“Kita boleh berbeda pendapat dalam
rumah tangga . Tapi kita harus tetap menjaga agar tidak merusak rumah sendiri.
jangan membanting piring, merusak pintu, jendela dan sebagainya. Rugi kita, dan
rusaklah rumah tangga kita”. (KH. Ilyas Ruchiat)
Perbedaan adalah Rahmat Allah yang paling banyak disalah pahami oleh
manusia, padahal tanpa perbedaan, gerak
pemikiran menjadi beku imbasnya peradaban akan berhenti, karena itu tidak ada pilihan lain
bagi umat Islam khususnya untuk meramu sebuah formula baru memahami
perbedaan secara cerdas dan membangun.
Jika
menilik perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tidak ada agama yang lahir di
muka bumi tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para
pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral (Nabi) agama tersebut. Di agama Islam sendiri lebih
14 abad silam Nabi Muhammad SAW telah bersabda "Yahudi telah sengketa
ke dalam 71 aliran, Nasrani cerai menjadi 72 kelompok, dan umatku pecah 73
kelompok, semua di neraka kecuali satu…". Enam kitab Hadist (Kutubsittah)
meriwayatkan sabda Nabi ini, meskipun dengan redaksi yang sedikit
berbeda. Dari hadist diatas kaum muslimin seakan punya dua alternatif,
tersesat dan berpetunjuk. Bila sesat maka di neraka dan bila berpetunjuk
maka di surga, jika hadist tersebut dipahami demikian maka akan menyebabkan dikotomi
antar kelompok dalam agama Islam. Dikotomi ini sangat arogan apabila
dilakukan oleh sebuah kelompok dengan membuat klaim paling benar dan
kelompok lain yang kemungkinan hanya memiliki secuil
perbedaan dianggap sesat sekaligus
disertai ancaman kekal di jahanam karena perbedaan tersebut. Hanya dengan
berbekal satu hadist di atas individu atau kelompok dengan mudah mampu mendata
kelompok-kelompok yang ada di agama Islam beserta pengikutnya lalu memasukkan
selain kelompoknya dalam deretan kelompok sesat, dengan kata lain individu
maupun kelompok tadi bisa men'sensus'
penduduk surga dan neraka jauh lebih awal, sebelum hari pengadilan, yaitu
ketika masih di dunia. Pertanyaannya kemudian apakah memang benar hadist Nabi diatas
dapat menciptakan jurang pemisah antar kelompok Islam sekaligus menjadi pemicu
munculnya klaim antar kelompok untuk memonopoli Siradj Al Mustaqim’ bagi kelompoknya sendiri?
Jawabnya “IYA”, hadist diatas memang dapat
menciptakan peluang bagi setiap kelompok untuk memonopoli siradj al
mustaqim’, menganggap kelompok atau individu lain di luar lingkaranya
berada pada Siradj (jalan) yang tidak lurus/ Menyimpang. Tidak hanya perbedaan
bahkan selamanya hadist diatas akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam berkepanjangan,
hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh Abu Hurairah dari Ibnu Amar dari Anas
Bin Malik dari Ibn Amr, dan Muawiyah Bin Abi Sufyan itu juga lulus seleksi
dengan status hadits sahih, akan
tetapi apabila ditinjau dari asbabul wurudnya apakah benar jika
hadist yang disabdakan oleh lidah yang mulia Nabi memang ditujukan sebagai alat
sensus untuk pembenaran dan penyesatan antar sesama umat Islam,
diperlukan
sebuah pemahaman yang cerdas dan dewasa dari umat Islam bahwa hadist tersebut
bukanlah alat justifikasi apalagi instrumen sensus untuk
memasukan saudara seimannya didaftar calon penghuni neraka, melainkan sebuah
cambuk bagi setiap kelompok untuk berkompetisi menemukan siradj
menuju kebenaran mutlak Tuhan yang satu. Allah SWT. Selama ini
umat masih terjebak pada intrepertasi maqosid al lafdi sehingga maqosidu
as syar’i yang menjadi tujuan sebenarnya dari sebuah teks menjadi bias,
Imam Abdul Halim Mahmud guru besar Universitas Al Azhar mewanti-wanti agar umat
Islam tidak terjebak pada pemahaman exstrim yang dengan mudah memberikan
status kafir pada saudaranya seiman, dalam bukunya “At-Tafkir Al-Falsfy Fil
islam”, beliau bungkus kata-kata dengan indah untuk menolak pendapat sembrono
dan menekankan sikap hati-hati dalam berbicara tentang aliran-aliran Islam karena
hal itu menyangkut penjustifikasian terhadap suatu kelompok.
Adapun
jumlah 73 kelompok yang terdapat pada
hadist di atas beberapa ulama` mencoba untuk menghitung dan mendata sekte-sekte
Islam kemudian menjumlahnya menjadi 73, tidak lebih dan tidak kurang, mereka
bermaksud menyesuaikan jumlah sekte Islam dengan sabda Nabi dalam Hadits di
atas. Beragam apapun warna-warni sekte dalam tubuh Islam jumlahnya harus tetap
73 sekte, dengan segenap usaha mereka mencari perbedaan yang sejatinya tidak
berbeda dan kesamaan yang sebenarnya sangat berbeda. Akan tetapi, manusia
adalah makhluk terbatas yang tidak bisa melampaui dunianya, artinya mereka
hanya bisa menjumlah sekte-sekte yang telah muncul
sampai waktu kehidupannya, seiring
perjalanan waktu jumlah sekte Islam akan berubah, berkurang atau bertambah.
Sederet ulama` berusaha membatasi sekte-sekte Islam dalam jumlah 73, menutup
kemungkinan tenggelamnya satu sekte dan munculnya sekte baru, diantaranya Imam
As Sahrastaniy (479H- 548H) yang bergelar “Imamul Afdhal” (Imam yang
paling baik) dengan "Al Milal wa Nihal"nya
yang sangat masyhur itu, termasuk di Indonesia KH. Sirajuddin Abbas ulama kelahiran Padang Sumatra Barat,
pengarang buku I’tiqad Ahlissunah Wal Jamaah juga melakukan usaha yang
sama. Beliau-beliau ini seakan lupa bahwa dengan masih dibukanya pintu ijtihad
serta semangat membawa Islam untuk relevan sepanjang zaman adalah faktor
yang memupuk tumbuh-kembangnya aliran dalam Islam. Karena itu usaha untuk
membatasi sekte-sekte Islam dalam jumlah 73 saja adalah sesuatu yang sia-sia.
Permasalahan 73 aliran kalau kita belajar bahasa dan satra Arab, maka kita akan
mendapati beberapa kalimat bilangan (`adad) yang tidak dimaksudkan
menunjukkan jumlah bulat, akan tetapi menunjukkan jumlah yang mungkin kurang
atau lebih dari angka yang disebut. Misalnya dalam hadits "Al Quran diturunkan
dengan tujuh huruf", ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Said Agil
Siradj bahwa jumlah 73 bukanlah menunjukkan
jumlah bulat melainkan kisaran.
Namun,
sangat disayangkan apabila usaha hitung-menghitung sekte-sekte sesat dan proses
saling mengka
firkan ini ternyata digemari dari
masa ke masa bahkan sekarang ini semakin marak. Satu hal yang perlu diingat
adalah bahwa perjalanan sejarah umat Islam belum selesai dan akan terus
berjalan, sehingga mungkin sekali satu sekte Islam sirna ditelan masa, namun
akan ada sekte-sekte lain yang baru dan jumlahnya lebih banyak. Kemerdekaan
berfikir, berijtihad, berkelompok tidak bisa dicegah begitu saja dengan
melakukan 'sensus' aliran sesat, sebab perkembangan dan perubahan itu adalah
proses yang lazim dalam Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi potensi
akal. Hanya saja kita sebagai orang Islam yang beriman sudah seharusnya
mengedepankan akhlak, menata lidah dan membersihkan hati dari intervensi
‘setan’ yang bernama dengki agar setiap gerak-gerik yang keluar dari
pribadi kita tidak menjadi bisa bagi sesama manusia maupun sesama
muslim, apalagi sampai ikut-ikutan menyesatkan orang atau kelompok lain, yang
bahkan belum tentu kita kenal ataupun kita teliti secara mendalam terlebih
dahulu, Sabda Nabi:
“Orang Islam adalah orang yang tangan dan lisannya tidak
menjadi petaka bagi saudaranya sesama Islam”.(H.R.Imam Muslim)
Pengkafiran
terhadap muslim sangat tidak dibenarkan dalam Islam, kalau hanya karena secuil
perbedaan. Islam adalah agama yang penuh tasamuh (toleransi) baik bagi
umat Islam sendiri maupun ummat lain. Orang yang jelas-jelas beriman kepada
Allah yang satu, mengakui Muhammad SAW sebagai penutup para Rasul dan mengimani
risalah yang dibawanya tidak boleh
dianggap kafir. Meskipun harus kita akui, memang ada firaq goirul Islam,
seperti kelompok Lia Eden, Babiyah, Ahmadiyyah Qadyan, namun dalam kaca mata
dakwah kita mengenal istilah ‘gufron lijahli’, karena itu tidak
diperbolehkan mengambil tindakan repressif apalagi dengan mudah menjatuhkan vonis kafir
sebelum proses tabayyun .
Yang perlu kita pahami bahwa
perpecahan umat Islam yang muncul sejak tahun 40 H bukanlah semata-mata karena
perbedaan dalam masalah agama (fiqh dan theology), tapi perpecahan itu
sebenarnya berawal dari masalah siyasi (politik), namun seiring
perkembangan waktu dan pengaruh fanatisme, masalah yang sederhana itu
menjadi problem yang sangat pelik, meluas mencakup masalah aqidah.
Yang
diperlukan oleh umat Islam dewasa ini bukanlah saling mencari pembenaran
masing-masing kelompok lalu disibukkan oleh urusan saling vonis antar kelompok.
Karena sejatinya dalam Islam perbedaan itu bukanlah hal baru dan bukan
permasalahan pokok yang perlu dipertentangkan hingga berlarut-larut, bahkan
bagaimanapun bentuk perbedaannya tidak perlu dikomparasikan kelompok
satu dengan yang lain, karena lebih dari itu setiap kelompok dalam Islam memiliki
pekerjaan rumah yang sama, yaitu bagaimana menjadikan Islam - agama revolusioner
yang saat kelahirannya di Jazirah Arab mampu membongkar sistem yang telah membusuk pada zaman itu- tidak sebatas agama yang
hanya mengedepankan sikap enjoy ria dibalik topeng ritualitas tapi juga
mampu menjadi solusi pemecahan masalah kemiskinan, penghilangan kebodohan, penegakan keadilan dan memberikan sumbangan
bagi peradaban dunia.
Silahkan Pikir dan Renungkan………….
SALAM LEVANTER FRATERNITY………….
Oleh: Da’i Robbi/PBA VI
Oleh: Da’i Robbi/PBA VI
Sumber Bacaan :
A.Muthohar. Teologi Islam. Sleman: Teras.2002
As Syahrastani. Milal wa Nihal. Surabaya : Bina
Ilmu
Sirojuddin Abas. Etikad Ahlussunah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah.1984.
Sirojuddin Abas. Etikad Ahlussunah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah.1984.
“Plato”