logo

logo
buletin

Senin, 25 April 2011

Tafsir Ala Gender

Dalam kitab Injil diceritakan setelah Hawa merayu Adam untuk makan buah terlarang lalu keduanya dihukum oleh Tuhan karena melanggar larangan Tuhan, Tuhan berfirman kepada Hawa “kepada wanita itu Ia berfirman, “Aku akan menambahkan banyak kesakitan pada kehamilanmu, dengan nyeri bersalin engkau akan melahirkan anak, dan engkau akan memiliki keinginan yang kuat terhadap suamimu, dan ia akan menguasai engkau” (kejadian 3:16). Menurut logika Injil di atas rasa sakit yang di derita wanita ketika hamil dan melahirkan disebabkan oleh dosa kesalahan nenek moyang kita yaitu Hawa. Hasrat seksualitas yang besar yang ada pada wanita juga disebabkan oleh dosa beliau karena merayu Adam untuk memakan buah terlarang. Dan juga bahwa Adam akan menjadi penguasa atas dirinya. Hal ini membuat posisi wanita menjadi terbatas dalam kehidupan, karena wanita hanya menjadi bagian dari kebutuhan yang ada pada laki-laki.
Pada era modern ini, banyak aktivis gender yang berusaha untuk mendobrak anggapan itu. Mereka berusaha untuk menyamakan derajat wanita yang di anggap lebih rendah derajatnya dari kaum laki-laki. Usaha itu setidaknya membuahkan hasil karena tidak sedikit peran yang dulu hanya untuk laki-laki kini telah menjadi hal yang biasa dilakukan oleh wanita. Ini menandakan bahwa eksistensi wanita semakin diakui serta derajatnya kembali terangkat.
Walaupun emansipasi wanita yang selama ini telah menuai hasil yang positif, tetapi menurut Riffat Hassan masih ada anggapan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Mengapa perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki? hal itu disebabkan oleh adanya anggapan dalam agama sebagai berikut: (1) bahwa ciptaan Tuhan yang pertama ialah laki-laki (Adam) bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam; (2) bahwa perempuan dilukiskan sebagai penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai kejatuhan atau pengusiran manusia dari surga. Oleh karena itu, semua anak perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik; (3) bahwa perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat pelayan dan tidak memiliki makna yang mendasar. Asumsi-asumsi tersebut menurut Riffat disebabkan adanya pengaruh tradisi Kristen dan Yahudi serta kepustakaan hadits termasuk Sahih al-Bukhari dan Muslim yang diakui oleh Muslim Sunni sebagai sumber yang otoritatif setelah al-Qur’an.
Oleh karena itu, menurut Riffat Hassan perlu dilakukan kajian kritis dan tafsir ulang kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits. Sebab teks-teks itu kebanyakan hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias patriarkhi. Menurut al-Qur’an yang dipahami Riffat Hassan, posisi perempuan dengan laki-laki sebenarnya adalah setara, bukan di bawah laki-laki. Menurut al-Qur’an keduanya diciptakan sebagai makhluk yang setara yang menginginkan hidup dalam harmoni dan kesalihan bersama. Riffat mengutip ayat-ayat al-Qur’an antara lain: al-Baqarah: 187, Ali Imran: 195, an-Nisa’: 124, al-Ahzab: 35. Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini diinterpretasikan oleh para mufasir dan cenderung menguatkan system dominasi laki-laki, Riffat Hassan mencoba menafsirkan kembali seperti surat An-Nisa’ ayat 34 dan al-Baqarah ayat 228. Ayat yang berbunyi ar-rijal qawwamuna ala an-nisa’, kata qaawamjika diartikan sebagai pelindung, pemelihara atau penguasa akan mengimplikasikan bahwa perempuan itu tidak setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, Riffat menolak penafsiran itu. Menurutnya secara linguistik qawwam berarti pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung bagi kehidupan.
Menurut catatan sejarah, Riffat Hassan adalah seorang feminis muslimah kelahiran Lahore, Pakistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara jelas. Namun yang pasti dia dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas. Ayah dan ibunya merupakan keluarga terkemuka di kota itu. Ayahnya, Begum Shahiba, demikian orang-orang memanggilnya ialah seorang tradisionalis dan patriarkhal di daerah itu. Sedangkan ibunya mempunyai pikiran yang berseberangan dengan ayahnya, bahkan dapat dikatakan sebagai feminis “radikal” sebagaimana dikatakan oleh Riffat sendiri. Terbukti ia sangat keras menolak terhadap praktek-praktek patriarkhi yang ada dalam keluarga dan masyarakatnya. Ibunya sangat berminat terhadap gerakan pembebasan kaum perempuan dari keterkungkungan chardewari (empat dinding) rumah tangga. Kondisi sosial budaya masyarakat Pakistan waktu itu menganut sistem masyarakat patriarkhi dan lebih mencerminkan male domination.
Pendidikan tinggi diperoleh di Inggris (St. Mary’s College University of Durham) jurusan sastra Inggris dan filsafat. Pada usia 24 tahun yang masih relatif muda Riffat sudah berhasil mengantongi gelar doktor dibidang filsafat Islam dengan disertasinya tentang filsafat Muhammad Iqbal sebagai penyair dan filosof Pakistan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika dalam beberapa pandangannya ia mirip dengan pemikiran Iqbal. Salah satu karya Riffat Hassan adalah Women Living Under Muslim Laws. Dari karya itulah Riffat diakui oleh banyak kalangan sebagai pemikir feminis yang telah memberikan kontribusi besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.

Metodologi Tafsir Berwawasan Gender
Salah satu upaya melakukan reinterpretasi al-Qur’an, yang mutlak untuk diingat dalam menafsirkan al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat yang ada di dalamnya sangat beragam sifatnya. Untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dipandang “steril” dari bias gender, Riffat Hassan mencoba menawarkan konstruksi metode penafsiran baru yaitu metode historis-kritis-kontekstual. Adapun cara kerja metode ini ialah pertama, dengan memeriksa ketepatan makna kata atau bahasa (language accuracy), yaitu dengan melihat terlebih dahulu secara kritis sejarah kata dan akar katanya sesuai konteks pada waktu itu.
Selanjutnya Riffat melihat dengan analisis semantiknya (yang berkaitan dengan arti kata), bagaimana konteks saat itu dan bagaimana kondisi sosio kulturalnya. Kedua, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada. Ketiga, prinsip etis dengan didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari Justice of God.
Lalu apa tolok ukur kriteria keadilan? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu Pertama, tidak ada jenis kelamin yang tersubordinasi oleh yang lain. Kedua, tidak ada marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi atau menutup kesempatan. Ketiga, bebas dari cara pandang yang sebenarnya hanya mitos. Keempat, tidak ada yang menanggung beban lebih berat dari yang lain.
Sebagai implikasinya Riffat Hassan menolak penafsiran model linguistik-literalistik, dalam arti harfiah. Sebab, setiap kata dan ayat dalam al-Qur’an mempunyai berbagai pengertian tergantung konteks, fokus dan tempatnya. Di samping melihat sejarah kala itu, Riffat juga melihat bagaimana sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu.
Di samping itu, Riffat juga menggunakan metode dekonstruksi, dalam arti dia berupaya mendekonstruksikan penafsiran - penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dinilai telah bias patriarkhi. Pendekatan yang dipakai Riffat Hassan ada 2 level. Pertama, pendekatan ideal approach yakni dengan melihat bagaimana al-Qur’an secara normatif menggariskan prinsip-prinsipnya. Kedua, empirical approach dengan cara melihat dan mempertimbangkan kondisi empiris yang menyejarah di masyarakat.
Dalam perspektif gender, apa yang dilakukan oleh Riffat Hassan tersebut bisa dijadikan rujukan bahwa sebenarnya wanita punya potensi yang lebih besar di balik kelembutan yang diperlihatkanya dalam kehidupan sehari-hari.


Silakan Pikir & Renungkan......!!!


oleh: M. Andy syahfirman, AS/IV


“Elemen terpenting dalam diri kita bukan pada otak, namun pada apa yang menuntun otak kita kepribadian hati dan ide-ide progresif“

Fyodor dostoyevsky

Senin, 18 April 2011

Filsafat Yunani dalam Islam

Pemikiran Yunani termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu setelah penaklukan tentara muslim yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibnu Khattab. Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dari berbagai ilmu Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Bani Ummayah, khususnya pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar menemukan tempatnya dalam konstelasi pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abbasiyah, khususnya sejak dilakukan program penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun; suatu program yang oleh Abed Al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi Burhani Yunani dengan epistemologi Bayani Arab. Selanjutnya metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh Al-Kindi. Dalam kata pengantar buku ‘Filsafat Pertama’ (al-Falsafat al-Ûla) yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim, al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam. Utamanya mengenai kesejajaran antara pengetahuan manusia dan wahyu, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, adakah hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin dikenal dalam sistem pemikiran Arab-Islam pada masa al-Razi. Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi, dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk. Setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan ilmu-ilmu Yunani yang demikian pesat, berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas, bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibnu Hanbal, salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepimikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machianisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibnu Rawandi. Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syari’at-syari’at yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal. Menurutnya akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi. Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan:
1) Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka,
3) Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibnu Hanbal terhadap ilmu-ilmu
Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al- Mutawakkil. Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks
(salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Mu’tazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi‘revolosi’. Orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Terkena tindakan keras yang resmi pemerintah tersebut, filsafat mengalami kemunduran karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, seperti al-Farabi. Tokoh yang dikenal sebagai filosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwâl). Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama, teologi (ilm al-kalâm) dan yurisprodensi (fiqh) yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa.
Dalam waktu yang tidak cukup lama, filsuf besar yang bernama Ibnu Sina (Avicena). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibnu Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme dan digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibnu Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut ‘akal’, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibnu Sina kemudian diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).
Setelah Ibnu Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina, meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes dan Heraklitos yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat (burhani). Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjatul Islâm’ telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim,sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (Averous). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena balasan yang diberikan Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibnu Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.
Meski sekarang filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tradisi keilmuan pada masa itu telah menjadikan peradaban Islam lebih dikenal di dunia barat. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya orang-orang barat pada masa itu yang belajar di dunia Islam. Tetapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya, umat Islam sekaranglah yang belajar kepada dunia barat. Ini adalah fenomena yang lazim kita temui dalam tradisi intelektual Islam mutakhir. Meski demikian, tidak sedikit para intelektual muslim yang berusaha mengangkat kembali tradisi keilmuan timur yang telah redup. Seperti yang dirintis oleh Hassan Hanafi, dia berusaha mengembalikan kepercayaan diri dunia timur yang telah mengalami Westernisasi. Dengan studi Oksidentalisme-nya, di harapkan posisi dunia timur yang selama ini dijadikan objek kajian dan posisi barat yang menjadi subjek bisa berubah bentuk relasi-nya. Ikhtiar ini sekalipun terlihat utopis dan ambisius, merupakan tawaran menarik bagi alam keilmuan (kefilsafatan) timur. Apa yang di lakukan oleh Hassan Hanafi tersebut seharusnya bisa menjadi tawaran yang menarik untuk bisa menyadarkan generasi muslim selanjutnya untuk mengkaji ilmu yang lebih mendalam, sehingga Islam mengalami kejayaan intelektual kembali.

Silakan Pikir & Renungkan......!!!

Musnadil Firdaus, AS/II

Senin, 11 April 2011

DANCOK!!!

Dancok! pasti semua teman mahasiswa pernah mendengarnya, suatu istilah yang sering dipakai orang ketika marah, benci, stress, bahkan latah. Saya pernah mendengar kata itu dalam beberapa versi ada yang mengucapkan dancok, gancok, jancok dan mungkin masih ada beberapa istilah lain yang mirip dengan kata tersebut, tetapi semua mempunyai maksud yang sama. Di kampus kita STAIN saya sering mendengar kata-kata ini keluar dari percakapan mahasiswa yang mayoritas dari mahasiswa laki-laki dan beberapa kali mendengar dari mahasiswa cewek, pernah juga saya dengar dari seorang dosen yang sedang kesal gara-gara mati lampu.
Saya tidak tahu pasti asal-usul istilah ini dimasyarakat. Akan tetapi, ada sebuah riwayat (tidak tertulis) dari pendidikan Pondok Pesantren yang mengatakan bahwa asal kata dancok berasal dari dua kata dalam bahasa arab yang asalnya adalah da’ dan su’ yang artinya masing-masing adalah da’ yang berarti “tinggalkanlah’’ dan su’ yang berarti “keburukan/kejahatan’’. Jadi bila dirangkai dalam satu kalimat akan berarti “tinggalkanlah keburukan/kejahatan’’. Jika kita mengikuti logika ini, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kata dancok ini mempunyai makna doa dan harapan atau perintah akan kebaikan (amar ma’ruf nahy munkar). Dan jika kita telaah selama ini memang sering sekali kata-kata ini muncul ketika seseorang yang mengatakannya dalam situasi dan kondisi yang sedang tidak baik seperti ketika terjatuh, celaka, telat bangun tidur, dapat nilai jelek dari dosen dan kondisi-kondisi buruk lainnya. Bila seorang mahasiswa mendapat nilai C dari dosen lalu dia mengatakan dancok…! sebenarnya itu adalah sebuah doa dan harapan bagi si mahasiswa agar dia bisa meninggalkan keburukan mendapat nilai C. Begitu juga ketika seseorang terjatuh maka dengan otomatis diaakan segera berdoa dancoook…! Dengan harapan agar dia tidak celaka lagi di lain waktu. Entah mulai kapan kata dancok sering diidentikkan dengan kata-kata kotor yang tidak baik.
Dalam analisis bahasa strukturalis yang dikenalkan oleh seorang Profesor Bahasa Ferdinand De Sausure, sebuah kata/tanda dibagi menjadi dua bagian yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citra akustik yang dapat diucapkan oleh tiap subyek penutur, sedangkan petanda adalah konsep yang diinginkan atau yang dimaksud oleh sipenutur. Gambaran konsep petanda hanya bisa dirasakan secara mental dalam pikiran penutur. Lebih jelasnya seperti dalam contoh berikut; bunga yang kita lihat di sekitar pemakaman mempunyai arti belasungkawa, sedangkan bunga yang kita lihat di sekitar pesta mempunyai arti ucapan selamat. Bunga adalah signifer yang bisa diucapkan, ditulis atau sebuah tanda yang bisa dibawa dan diletakkan dimanapun, sedangkan pemahaman dan maksud dari tiap-tiap golongan adalah signified. Signified bunga di pemakaman berbeda dengan signified bunga di tempat pesta. Signified bunga di pemakaman adalah belasungkawa, Signified bunga di tempat pesta adalah ucapan selamat. Tiap hubungan antara penanda dan petanda mempunyai perbedaan bentuk dalam tiap- tiap organisasi masyarakat atau budaya.
Contoh lain:
Apple (penanda/signifier) => nama buah (petanda/signified)
Apple (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => alat komunikasi (petanda/signified)
Hp (penanda/signifier) => merek laptop (petanda/signified)
Penanda dan petanda saling berhubungan dalam setiap kegiatan berbahasa. Penanda/suara tanpa adanya petanda/makna akan seperti sebuah igauan orang tidur. Begitu juga sebaliknya, petanda/makna/maksud tidak akan dapat sampai tanpa adanya penanda/suara/ucapan.
Bila konsep strukturalisme bahasa tersebut kita kembalikan kebahasan dancok di atas, maka akan dengan mudah kita dapat menemukan maksud dan tujuan dari kata dancok tersebut. Bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya, kata dancok tidak mempunyai makna negative. Berbeda dengan masyarakat jawa tengah yang menilai kata dancok sebagai kata-kata kotor yang tidak boleh diucapkan, lebih-lebih lagi bila kita kaitkan dengan logika doa yang telah dijelaskan di atas. Kata dancok adalah sebuah doa yang tidak ada bedanya dengan ucapan bismillah sebelum kita makan atau rabbana aatina ketika selesai shalat, bila dirumuskan akan menjadi:
Dancok (penanda/signifier) => makna biasa (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna negatif (petanda/signified)
Dancok (penanda/signifier) => makna do’a (petanda/signified)
Tinggal bagaimana kita dan lingkungan kita memahami kata tersebut. Walaupun begitu tanda dan bahasa tidak bisa berdiri sendiri, ada kesepakatan sosial di dalamnya yang kita tidak bisa dengan mudahnya mengganti tanda dan bahasa yang sudah berlaku dimasyarakat. Seperti simbol timbangan bisa bermakna keadilan bagi mahasiswa akhwal Asy-Syakhsiyyah (AS), berbeda dengan pemahaman mahasiswa Muamalah (MU) yang memahami timbangan sebagai pegadaian.
Yang Islami
Sebagai umat Islam dan hidup di lingkungan berstatus Islam (Sekolah Tinggai Agama Islam Negeri) bagaimanakah pemahaman Islam yang selama ini kita pahami. Bagaimana hubungan antara penanda dan petanda dalam kehidupan Islami kita sehari-sehari. Apakah petanda dan penanda dalam kehidupan Islam kita sudah terpikirkan.
Bila kita bahas satu persatu penanda dan petanda tersebut akan banyak sekali hal yang harus diperdebatkan, kita ambil satu contoh tentang pakaian;
1. Bagaimanakah petanda pakaian yang menunjukkan penanda Islami?
2. Apakah kode etik kampus dilarang menggunakan celana pensil/ketat bisa dijadikan sebagai petanda untuk menunjukkan penanda Islami?
3. Bagaimana dengan pemahaman yang mengatakan penanda Islami adalah petanda pakaian yang berbentuk jubah?
4. Bagaimana dengan pendapat lainnya dengan petanda menutup seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan sebagai penanda Islami?
5. Apakah pakaian putih dan menggunakan serban bisa menjadi petanda yang menunjukkan penanda Islami sedangkan celana jins sebagai petanda dari penanda kafir?
Silakan teman-teman menilai pertanyaan-pertanyaan di atas menurut pendapat pribadi masing-masing. Yang pasti semua hal dalam kehidupan manusia akan selalu ada pemisahan antara penanda dan petanda tinggal bagaimana kita menilainya. selanjutnya bagaimana bila kita selepas shalat lalu berdoa berulang-ulang mengucapkan “Dancok, Dancok, Dancok.....” .

Teori tentang asal usul bahasa
Teori mama. Bahasa dimulai dengan suku kata yang paling mudah disematkan pada objek-objek yang paling signifikan.
Teori Pooh-Pooh. Bahasa dimulai dengan kata seru, teriakan emosi yang ingstingtif, seperti “oh!” untuk rasa terkejut dan “aduh!” untuk rasa sakit.
Teori Ding-Dong. Sebagian orang termasuk linguis terkenal, Max Muller,menunjukkan bahwa ada sebuah kesesuaian yang agak misterius antara suara dan makna. Hal-hal yang kecil, tajam dan tinggi cenderung mempunyai kata-kata dengan huruf vokal yang tinggi di banyak bahasa, ketika hal-hal yang besar,rendah dan berentetetan cenderung untuk bergerak di huruf vokal belakang. Bandingkan bisty teeny weeny dengan moon, misalnya. Ini sering dirujuk dengan simbolisme suara.
Teori Yo-He-Ho. Bahasa dimulai dengan nyanyian yang bersifat ritmik, mungkin saja dari dengkuran para pekerja berat. Linguis D. S. Diamond menunjukkan bahwa ini mungkin yang disebut bantuan atau kerjasama yang di sertai dengan isyarat yang sesuai.ini mungkin yang menghubungkan teori yo-heho denan teori ding-dong, misalnya dalam kata-kata seperti, potong, patah, hancur, tabrak dan sebagainya.
Teori Bow-Wow. Bahasa dimulai sebagai imitasi dari suara-suara alam—moo, choo-choo, suara tabrakan, suara bel, suara desis, suara dentuman, suara meong dan sebagainya. Secara teknis ini lebih mengacu pada onomatopoeia atau echoisme.


Silakan Pikir dan Renungkan !

oleh: Lukman Hakim TH/VIII

Selasa, 05 April 2011

The Power Of Santri (Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban)


Seiring dengan arus dinamika zaman, definisi dan persepsi terhadap kaum santri menjadi berubah pula. Kalau pada awalnya kaum santri diberi makna dan pengertian sebagai orang yang menimba ilmu-ilmu agama Islam dengan sistem pengajaran yang tradisional dan klasik atau sekumpulan orang-orang yang mukim dalam sebuah asrama (pondokan), dan masa belajarnya membutuhkan kurun waktu yang cukup lama, sampai santri-santri tersebut benar-benar matang menyerap semua ilmu yang telah di pelajarinya dan siap untuk terjun langsung di masyarakat. Tetapi sekarang definisi dan persepsi tentang kaum santri sebagaimana dijelaskan diatas tidak lagi benar.
Secara umum, perlu diberikan suatu keseragaman pengertian tentang kaum santri. Mengapa? Karena sesuai dalam perkembangannya di dalam bangsa ini, kaum santri tidak lagi identik dengan definisi dan persepsi klasik seperti disebutkan diatas. Kaum santri sekarang sudah mempunyai kekuatan besar (big power) dalam menjadikan bangsa ini lebih bermartabat, berjati diri, serta berkarakter.
Dengan bermodalkan “3H” bentuk keterampilan, yaitu: “H” pertama, Head artinya kepala, maknanya mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan, “H” kedua, Heart artinya hati, maknanya mengisi hati santri dengan iman dan taqwa (IMTAQ), dan “H” yang ketiga, adalah Hand artinya tangan, maknanya kemampuan bekerja. (Daulay, 2004: 26). Kaum santri sangat mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin di bangsa ini. Untuk menjadikan masyarakat bangsa ini, menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani yaitu masyarakat yang pernah ada dalam sejarah keemasan Islam, yang dalam tatanan kehidupan masyarakatnya berperadaban tinggi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang mempunyai lima ciri dalam tatanan hidupnya, 1) Masyarakat Rabbaniyah, yaitu semangat berketuhanan yang berlandaskan aqidah, syari’ah, dan akhlak. 2) Masyarakat yang demokratis, yaitu di mana Rasulullah dan para sahabatnya mentradisikan musyawarah dalam segala persoalan. 3) Masyarakat toleran, yaitu masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik. Dengan mempersatukan berbagai kalangan dan etnik ini, akan tercipta persatuan dan kerjasama yang erat. 4) Berkeadilan, karena begitu pentingnya keadilan dalam sebuah tatanan hidup masyarakat, sampai-sampai Al-Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati taqwa. (QS. Al-Maidah: 8). 5) Masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang di tegakkan Rasululloh dalam membangun masyarakat Madinah.
Sehingga penerapan masyarakat berilmu ini begitu urgen dalam memberantas buta huruf (aksara) di kalangan umat Islam. (Daulay, 2004: 33). Kita ketahui bersama, dengan kehadiran “kekuatan santri” dalam kancah perpolitikan nasional, mampukah mereka mewarnai kembali peradaban nusantara dalam membangun kekuatan bangsa dan dapat menjadi rahmatan lil ‘alamien bagi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menyentuh ke seluruh wilayah negeri ini?.
Menilik pada fenomena yang terjadi sejak akhir dekade 1990-an hingga sekarang, kaum santri memiliki tawaran politik yang lebih konkrit, realistis, yakni melakukan pergeseran dari sekedar terlibat dalam dataran ideologis ke arena politik praktis dan berusaha membawa Islam ke dalam “lingkungan kekuasaan (power)”. Mungkin sebagian orang akan tertawa apabila mendengar kaum santri bermain politik, berkecimpung dalam tatanan ekonomi bangsa, mengadakan hubungan dengan berbagai etnik dalam masalah kehidupan sosial (pluralitas), ikut mengenalkan khazanah budaya negeri ke negara-negara lain, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK). Namun, itu semua tidak menjadi kendala dan pemutus semangat bagi mereka dalam mengikuti kancah pergumulan politik di dalam negeri.
Asumsi orang-orang yang mendoktrin kaum santri sebagai orang yang ketinggalan zaman dan gaptek (gagap tekhnologi) hanyalah wacana dan anggapan omong kosong belaka. Bahkan mungkin sebaliknya, mereka yang mendoktrin seperti itu adalah kaum-kaum jahiliyah yang dengki terhadap kehidupan kaum santri. Menurut keyakinan Penulis, apabila kaum santri menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, akan mempunyai peran penting dalam menjadikan masyarakat bangsa ini masyarakat madani. Substansi dari pendidikan kaum santri adalah pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu) yang tentu dibarengi dengan iman dan taqwa, dan juga wawasan ilmu pengetahuan yang luas.
Ada sebuah adagium yang menarik dikalangan kaum santri dalam masalah pendidikan, yaitu jadilah santri yang intelek, bukan cerdas dulu baru intelek karena kebanyakan dari orang cerdas lebih dulu baru intelek, kehilangan hati nuraninya (dlomir). Ia tidak lagi mengenal siapa dirinya sebenarnya? Untuk tujuan apakah pendidikan yang telah ia capai? Serta apa itu substansi dari pendidikan?. Sebaliknya orang yang intelek dulu sudah pasti cerdasdan ia tidak akan pernah lupa hakikat dari substansi pendidikan yaitu pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu). Apabila hatinya bersih, maka tingkah laku, gerak-gerik, dan semua tindak-tanduknya sudah pasti baik. Begitu pula sebaliknya, apabila hatinya kotor akan lebih banyak mendatangkan kejelekan dan kemudlorotan. Rasulullah Saw. Bersabda: “Innamal A’malu Bin Niyat Wa Innama Likulli Imriin Maa Nawaa”, kurang lebih terjemahan bebasnya ialah “Sesungguhnya segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap segala perkara itu tergantung pada apa yang diniatkan”. Santri berpolitik adalah santri yang mengaktualisasi dalam wilayah politik, atau santri yang terlibat dalam kelembagaan politik. Kaum santri dalam berpolitik mengikuti politik yang dipakai oleh Rasulullah dalam memimpin umat Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi (dalam arti luas). Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tentang bernegara dan bermasyarakat, diantaranya: musyawarah¸ ketaatan kepada pemimpin, keadilan, dan persamaan.
Dengan sistem politik tersebut, Rasulullah Saw berhasil menjadikan umat Islam masyarakat yang sangat berperadaban, yaitu masyarakat madani. Perlu difahami bahwa, cara politik Rasulullah (politik Islami) ini tidak harus diartikan secara formal, misalnya dengan mendirikan negara Islam, khilafah Islamiah, atau partai-partai Islam karena secara historis, nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyebut negara Islam, yang ada hanyalah negara Madinah (madani). Apakah Saudi Arabia yang mengklaim sebagai negara dengan ideologi Islam pantas disebut negara yang lebih Islami daripada Indonesia?
Santri berekonomi, mendengar kalimat tersebut bukan lagi barang baru yang ada di dalam kehidupan kaum santri. Sudah banyak lembaga-lembaga pesantren yang membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu berwirausaha (enterpreuneurship). Bahkan ada sebuah pesantren di desa Nglaren, Yogyakarta yang berslogankan “Mengaji Menuju Santri Enterpreuneur”. Disamping para santri belajar ilmu-ilmu agama, mereka juga belajar dan di ajari tentang ilmu-ilmu sistem perekonomian Islam (Muamalah). Selain itu, kaum santri juga disiapkan untuk menjadi SDM yang berkarakter nubuwwah, yaitu: memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai (fathonah), memiliki integritas terhadap penegakan kebenaran (shiddiq), memiliki kepekaan terhadap perubahan keadaan, informatif dan komunikatif (tabligh) dan memegang teguh komitmen yang telah direncanakan dan disepakati (amanah). Melihat perkembangan ekonomi dunia yang masih belum stabil pertumbuhannya hingga saat ini, ternyata sistem perekonomian yang berbasiskan Islam (Muamalah) lebih eksis dan bahkan semakin menjulang tinggi pertumbuhannya. Ini menandakan sistem perekonomian Islam (Muamalah) merupakan sistem yang sangat efektif apabila digunakan untuk tatanan perekonomian bangsa. santri bersosial mungkin semua orang sudah mengetahuinya, bagaimana dan seperti apa kehidupan kaum santri dalam kesehariannya? Di pesantren manapun, di desa ataupun di kota, lembaga-lembaga pesantren selalu mendidik para santrinya untuk hidup bersosial antar sesama. Sebagaimana kata Gus Dur, pesantren adalah sebagai lembaga integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial karena pesantren seperti dunia akademik dan memiliki ciri khas tersendiri. Ikut bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang dan berdampak negative, bagi kelangsungan hidup manusia.
Pesantren juga, menanamkan pada santrinya dengan nilai-nilai yang memiliki cita sosial yaitu nilai keadilan, perdamaian, kejujuran, tanggung jawab dan membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat. Bourdieu mengungkapkan bahwa dalam praktek sosial terdapat konsep yang menggerakan suatu tindakan sosial, yaitu habitus dan field, yang didukung oleh kekuasaan simbolik, strategi, dan perjuangan. Dalam bidang kebudayaan, santri mempunyai andil besar dalam memahami nilai-nilai budaya bangsa karena mereka mengetahui potret perjalanan pesantren di Indonesia. Islam berkembang di dalamnya dengan perantara khazanah budaya-budaya yang ada di Indonesia. Pesantren dikenal sebagai “counter culture”, maka semestinya pesantren mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan ciri khas budaya yang bersifat dinamis dan statis. Para santri juga dituntut untuk ikut mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan ciri khas budaya tersebut. Disinilah wadah untuk memastikan, apakah kaum santri bisa mengikuti modernitas di era globalisasi ini dengan tetap berpegang kepada khazanah budaya bangsa?. Untuk itulah “The Power of Santri” (Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban) menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti dan diketahui.
Melihat keadaan bangsa yang tak kunjung selesai ditimpa masalah-masalah dengan peran serta kaum santri diarena perpolitikan bangsa, mampukah mereka merekonstruksi, mereaktualisasi, dan mereposisi di hadapan kekuatan-kekuatan lain dalam menciptakan bangsa yang madani, yaitu menjadikan Indonesia yang agamis, bermoral dan berkeberadaban.

Silahkan Pikir & Renungkan……..!!!

oleh: Akhsan wafi (PAI/VIII)

SEBAB AKIBAT

levanterfreternity@yahoo.co.id
D
alam kehidupan sehari-hari kita tentunya sudah mengenal dan paham dengan teori sebab-akibat. Pendidikan tentang sebab-akibat kita lalui dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari kita kecil sampai dewasa saat ini. Seperti contoh, ketika kita masih kecil kita dilarang main hujan-hujanan karena dikhawatirkan nanti bisa sakit, kita dilarang main pisau karena khawatir terluka, kita harus makan tepat waktu agar sehat. Pada saat dewasa pun maindset sebab-akibat masih sering diajarkan dan kita terapkan tanpa kita sadari. Seperti ketika kita sakit lalu pergi ke dokter, kita diberi obat dan injeksi agar sembuh. Bekerja keras agar mendapatkan gaji/uang yang banyak. Dalam dunia mahasiswa sebab-akibat dipraktekkan seperti dalam contoh rajin kuliah, tidak pernah absen, menggunakan sepatu, mengerjakan tugas dan datang tepat waktu. Semua itu dilalui dengan harapan adanya suatu-akibat, yaitu cepat lulus kuliah dengan IP tinggi, minimal tiga koma agar dapat mudah diterima bekerja dan mendapat uang.
 Dalam contoh sehari-hari di atas sering atau bahkan selalu dipahamai bahwa sebab akan selalu menjadi akibat, dengan rumus persamaan sebab à akibat. Hujan-hujanan à sakit, main pisau à terluka, obat
à sembuh, lulus kuliah à kerja/uang.
Kausalitas atau teori sebab-akibat sebenarnya mempunyai banyak pendapat dalam sejarah pemikiran manusia. Hal yang sepertinya dianggap sepele, tidak terlihat mempunyai makna yang rumit dan sulit, ternyata itu telah menjadi perdebatan filsafat sejak dahulu kala. Dalam dunia pemikiran Islam perdebatan tentang teori sebab-akibat ini sampai membawa pada fatwa “kafir” bagi orang atau golongan yang tidak sependapat. Berikut beberapa perbedaan pendapat dalam masalah sebab-akibat:
Pertama, menurut kaum Empirisme hubungan sebab-akibat tidak mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Menurut David Hume segala hal dan pengetahuan yang kita alami di dunia ini hanyalah murni karena pengalaman sehari-hari an sich semata, tidak ada hukum atau aturan yang melandasinya. Tidak ada pengetahuan, tidak ada ilmu, yang ada hanya pengalaman hasil pengamatan indera kita sehari-hari saja. Kita tidak bisa berpendapat atau berkeyakinan bahwa esok matahari akan terbit lagi, karena kita belum mengalami esok hari, kita masih hidup dimasa hari ini. Kita tidak bisa yakin besok matahari akan terbit hanya karena dalam pengalaman yang sudah-sudah. Mulai saat kita kecil sampai dewasa kita melihat matahari selalu terbit pada tiap pagi hari. Seperti contoh lagi anggapan bahwa mendung selalu menurunkan hujan, pendapat ini tidak bisa diterima karena dalam pengalaman manusia tidak setiap mendung akan menghasilkan hujan.
Kedua, golongan Rasionalis. Berbeda dengan Empiris yang memberikan porsi yang berlebihan pada pengalaman indra manusia, kaum Rasionalis lebih banyak memberikan analisa masalah kepada peranan akal manusia. Menurut kaum Rasionalis peran alat indera manusia hanya sebagai alat untuk mengumpulkan data akan tetapi akallah yang mempunyai kuasa mutlak untuk menganalisanya. Segala pengalaman manusia yang nampak dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya tidaklah dalam wujud aslinya, ada rahasia atau pengetahuan tertentu yang tersembunyi dibalik pengalaman-pengalaman tersebut. Seperti contoh kita melihat bulan lebih besar dibanding bintang,  akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut menurut penyelidikan akal ternyata ukuran bintang lebih besar dibanding bulan, bulan terlihat lebih besar karena jarak terhadap bumi lebih dekat dibanding dengan jarak bintang ke bumi. Sering kali pengetahuan yang kita dapat dari indera menipu kita bila tidak dianalisa dengan akal rasio manusia. Aliran ini diwakili oleh Rene Descartes seorang filosof Rasionalis asal Perancis, ia juga dikenal dengan aliran skeptis, karena selalu meragukan segala sesuatunya sampai dengan temuannya yang terkenal yaitu cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Skeptisisme yang dipandu dengan akal akan selalu gelisah mencari dan terus mencari hakikat dari segala sesuatu. Dengan keraguan dan akalnya maka Descartes dapat menemukan bahwa ”aku” yang berpikir adalah inti atau hakekat segalanya, karena kita dapat meragukan alam, manusia, tumbuhan, hewan bahkan kita dapat meragukan Tuhan.  Akan tetapi kita tidak dapat meragukan diri kita sendiri yang sekarang sedang berpikir tersebut. Disinilah letak penjelasan dari cogito ergo sum. Dengan analisa rasio maka kita dapat menemukan hubungan sebab-akibat tertentu dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dimulai oleh Descartes sendiri yaitu aku berpikir maka aku ada. Aku berpikir adalah sebab yang menjadikan kesadaran “keadaan” kita.
Pengaruh Rasionalisme sungguh besar dalam peradaban Barat. Banyak temuan-temuan ilmiah yang bermanfaat bagi manusia dengan adanya pendayagunaan akal tersebut, misteri-misteri alam yang dahulunya dipahami sebagai mitos kepercayaan mulai dirasionalkan dan dapat dengan mudah dipahami oleh manusia. Salah satu penemuan penting rasio sebab-akibat adalah hasil pemikiran seorang fisikawan besar Isac Newton, menurut  Newton kejadian-kejadian yang terjadi di alam mengikuti pola hubungan aksi-reaksi, bila kita melakukan aksi dengan memanaskan air maka akan terjadi reaksi air menjadi panas bahkan mendidih, begitu pula jika kita mendinginkannya maka akan terjadi reaksi air menjadi beku/es. Hubungan sebab akibat atau aksi-reaksi ini telah diformulasikan oleh Newton dengan hukumnya yang terkenal, yaitu Hukum Newton. Dengan penemuannya tersebut, banyak diciptakan mesin-mesin baru yang sangat berguna bagi masyarakat Inggris pada waktu itu, hingga tercapainya Revolusi Industri di Inggris. Newton juga termasuk salah satu dari seratus orang paling berpengaruh di dunia berkat temuannya.
Hasil lain dari pengaruh rasionalisme akal adalah perdebatan antara seorang ilmuan fisika Galileo dengan gereja. Gereja pada waktu itu berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta, sementara Galileo dengan analisa rasio berpendapat bahwa matahari adalah pusat semesta dan posisi bumi adalah mengitari matahari. Perdebatan antara rasio dan agama pada waktu itu harus dibayar mahal dengan tewasnya Galileo dan diburunya ilmuan-ilmuan yang sependapat dengannya oleh gereja. Bagi filsafat Rasionalisme hubungan sebab-akibat mendapat tempat yang pasti dalam analisa akal.  Berbeda dengan filsafat Empirisme yang menganggap kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan manusia murni pengalaman indera semata tidak ada hukum yang melandasinya.  
Ketiga, dalam teologi Islam klasik yang diwakili oleh Imam Ghazali berkeyakinan bahwa hubungan sebab-akibat mustahil terjadi karena menurutnya yang terjadi di dunia ini segalanya murni karena adanya izin Allah. Satu-satunya hubungan sebab-akibat adalah sebab-akibat karena adanya izin dari Allah. Bila kita makan lalu kenyang, maka yang membuat kenyang bukanlah makanan yang kita makan, tetapi karena izin Tuhanlah kita dapat merasakan kenyang. Api tidak dapat membakar kayu,  satu-satunya yang dapat membuat kayu habis terbakar bukanlah api, tetapi izin Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu. Cerita tentang nabi Musa ketika sakit bisa sembuh setelah berdoa kepada Tuhan dan meminum obat, dan untuk sakit yang kedua kalinya tidak dapat sembuh dengan obat yang sama karena nabi Musa hanya meminum obat tanpa berdoa terlebih dahulu kepada Tuhan dan ini bisa dijadikan contohnya. Barang siapa yang mempunyai kepercayaan bahwa api dapat membakar kayu dan makanan dapat mengenyangkan perut maka dia telah fasiq karena dia telah mengingkari kemahakuasaan Tuhan.
Keempat, aliran sufi. Dalam dogma yang diajarkan kaum sufi kita tidak boleh berpegangan pada hubungan sebab-akibat dalam hal amal. Bagi mereka, yang diwajibkan pada manusia adalah hanya menghamba/beribadah pada Tuhan tanpa mengenal pamrih, mengharapkan surga atau menghindari neraka. Salah seorang sufi pernah berlari-lari sambil membawa api dan air, ketika ditanya buat apa keduanya? Dia menjawab api untuk membakar surga dan air untuk memadamkan api neraka. Surga dan neraka bukanlah tujuan hidup bagi seorang sufi, yang mereka inginkan hanya ikhlas beribadah beramal untuk Tuhan. Mereka tidak terpengaruh oleh ambisi-ambisi yang bersifat keduniawian. Hubungan sebab-akibat bagi kalangan sufi hanya dicurahkan untuk kebahagiaan sang Khaliq.
            Tentunya masih banyak terdapat teori-teori lain tentang hubungan sebab-akibat. Semuanya mempunyai implikasinya masing-masing setiap manusia bebas untuk memilih, akan tetapi dengan mengetahui minimal empat teori di atas kita dapat berpikir ulang mengenai hubungan sebab-akibat yang selama ini kita imani. Apa ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara lulus dengan IP tinggi dengan kesuksesan finansial yang selama ini diidamkan banyak mahasiswa?, apa ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara kekayaan dengan kebahagiaan hidup?,  apa ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara kebahagiaan hidup di dunia dengan kebahagiaan ukhrawi yang selama ini masih dipercayai mayoritas mahasiswa?.

Silahkan Pikir & Renungkan...........!   

(Lukman Hakim /TH/VIII)