logo

logo
buletin

Kamis, 15 Desember 2011

Mari Berhijrah

Beberapa hari yang lalu umat islam merayakan tahun baru hijriyah. Kata hijriyah diambil dari peristiwa hijrahnya Rosulullah dan sahabat dari makkah ke madinah. Dalam sejarah, tahun hijriyah ditetapkan oleh sahabat Umar bin Khattab. Penetapan 1 muharrom ditetapkan umar kira-kira 7 tahun setelah Rosulullah wafat. Berbeda dengan tahun baru masehi, tahun baru hijriyah dihitung berdasarkan peredaran bulan, bukan matahari seperti tahun baru masehi. Dan perhitungannya dimulai setelah memasuki waktu maghrib. Sedangkan tahun masehi perhitungannya dimulai sejak berakhirnya pukul 24.00 (tengah malam). Umar memilih peristiwa tersebut dengan berbagai pertimbangan. Pertama, peristiwa hijrah menunjukkan bahwa hidup itu dinamis dan harus aktif mencari terobosan baru. Oleh sebab itu, bagi seorang muslim tidak dibenarkan memilih hidup yang bersifat pasif dan statis yang mana hal itu akan menimbulkan stagnasi dalam menjalani hidup. Kedua, hijrah adalah sebuah titik balik perjuangan dakwah Nabi dan umat islam dalam menegakkan kebenaran. Hal ini nampak dari diubahnya nama Yastrib menjadi Madinah yang berarti kota, tempat peradaban, kesopanan dan tegaknya norma hukum. Oleh karena itu hjrah merupakan pintu masuk perubahan nasib yang lebih baik, sebagaimana keberhasilan Rosulullah dan sahabatnya. Peringatan tahun baru hijriyah adalah memperingati pergantian yang melambangkan peningkatan taraf hidup yang bermadaniyah, bercivilisasi, beradab dan berbudaya. Dalam melakukan hijrah memang tidak mudah. Mula-mula butuh niat (motivasi) yang kuat dan benar. Berikutnya adalah usaha yang sungguh-sungguh, karena didalamnya membutuhkan pengorbanan. Dan dalam hal apapun hijrah memang dianggap menjadi tonggak awal menuju kesuksesan. Hal itu bisa kita lihat dari umat-umat terdahulu mulai sejak nabi Ibrahim, Luth, Musa hingga Muhammad semuanya melakukan hijrah untuk memelihara keimanannya. Selain itu, hijrah bukan hanya untuk memperoleh kebahagian akhirat, tetapi hijrah juga bisa untuk memperoleh kebahagiaan dunia. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak sedikit dari warga negara kita yang hijrah untuk memperbaiki taraf ekonominya. Mereka berbondong-bondong bermigrasi ke negara-negara yang kaya. Mungkin dalam menuntut ilmupun, kita juga harus melakukan hijrah kalau ingin mencapai kesuksesan dalam mencari ilmu. Hijrah disini adalah kita harus merelakan diri untuk meninggalkan rumah, keluarga, famili dan lain sebagai- nya untuk menuntut ilmu yang dibutuhkan dalam mengejar suatu yang dicita-citakan. Orang jawa mengatakan “kabeh kudu ditirakati yen pengen oléh kabejan”. Hijrah merupakan salah satu bentuk tirakat yang dipenuhi dalam menuntut ilmu. Seperti halnya Plato. Dia harus berhijrah ke kota Sirakus. Dimana ia berusaha untuk ingin merubah sistem pemerintahan yang ada. Tetapi sayang, ia hampir dijual sebagai budak, untungnya diketahui oleh temannya dan akhirnya ia ditebus. Akhirnya ia kembali ke Athena. Ketika ia akan mengembalikan uang tembusan dirinya, uang pengganti tebusan itu ditolak oleh temannya, kemudian ia mengggunakan uang itu untuk mendirikan Akademia. Mungkin ketika ia tidak berhijrah dan hampir dijual sebagai budak, ia tidak akan mendirikan Akademia. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Setelah melewati pergantian tahun beberapa hari yang lalu, secara otomatis kita telah berhijrah. Hijrah dari tahun lama ke tahun yang baru. Tahun merupakan salah satu dimensi waktu yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kehadiran sang waktu bukan tanpa tujuan. Ketika kita melihat bulan yang dulunya tidak ada kemudian sabit kemudian purnama kemudian hilang lagi, hal itu seperti manusia yang dulunya tidak ada kemudian lahir kemudian dewasa kemudian meninggal. Oleh karena itu, manusia harus bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Dengan bergantinya tahun sudahsaatnya kita harus bisa merubah diri yang lebih baik dari tahun kemarin. Dalam mengisi waktu, islam mengajarkan untuk mengerjakan amal saleh, yaitu perbuatan yang apabila dilakukan tidak mengakibatkan kerusakan atau perbuatan yang bermanfaat. Kemanfaatan bagi pribadi, keluarga, kelompok atau manusia secara keseluruhan. Salah satu contoh amal saleh yang berkembang dalam tradisi masyarakat adalah tumpengan. Tumpengan dan beberapa tradisi lain seperti nyadran, sekaten, dan tahlilan dalam bahasa antropologi agama adalah simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna subyektif pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadah yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transenden dan imanen. Dengan kata lain, high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan perlu dikongkritkan dalam bentuk low tradition yang merupakan pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan dan tumpengan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub wassykuru ilallah dan apresiasinya dalam bentuk dzikir kolektif dan pemberian sesuatu. Lalu muncul simbol kebudayaan bernama tahlilan dan tumpengan. Islam juga mengajarkan untuk memanfaatkan waktu secara produktif sehingga waktu tidak terbuang dengansia-sia. Dalam suatu hadits juga dijelaskan bahwa -penggalannya- siapa yang hari ini sama atau bahkan lebih jelek (perbuatannya) dari hari kemarin, maka termasuk orang yang rugi. Dalam hadits Nabi menyatakan agar kita bisa menjaga lima perkara sebelum lima perkara (sebagai kebalikannya), yakni sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin,senggang sebelum sempit, muda sebelum tua dan hidup sebelum mati. Ada yang mengatakan waktu adalah uang. Itulah sebabnya waktu adalah hal yang berharga dan harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Yang dianjurkan dalam islam yang lain ketika melawati tahun baru yaitu refleksi. Kita harus berkaca pada masa lalu untuk mengambil pelajaran, manfaat, perhitungan untuk dijadikan bekal untuk hari esok. Itulah beberapa hal yang diajar- kan islam dalam melewati tahun baru. Kita telah berhijrah dari tahun lama ke tahun yang baru. Apa yang harus ditingkatkan hijrah kali ini? Apakah sama dengan tahun kemarin? Mungkin tulisan saya cukup sampai disini dan saya ucapkan selamat tahun baru 1433 H. Silakan Pikir & Renungkan...!!! Musnadil Firdaus AS/III

Republic Daging

Belum lama kita umat Islam merayakan moment hari Raya Idul Adha yang identik dengan penyembelihan hewan qurban yang mana hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, qurban adalah manifestasi ketundukkan hamba dan rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan Tuhan, qurban juga bisa dimaknai sebagai symbol penyembelihan nafsu kebinatangan yang melekat pada diri setiap manusia. Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di dunia bisa dibayangkan melimpahnya ketersedian daging di setiap hari raya qurban, permasalahannya kemudian adalah sudahkah pen-tasyarufan daging-daging tersebut tepat sasaran, di beberapa tempat pembagian daging qurban menyisakan masalah, salah satunya seperti kasus yang terjadi di masjid Al Azam Tanggerang Banten, orang rela babak belur berebut daging kurban yang mungkin beratnya kurang lebih setengah kilo yang dibagikan panitia, peristiwa di Tangerang tersebut mengindikasikan masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Hanya demi setengah kilo daging, masyarakat kita tega menginjak, menciderai bahkan melukai daging saudaranya sendiri. Setengah kilo daging mampu mengubah manusia bertindak irasional, sedemikian berharganya daging sapi dan kambing melebihi pentingnya menjaga daging saudaranya. kemudian saya ingin mendudukan kata daging di tulisan ini secara lebih luas untuk makna yang bebas entah itu daging qurban, boleh jadi daging yang ada pada manusia atau daging apa saja silahkan nanti anda tangkap dan anda proyeksikan dalam pikiran anda sendiri apa maksudnya daging di sini, saya hanya ingin mencoba mengambarkan eksistensi daging di Republik ini, taukah anda jika Republik kita tercinta Indonesia tidak dapat dipisahkan dari urusan daging, ada banyak hal di Republik ini yang berhubungan dengan daging baik secara langsung maupun tidak, apakah urusan dengan daging itu sendiri, tempat dagingnya atau segala yang berhubungan dengan daging, ada daging yang menimbulkan manfaat bagi banyak orang, ada juga tempat daging yang begitu di idamkan banyak orang sehingga untuk memperolehnya memerlukan perjuangan berat, tapi di sisi lain ada berapa banyak problematika timbul di Republik kita yang hanya dipicu oleh persoalan daging. Kita semua ingat pada sekitar tahun 2003-an muncul fenomena goyang ngebor inul yang sukses menggoyang Republik ini, meminjam istilahnya DR. Luqman Hakim tahun-tahun tersebut pantas disebut sebagai era pantatisme Inul , fenomena goyang ngebor Inul menandai awal masuknya Indonesia di dalam industry pantatisme yang sebelumnya industry semacam itu masih sungkan-sungkan untuk secara terang-terangan memunculkan eksistensinya ke permukaan. Kala itu hampir disetiap tontonan yang mendatangkan Inul orang rela berdesak-desakan, bahkan tak jarang sampai harus baku hantam hanya untuk berlomba-lomba mendapatkan tempat terdekat agar bisa melihat jelas bagaimana daging bagian belakang bawah Inul ngebor, saya yakin sekian banyak orang yang hadir tumpah ruah tersebut tidak sadar jika perjuangan mereka berangkat dari rumah, antri tiket, mengeluarkan uang untuk tiket, belum lagi mereka harus rela berdesak-desakan mungkin jika harus ada proses lain yang lebih keras lagi mereka akan dengan senang hati menempuhnya asal bisa melihat daging bagian belakang bawah Inul diputar, sebenarnya jika dipikir lagi hal tersebut sangat tidak sebanding antara hasil yang mereka capai dengan usaha mereka, untuk itu berapa banyak waktu yang terbuang, tenaga yang seharusnya lebih bisa dimanfatkan untuk bekerja, belum lagi biaya yang dikeluarkan hanya untuk datang ketempat berlangsungnya tontonan untuk selanjutnya sepanjang tontonan berlangsung praktis mereka hanya dipantati Inul habis-habisan, ini menunjukkan pada tahun-tahun itu Inul sukses me-ngebor kepala masyarakat kita hanya dengan sesuatu yang sepele .Daging pantat. Seolah alat bor Inul itu mampu menanamkan di otak masyarakat sebuah alat pengendali yang apabila difungsikan tanpa perlu berfikir mereka akan datang ketempat konser Inul untuk dipantati secara suka rela, sehingga bisa dikatakan kalau masyarakat di Republic kita telah terseret arus putaran daging pantat, muka masyarakat Republic kita tidak lebih dari pantat. Fenomena goyang Inul juga memunculkan berbagai takwil dari beberapa kalangan, salah satunya seorang habib dari semarang. Menurut beliaunya fenomena Inul ngebor di atas panggung sebagai pertanda jika Indonesia beberapa tahun kedepan akan mengalami krisis daging pantat, karena itu segala urusan yang berhubungan dengan daging pantat akan mahal harganya, dan takwil tersebut akhirnya terbukti, bisa dilihat beberapa waktu lalu saat pemilu legeslatif berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh seorang calon anggota legislative yang sekedar ingin menempatkan daging pantatnya di kursi dewan. Entah sampai kapan krisis daging pantat akan terus melanda Indonesia, sampai saat inipun para orang tua selalu resah manakala sampai waktunya mendaftarkan anak-anak mereka ke bangku sekolah karena besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendudukkan daging pantat anak-anak di bangku sekolah. baru-baru inipun Republic Indonesia juga di repotkan ulah sebagian “kecil” daging milik dua orang anggota masyarakatnya, dari segi ukuran dan letakpun memang berbeda jika daging bagian belakang bawah Inul yang digunakan sebagai pembanding, daging “kecil” ini letaknya tidak di belakang sebagaimana milik Inul tapi berada di depan, bayangkan hanya dengan daging se”kecil” itu si LM dan NI mampu meneror para orang tua Indonesia yang memiliki anak remaja apalagi mereka yang memiliki anak-anak dibawah umur, bukannya tanpa alasan kekawatiran para orang tua mengingat pemilik daging “kecil” tersebut adalah pubilk figure yang tingkah jungkir baliknya sering dijadikan refrensi bergaul kalangan muda. Saya sendiri sempat berfikir manakah yang lebih menakutkan terror yang dilakukan dua orang tersebut dengan daging “kecil”nya atau terror bom Amrozi cs yang menghancurkan daging-daging manusia di Legian Bali, akhirnya saya simpulkan kedua terror tersebut sama menakutkannya, hanya bedanya jangkuan bom Amrozi dampaknya kalah secara teritorial jika dibandingkan terror daging milik kedua artis tersebut, bom Amrozi cs hanya mengakibatkan kerusakan pada teritorial yang terbatas, sebagian kecil wilayah Bali, dengan hanya mempunyai satu setting waktu, beda halnya dengan daging “kecil” tadi yang mampu menjangkau wilayah teritorial yang lebih luas, tidak hanya Bali tapi pelosok Sabang hingga Merauke bisa terjangkau sejauh internet dan media elektronik ada, dari segi setting waktu sampai kapanpun selama polah daging “kecil” tersebut diputar akan tetap bisa menimbulkan kerusakan. terkait teror yang dilancarkan daging “kecil” tadi sebenarnya beberapa tahun silam tepatnya pada tahun 2006 kelompok sastrawan yang dimotori Taufik Ismail sudah pernah melontarkan kritik menanggapi banyaknya karya “becek” yang mengeksploitasi daging sekitar selakangan, sehingga muncullah dari kelompok sastrawan yang dikenal sebagai penghasil Sastra Madzhab Selakangan (SMS) dimana karya-karya tersebut masuk di dalam Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Dan belakangan ini daging sekitar selakang kembali menjadi magnet di tengah lesunya industry hiburan kita. Industri tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan, industri tidak mengenal baik buruk, akhlakul karimah atau syaiah. Anda harus paham jika ukuran yang digunakan industry hanyalah untung rugi, ratting tinggi atau jeblok. sebenarnya jika mau lebih kritis lagi kita akan banyak menemukan pergumulan Republik ini dengan urusan daging mulai dari kebocoran system yang menguntungkan dan hanya meng’gemuk’kan kalangan daging terbatas, sebaliknya di tempat lain harus ada jutaan daging yang di ekspor keluar negeri dengan emblem besar sebagai pahlawan devisa yang ketika pulang beberapa diantara mereka harus rela daging dan martabatnya terkoyak di negeri orang. Silahkan saja coba anda cari-cari lagi daging lain yang mencurigakan di sekitar anda misalnya, tetangga anda yang baru saja pulang ihram dari tanah suci apakah hajinya sudah menembus dimensi jiwa sehingga setelah mendapat gelar haji berimbas pada tingkah dan perilaku yang lebih baik, atau kelakuannya masih sama saja seperti sebelum menunaikan ibadah haji, bisnis lintah daratnya jalan terus, gaple juga masih oke atau sifat bakhilnya semakin mak nyai, jika demikian anda bisa simpulkan jika haji tetangga anda tersebut hanya sebatas daging, belum sampai tataran jiwa. Meskipun demikian anda tidak boleh merasa pesimis masih banyak daging-daging yang bisa membawa manfaat di Republic ini, dan opsi tawarannya adalah jadikan daging kita sendiri lebih bermanfaat bagi sesama, kita juga tidak membutuhkan ke pura-pura an di solat kita, di puasa kita, di pergaulan kita hanya sebatas dimensi daging. Akhirnya saya ucapkan selamat meninggalkan dzulhijah bertolak ketahun baru 1434 H Silahkan renung & fikirkan) Da’i Robbi (PBA/V)

Menguak arti haji

Haji merupakan rukun Islam yang kelima, yang mana ibadah ini wajib dilakukan bagi kaum muslim yang mampu untuk menjalankannya. Beberapa waktu lalu saudara kita yang muslim banyak yang sudah berangkat ke Makkah untuk melakukan haji. Haji secara etimologi adalah menuju dan secara terminologi haji berarti menuju Baitullah (Makkah) karena ibadah. Di tinjau dari syaratnya, bagi mereka yang menjalankan ibadah haji menurut kaidah fiqih yaitu: Islam, baligh, berakal sehat, dan mampu. Arti mampu disini adalah mempunyai cukup harta/biaya serta sehat menurut keterangan dokter. Dilihat dari sejarahnya, ibadah haji merupakan ajaran/syari’at nabi Ibrahim dan keluarganya yang merenovasi ka’bah sebagai simbol pusat orientasi manusia yang fondasinya sudah diletakkan oleh nenek moyang manusia yaitu nabi Adam. Oleh sebab itu, ritual yang ada didalam haji merupakan ritual napak tilas yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim dan keturunannya. Oleh karena itu juga pengalaman dan pemahaman haji yang benar dan baik adalah yang disandarkan kepada nabi Ibrahim. Meski demikian, praktek haji dalam sejarahnya terdapat praktek penyalahgunaan haji yang dijumpai oleh nabi yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang dikenal dengan al-Hummas yang, memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agamanya sampai melampui batas, misal seperti mengitari ka’bah (thowaf) mereka sampai bertelanjang karena mereka beranggapan bahwa pakaian yang mereka pakai telah ternodai oleh dosa, sehingga tidak boleh digunakan untuk menghadap Allah. Dengan praktek yang menyeleweng seperti diatas, sangat bertentangan dengan makna esensial yang terkandung dalam haji. Setelah datangnya nabi, praktek haji yang seperti itu dihilangkan dan diluruskan kembali kepada yang telah diajarkan oleh nabi Ibrahim. Pada zaman nabi, haji dilakukan pertama kali pada tahun kesembilan hijriyah. Didalam haji terdapat ritual-ritual yang mana ritual tersebut menjadi sebuah simbol yang ada dalam kehidupan. Haji mulai dengan miqot makani. Dengan miqot itulah, jama’ah haji melepaskan atribut yang selama ini mereka gunakan dengan 2 helai pakaian ihrom yang kelak akan menjadi pembalutnya kelak ketika sudah meninggal. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian membuat stratifikasi atau kelas-kelas antar manusia, mulai dari status ekonomi, status sosial ataupun profesi. Di miqot ini, semua atribut yang bisa menimbulkan perbedaan antar manusia harus dilepaskan. Bahkan suku dan ras harus ditanggalkan bersamaan dengan ditanggalkannya pakaian yang telah menutupi mereka sehari-hari. Maka semua jama’ah haji menjadi manusia yang sebenarnya atau menyadari dirinya bahwa ia hanyalah makhluk yang lemah. Ketika telah memakai pakaian ihrom, sejumlah ketentuan-ketentuan mulai berlaku. Seperti larangan menyakiti dan membunuh binatang, menumpahkan darah serta mencabut tumbuh-tumbuhan. Larangan itu berlaku sebab fitrah manusia lahir ke dunia adalah menjadi seorang khalifah di bumi. Seorang khalifah haruslah bisa menjaga dan memelihara ketentraman dam kedamaian makhluk lain. Larangan lainnya adalah dilarang menikah dan menikahkan, memakai wangi-wangian serta berhias agar jama’ah haji menyadari bahwa hidup di dunia tidak hanya mengejar materi dan birahi belaka. Ka’bah adalah bangunan yang hanya terbuat dari batu-batu hitam. Ia menjadi arah kiblat bagi umat muslim dengan segala perbedannya kerena manusia bila tidak ada kiblatnya atau arah yang jelas akan lepas kendali. Ka’bah ibarat matahari yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi planet-planet baik itu kecil maupun besar. Planet-planet itu dengan segala perbedaannya mengelilingi matahari dengan porosnya, sama dengan manusia yang sedang melakukan thawaf. Jadi dalam kehidupan ini perbedaan bukanlah hal yang harus diperdebatkan atau dibesar-besarkan, yang penting esensi dan orientasinya sama. Setelah thawaf, jama’ah haji melakukan sa’i yang berarti usaha. Dalam sejarahnya sa’i merupakan usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar untuk memperoleh air untuk memberi minum anaknya, yaitu nabi Ismail yang menangis karena kehausan. Keyakinan yang kuat akan kebesaran dan kemurahan Allah, telah menjadikan Siti Hajar mantab dalam mencari sumber kehidupan dalam kondisi yang mencemaskan dan mengenaskan. Ia mulai berlari dari Shofa yang berarti kesucian dan ketegaran. Jadi dalam hidup, usaha haruslah diawali niat yang suci, tegar dan optimis. Usaha yang dilakukan oleh Siti Hajar itu berakhir di Marwah. Hal yang dilakukan oleh Siti Hajar tersebut berulang-ulang sampai 7 kali baru kemudian membuahkan hasil. Jadi dalam hal ini manusia dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin. Aktivitas haji yang selanjutnya adalah Wukuf di Arofah. Di mana semua jama’ah haji berkumpul di suatu padang panas dan berbatu yang di mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijah sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijah. Ritual ini menunjukan manusia supaya ia mengenali dirinya sendiri dan selalu teringat kepada sang Pencipta ketika ia dalam keadaan apapun maupun kondisi apapun. Setelah dari Arofah, jama’ah haji pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam rangka akan menghadapi musuh terbesarnya, yaitu setan. Kemudian pergi ke Mina untuk melakukan lempar jumrah sebagai lambang akan kebencian dan kemarahan yang telah menyebabkan segala kegetiran. Setelah melempar jumroh, mereka akan menyembelih hewan kurban yang mana kurban tersebut menjadi simbol akan kemenangan yang yang diperolehnya. Selain uraian diatas, haji merupakan suatu usaha manusia untuk kembali kepada Allah, karena dalam melakukan ibadah haji, orang harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Selain itu, untuk berangkat haji harus mengantri sampai bertahun-tahun yang berarti menjadi sebuah ujian kesabaran bagi calon jama’ah haji. Meski haji menghabiskan biaya yang cukup besar dan memerlukan waktu yang relatif lama untuk berangkat, tetapi hal tersebut menjadi salah satu arti bahwa manusia rela untuk mengorbankan apapun, baik itu berupa materi maupun tenaganya hanya untuk menjalin kedekatan dengan Sang Khaliq. Kesalehan sosial Dalam konteks ini, nilai-nilai baru dari proses ibadah itu seharusnya berdampak positif bagi masyarakat. Esensi haji bukan sekadar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, sanak saudara dan masyarakat umumnya. Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal menjadi lebih bermakna. Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya. ”Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. ”Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga ”manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses ibadah haji itu. Para ”manusia baru” yang ibu-ibu itu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip. Dimensi horizontal inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan mampu berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi tingginya kualitas iman dan takwa. Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Silahkan Renung & Pikrkan...!!! Musnadil firdaus (AS/III)