Jawa, dimana Jawaku kini?
Jawa, ia telah menghilang dari benak orang-orang Jawa
Jawa, apakah Jawaku masih ada kini?
Jawa, hai Jawa janganlah kau sembunyikan dirimu dalam kesendirianmu,
Jawa, apakah aku harus membujukmu untuk keluar lagi?
Mengapa kau sembunyikan dirimu?
Apakah karena arus modernisasi yang telah menenggelamkanmu, hingga kau tak mampu bersinar lagi?
Arus globalisasi telah menyebabkan kebudayaan asli Indonesia hancur tak tersisa. Tergantikan oleh segala yang bersifat instan yang kebanyakan menjadikan masyarakat Indonesia jauh dari nilai-nilai yang tertanam dalam Indonesia sejati khususnya bagi masyarakat Jawa menjadikan masyarakat Jawa lupa akan ke-Jawa-annya. Namun jawa sebagai jawaku telah mengakar kuat dalam ingatanku hingga walaupun kini Jawa itu mulai pudar namun, masih tersisa jawaku dalam hatiku.
Dulu Jawa adalah tempat yang begitu kaya akan khazanah kebudayaan mulai dari yang sederhana sampai yang menjadi kesusastraan. Namun hal ini kini sulit dijumpai bahkan oleh masyarakat Jawa sendiri yang notabene sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dan kesusastraan Jawa. Permainan-permainan, kesenian daerah yang memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat kini sudah digantikan dengan permainan elektronik yang lebih mengutamakan kepuasan individu dari pada kepuasan bersama sehingga menimbulkan sikap apatis terhadap lingkungan sekitar dan menjadikan manusia makhluk individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. dahulu Indonesia adalah negara yang besar dengan pusat pemerintahan yang sama dengan sekarang yaitu Jawa. Namun mengapa kini seolah kita kehilangan identitas kita sendiri sebagai Jawa? Bukankah dengan peralatan seadanya dulu kita pernah menguasai hampir seluruh Asia Tenggara?. Namun seiring berlalunya zaman, hingga kini memasuki zaman teknologi kita malah menjadi terkekang dengan peralatan yang bukannya menjadikan maju bangsa Indonesia namun malah semakin mundur secara teratur. Permasalahannya yaitu kita kurang memperhatikan kebudayaan dan kurang berpartisipasi secara aktif akan kebudayaan daerah yang telah kita miliki yang didalamnya sebenarnya memiliki power yang tak terbatas hingga berakhirnya masa.
Apakah kita semua tidak rindu akan permainan masa kecil kita? petak umpet, sundamanda, gobaksodor, tapi dimana kini permainan tersebut dapat kita temui? kini kita hanya dapat melihat anak-anak kecil bermain Playstation dan game online internet.
Apakah kita tidak rindu dengan geguritan, parikan, wayang dan kesenian kita yang lain? jawabannya bisa ia bisa juga tidak tergantung dari seberapa parah virus apatisisme telah menjangkiti orang Jawa itu sendiri.
Apakah kita mau menjadi orang yang lupa akan tanah kelahiran kita sendiri itu tergantung kita mau mengamalkan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur kepada kita baik mengenai ajaran moral hingga kesenian daerah dan juga permainan-permainan. Tapi apa mau dikata Jawa yang dulu begitu menggurita kini hanya bagaikan seekor semut yang diinjak-injak harga dirinya. Kesenian-kesenian dari Jawa yang memiliki arti penting dalam bersosialisasi digerus dan semakin digerus oleh kesenian yang tidak mendidik masyarakat untuk hidup bersosialisasi.
Kita terlahir ke dunia sebagai homo homini socius yang tidak bisa lepas setiap segi dari kita untuk berhubungan dengan masyarakat dan itu semua diajarkan dalam filsafat kita sendiri yaitu filsafat Jawa karena filsafat Jawa tidak hanya dalam permainan dalam seni dalam kesusastraan Jawa semua tidak luput dari bahasan filsafat karena dalam setiap kesenian kesusastraan dan budaya Jawa memiliki nilai instrinsik yang begitu luar biasa besarnya jika kita amalkan kembali agar Jawa khususnya dan Indonesia umumnya tidak kehilangan jati diri bangsa sebagai bangsa yang memiliki jiwa sosial tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan dan kesusastraan Jawa sebenar- nya begitu besar. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam contoh dibawah:
Permainan Gobag Sodor
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Sarana untuk menigkatkan interaksi antar teman sehingga bisa menimbulkan perasaan saling membutuhkan.
3. Alat untuk meningkatkan keterikatan sosial yang akan dibutuhkan dimasa mendatang.
4. Sebagai pelatihan bahwasanya dengan bekerja keras dan tak pantang menyerah hal yang diinginkan akan tercapai.
Permainan Petak Umpet
1. Sebagai pelatihan kerjasama antar anggota dalam memecahkan suatu permasalahan.
2. Alat pembuktian bahwa berusaha sendiri itu sangat sulit dilakukan walaupun kemung- kinan berhasil ada namun sangatlah kecil.
Dalam hal musik Jawa memiliki berbagai macam bentuk musik yang memiliki berbagai macam arti yang terkandung didalamnya.
Dalam musik Jawa ada Gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, hingga Megatruh dan Pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu.
Sinom dapat diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan Ruh adalah roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama Islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (pocong). Dan masih banyak lagi yang lainnya yang kini bahkan orang jawa pun tidak mengetahui tentang kebudayaannya sendiri.
Jawa (Indonesia) kini telah tenggelam dalam westernisasinya karena begitu tidak percaya diri menggunakan identitas aslinya dan semakin jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaannya. Sekrang tergantung pada kita apakah kita mau membuang identitas kita sendiri atau terus melestarikannya?
Silakan fikir dan Renungkan!!!
Hishna M. Sabiq
Sunan Kali Jaga
Ilir Ilir
Ilir ilir ilir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
(Simbol untuk memelihara bumi)
Tak senggoh penganten anyar
(Simbol untuk pemuda)
Cah angon cah angon
(Simbol untuk manusia sebagai khalifah)
Penekno blimbing kuwi
(Simbol unutk menunjukkan blimbing yang mempunyai lima segi sebagai perlambang rukun iman)
Lunyu-lunyu penekno
(Simbol untuk menyatakan sulitnya mengerjakan rukun iman namun harus tetap dilaksanakan karena merupakan perintah Tuhan)
Kanggo sebo mengko sore
(Simbol untuk menunjukkan bahwasanya rukun iman sebagai bekal di akhirat)
Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangane
(Simbol untuk menunjukkan selagi kita masih hidup di dunia dan belum ke alam akhirat kita harus tetap berusaha melaksanakan perintah Tuhan)
Yo surako surak hore
(Simbol keberhasilan melaksanakan rukun iman dan memperoleh surga)
“Harta Sejati Adalah Kesehatan, Bukan Emas Dan Perak.”
“Mahatma Gandhi”
logo
Senin, 24 Oktober 2011
Rabu, 12 Oktober 2011
AKTUALISASI FIKIH (Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer)
Mengikuti perkembangan fikih memang sangat menarik. Jika, peradaban Yunani adalah peradaban filsafat, dan peradapan Eropa modern adalah ilmu pengetahuan dan tehnik, maka peradapan Islam adalah peradapan Fikih. Dan masing-masing peradapan memiliki karakteristik spesifik. Fikih merupakan murni produk nalar Arab dalam peradaban Islam. Statemen Apologetik guna mengukuhkan orisinalitas fikih ini tentunya memiliki kaki pijak referensial yang mengakar dalam perundang-undangan umat Islam. Menyusuri perkembangan Fikih sendiri mulai dari fase Nabi hingga saat ini telah menggambarkan bahwa Fikih akan selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dan apabila kita kembali menyusuri akar sosiologi fikih maka tilikan sosio-historis terhadap perkembangan fikih sangatlah urgen, sebab “persenggamaan dialektis” antara fikih dengan realitas sosial adalah saling berkaitan dan tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, fikih senantiasa dibuat di tengah-tengah pergumulan konstruk sosio-politik, konteks-partikular, dan ruang lingkup kultur tertentu.
Perkembangan Fikih sendiri telah mengalami berbagai macam periode mulai dari periode kenabian hingga pasca runtuhnya Baghdad (625H/1285M) atau lebih tepatnya periode stagnansi fikih. Runtuhnya Baghdad sendiri, terjadi setelah adanya invansi dua ratus ribu pasukan mongol sehingga menjadikan fikih mengalami masa kejumudan dan mengakibatkan timbulnya konservatisme. Pembantaian terhadap kaum intelektual muslim banyak terjadi sehingga tersebarlah kebodohan yang klimaks dengan “ditutupnya pintu ijtihad”. Madrasah, universitas, dan perpustakaan diporak-porandakan oleh Hulagu Khan yang mulanya hanya kelompok kecil pemburu dan penggembala di padang stepa di utara Cina hingga Siberia. Pasca dijajah bangsa Mongol, islam juga dijajah oleh Napoleon (Prancis), tetapi islam tidak bisa berbuat apa-apa.
Konservatisme ini memunculkan asumsi dogmatis bahwa capaian para sarjana klasik telah sempurna dan up-to-date, sehingga tidak butuh lagi pembaharuan pemikiran. Stagnansi terlihat dari berbagai aktivitas intelektualisme yang hanya berkutat pada penjelasan produk pemikiran lama.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya yaitu; pertama, tertutupnya pintu ijtihad sehingga berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual. faktor kedua yaitu, kodifikasi atas pendapat-pendapat ulama klasik pada masa kekuasaan Abbasiyah. Dan faktor ketiga yaitu, fanatisme dan perselisihan madzhab yang mengakibatkan kemerosotan dinamika ijtihad. Dan akhirnya memunculkan sebuah kajian-kajian yang tidak obyektif pada saat ini. Ini mengakibatkan kian jauhnya Islam dari isu-isu kontemporer (qodhaya al-mu’asyirah) yang berkembang pada masyarakat saat ini.
Fikih yang terbentuk pada zaman sekarang ini terkesan hanya terpaku pada sebuah konteks saja tanpa ada pembaharuan-pembaharuan. Maka apabila tidak adanya suatu pembaharuan-pembaharuan fikih atau dengan kata lain, kita hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik saja tanpa kritisisme maka rancangan bangunan fikih akan menjadi keropos dan tidak dapat untuk memberikan solusi yang baik dalam menghadapi kompleksitas problematika kehidupan yang muncul terus-menerus. Aktualisasi fikih sendiri dilakukan guna tercapainya sebuah Maqhosid al-Syariat yang terlepas dari sebuah pembebekan (taqlid) dan pengambilan pendapat qudama’ tanpa kritisisme.
Pengaruh Adat Istiadat Dalam Memahami Nash-Nash
Beberapa ushuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah fikih. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah ‘al’ddah mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum.
Kita ketahui bersama, bahwa perkembangan zaman telah memunculkan beraneka ragam problematika yang tidak ditemui pada zaman dahulu. Oleh karena itu, peran fikih dalam menyelesaikan problematika tersebut tidak hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik tanpa ada pembaharuan-pembaharuan fikih. Karena fikih yang notabenenya merupakan produk scholarship masa lalu, secara empiris telah terbukti kadaluarsa dalam membendung runyamnya dinamika kehidupan zaman. Kesulitan implementasi konsep klasik ini secara de facto dikarenakan “faktor eksternal” berupa hegemoni barat dan “faktor internal” berupa problem epistemologis-teoritis fikih. Hegemoni Barat sangat dirasakan telah berpengaruh besar terhadap kerepotan implementasi doktrin fikih klasik pada era modern.
Dalam menghadapi tuntutan modern tersebut, para pemikir ‘progresif’ seperti, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Jammal al Banna dan lain-lain, merasa yakin bahwa hukum klasik dengan epistem dan paradigmanya yang konvensional dinilai tidak akan mampu mengatasi dilema ini.
Oleh sebab itu, bagi para pemikir kontemporer, aplikasi fikih secara komprehensif dalam realitas sekarang ini tidak mungkin dilakukan tanpa pembaharuan fikih, sementara pembaharuan fikih tidak dapat direalisasikan kecuali melalui dekonstruksi serta rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma dan epistemologi fikih itu sendiri. Aktualisasi fikih harus dapat kita lakukan guna menghadapi kompleksitas problematika yang terjadi pada zaman sekarang, sehingga terlepas dari asumsi pembebekan terhadap teks klasik tanpa kritisisme. So, dengan aktualisasi fikih ini, maka Islam dapat tampil dengan wajah yang baru sesuai dengan realitas sekarang dan dapat diterima oleh umat pada zaman ini tanpa menghilangkan subtansi budaya Islam itu sendiri.
Seandainya secara kebetulan di dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh para sahabat dan tabi'in terdapat hal-hal yang selaras dengan problematika kontemporer, maka tidak ada salahnya untuk diambil. Namun jika tidak ada yang sesuai dengan persoalan kontemporer, maka harus diselesaikan dengan kesepakatan dalam lingkup batas-batas perjalanan sejarah yang kita lewati. Dengan ini, para intelektual Muslim akan terpacu dalam mengembangkan kajian fikih secara obyektif serta dapat memberikan solusi hukum sesuai dengan tuntutan zaman dan dapat diterima oleh masyarakat sekarang.
Hal tersebut mungkin akan membuat kita secara perlahan-lahan bisa melepas keterkung-kungan terhadap hegemoni barat yang sampai saat ini masih bercokol di segala bidang kehidupan.
Silakan renung dan pikirkan….!!!
Musnadil firdaus/AS(III)
Perkembangan Fikih sendiri telah mengalami berbagai macam periode mulai dari periode kenabian hingga pasca runtuhnya Baghdad (625H/1285M) atau lebih tepatnya periode stagnansi fikih. Runtuhnya Baghdad sendiri, terjadi setelah adanya invansi dua ratus ribu pasukan mongol sehingga menjadikan fikih mengalami masa kejumudan dan mengakibatkan timbulnya konservatisme. Pembantaian terhadap kaum intelektual muslim banyak terjadi sehingga tersebarlah kebodohan yang klimaks dengan “ditutupnya pintu ijtihad”. Madrasah, universitas, dan perpustakaan diporak-porandakan oleh Hulagu Khan yang mulanya hanya kelompok kecil pemburu dan penggembala di padang stepa di utara Cina hingga Siberia. Pasca dijajah bangsa Mongol, islam juga dijajah oleh Napoleon (Prancis), tetapi islam tidak bisa berbuat apa-apa.
Konservatisme ini memunculkan asumsi dogmatis bahwa capaian para sarjana klasik telah sempurna dan up-to-date, sehingga tidak butuh lagi pembaharuan pemikiran. Stagnansi terlihat dari berbagai aktivitas intelektualisme yang hanya berkutat pada penjelasan produk pemikiran lama.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya yaitu; pertama, tertutupnya pintu ijtihad sehingga berimbas pada pemasungan kebebasan intelektual. faktor kedua yaitu, kodifikasi atas pendapat-pendapat ulama klasik pada masa kekuasaan Abbasiyah. Dan faktor ketiga yaitu, fanatisme dan perselisihan madzhab yang mengakibatkan kemerosotan dinamika ijtihad. Dan akhirnya memunculkan sebuah kajian-kajian yang tidak obyektif pada saat ini. Ini mengakibatkan kian jauhnya Islam dari isu-isu kontemporer (qodhaya al-mu’asyirah) yang berkembang pada masyarakat saat ini.
Fikih yang terbentuk pada zaman sekarang ini terkesan hanya terpaku pada sebuah konteks saja tanpa ada pembaharuan-pembaharuan. Maka apabila tidak adanya suatu pembaharuan-pembaharuan fikih atau dengan kata lain, kita hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik saja tanpa kritisisme maka rancangan bangunan fikih akan menjadi keropos dan tidak dapat untuk memberikan solusi yang baik dalam menghadapi kompleksitas problematika kehidupan yang muncul terus-menerus. Aktualisasi fikih sendiri dilakukan guna tercapainya sebuah Maqhosid al-Syariat yang terlepas dari sebuah pembebekan (taqlid) dan pengambilan pendapat qudama’ tanpa kritisisme.
Pengaruh Adat Istiadat Dalam Memahami Nash-Nash
Beberapa ushuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah fikih. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah ‘al’ddah mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum.
Kita ketahui bersama, bahwa perkembangan zaman telah memunculkan beraneka ragam problematika yang tidak ditemui pada zaman dahulu. Oleh karena itu, peran fikih dalam menyelesaikan problematika tersebut tidak hanya terpaku pada pembahasan fikih klasik tanpa ada pembaharuan-pembaharuan fikih. Karena fikih yang notabenenya merupakan produk scholarship masa lalu, secara empiris telah terbukti kadaluarsa dalam membendung runyamnya dinamika kehidupan zaman. Kesulitan implementasi konsep klasik ini secara de facto dikarenakan “faktor eksternal” berupa hegemoni barat dan “faktor internal” berupa problem epistemologis-teoritis fikih. Hegemoni Barat sangat dirasakan telah berpengaruh besar terhadap kerepotan implementasi doktrin fikih klasik pada era modern.
Dalam menghadapi tuntutan modern tersebut, para pemikir ‘progresif’ seperti, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Jammal al Banna dan lain-lain, merasa yakin bahwa hukum klasik dengan epistem dan paradigmanya yang konvensional dinilai tidak akan mampu mengatasi dilema ini.
Oleh sebab itu, bagi para pemikir kontemporer, aplikasi fikih secara komprehensif dalam realitas sekarang ini tidak mungkin dilakukan tanpa pembaharuan fikih, sementara pembaharuan fikih tidak dapat direalisasikan kecuali melalui dekonstruksi serta rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma dan epistemologi fikih itu sendiri. Aktualisasi fikih harus dapat kita lakukan guna menghadapi kompleksitas problematika yang terjadi pada zaman sekarang, sehingga terlepas dari asumsi pembebekan terhadap teks klasik tanpa kritisisme. So, dengan aktualisasi fikih ini, maka Islam dapat tampil dengan wajah yang baru sesuai dengan realitas sekarang dan dapat diterima oleh umat pada zaman ini tanpa menghilangkan subtansi budaya Islam itu sendiri.
Seandainya secara kebetulan di dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh para sahabat dan tabi'in terdapat hal-hal yang selaras dengan problematika kontemporer, maka tidak ada salahnya untuk diambil. Namun jika tidak ada yang sesuai dengan persoalan kontemporer, maka harus diselesaikan dengan kesepakatan dalam lingkup batas-batas perjalanan sejarah yang kita lewati. Dengan ini, para intelektual Muslim akan terpacu dalam mengembangkan kajian fikih secara obyektif serta dapat memberikan solusi hukum sesuai dengan tuntutan zaman dan dapat diterima oleh masyarakat sekarang.
Hal tersebut mungkin akan membuat kita secara perlahan-lahan bisa melepas keterkung-kungan terhadap hegemoni barat yang sampai saat ini masih bercokol di segala bidang kehidupan.
Silakan renung dan pikirkan….!!!
Musnadil firdaus/AS(III)
Langganan:
Postingan (Atom)