok. Karena sejatinya dalam Islam perbedaan itu bukanlah hal baru dan bukan permasalahan pokok yang perlu dipertentangkan hingga berlarut-larut, bahkan bagaimanapun bentuk perbedaannya tidak perlu dikomparasikan kelompok satu dengan yang lain, karena lebih dari itu setiap kelompok dalam Islam memiliki pekerjaan rumah yang sama, yaitu bagaimana menjadikan Islam - agama revolusioner yang saat kelahirannya di Jazirah Arab mampu membongkar sistem yang telah membusuk  pada zaman itu- tidak sebatas agama yang hanya mengedepankan sikap enjoy ria dibalik topeng ritualitas tapi juga mampu menjadi solusi pemecahan masalah kemiskinan, penghilangan kebodohan,  penegakan keadilan dan memberikan sumbangan bagi peradaban dunia.

Silahkan Pikir dan Renungkan………….
SALAM LEVANTER FRATERNITY…………. 

Oleh: Da’i Robbi/PBA VI


Sumber Bacaan :
A.Muthohar. Teologi Islam. Sleman: Teras.2002
As Syahrastani. Milal wa Nihal. Surabaya : Bina Ilmu 
Sirojuddin Abas. Etikad Ahlussunah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah.1984.


Budi Pekerti Yang Tinggi Adalah Rasa Malu Terhadap Diri Sendiri


Plato